Komunitas Gumul Juang: Teologi Menjangkau Kantong Kemiskinan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Teologi seharusnya menjangkau masyarakat marjinal dan kantong-kantong kemiskinan. Teologi tidak harus selalu eksklusif milik para akademisi, berada dalam ruangan kuliah, atau tertutup dalam bangunan gereja.
“Kami ingin suara teologi itu sampai ke kantong-kantong kemiskinan, sampai di tempat-tempat yang paling bau ini,” kata Koordinator Komunitas Gumul Juang (KGJ) Ronald Pekuwali kepada satuharapan.com awal bulan lalu.
KGJ adalah sebuah komunitas yang berdiri pada 2009 di Jakarta ini ingin mempraksiskan gagasan teologi itu. Komunitas ini terdiri dari sekumpulan teolog atau calon pendeta yang melihat masyarakat marjinal itu sebagai jemaatnya. Mereka mendedikasikan dirinya kepada masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta yang merupakan daerah rawan banjir.
Jauh sebelum 2009, para pendirinya pada 1998 ikut bergabung dalam aksi untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Pasca Soeharto tidak lagi berkuasa, mereka bergerak menyentuh akar persoalan lain. “Kami sudah terlalu lama bicara di jalanan atau di aras politik yang lebih luas. Tetapi orang yang kami perjuangkan pun ternyata kehidupannya sangat sulit. Jadi kami memilih bersama-sama dengan mereka yang terpinggirkan ini.”
Ronald Pekuwali juga menyebutkan gagasan teologi seharusnya tidak menjadi eksklusif atau barang mewah tetapi menjadi berkah yang mengalir. “Rakyat membutuhkan itu. Kami bergumul bersama-sama dengan rakyat dan ‘Teologi Sosial’ membantu kami untuk itu. Kami bukan orang yang hanya membahas ayat suci dan tema-tema teologi saja.”
Disebutkan Ronald Pekuwali, perjumpaan dengan warga bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta terjadi pada 2007. Ketika itu banjir besar melanda Jakarta dan banyak warga bantaran Kali Ciliwung menjadi korban bencana itu. Sejak itu hubungan batin warga dengan para pendiri Komunitas Gumul Juang kemudian lahir.
Ronald Pekuwali yang juga merupakan salah satu pendiri KGJ memaparkan komunitas ini dibangun dengan prinsip solidaritas sebagai harga mati. Komunitas dan masyarakat berada dalam rengkuhan rasa kekeluargaan.
KGJ sudah menggarap beberapa potensi yang ada dalam masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta. Dari memberikan bimbingan belajar, membangun klub bola “Remaja Ciliwung (Remcil)”, dan ketrampilan bengkel. Diakui penyuka bola ini bahwa untuk ketrampilan bengkel masih masih terkendala kurangnya alat. Tetapi keberadaan KGJ ini sudah berdampak baik bagi masyarakat sekitar. Hal ini pun diakui warga.
Cerita Warga
Salah seorang warga, Hidayat Idris, mengatakan, “Gumul Juang banyak memberikan sumbangan positif bagi warga. Banyak warga yang dibantu. Kalau banjir datang, mereka ikut menangani, mencarikan tempat pengungsian.”
Hidayat Idris yang akrab dipanggil Lupus ini menuturkan bahwa sebelum ada KGJ ketika banjir datang, warga berpencar menyelamatkan diri masing-masing, kondisinya tidak terarah dan serba semrawut. “Saya waktu itu mengungsi di (sekolah) Santa Maria, gelar tikar di depan toko. Waktu itu banjir paling besar tahun 2007. Setelah mereka (Gumul Juang) turun kemari, mereka yang mencarikan tempat pengungsian.”
Laki-laki yang bekerja sebagai tukang kayu ini memberikan pengakuan pula kemampuan KGJ dalam memberikan bimbingan belajar. Anaknya laki-laki sejak TK sudah mengikuti bimbingan belajar yang diberikan KGJ dan waktu itu belum bisa baca tulis. Setelah mengikuti bimbinga belajar kini anaknya menjadi punya kemampuan dan percaya diri. “Alhamdulilah nilainya jarang ada yang merah. Rata-rata 8 dan 7.”
Dia juga mengungkapkan bahwa dia merasa aman kalau anaknya bermain ke KGJ. Dia juga turut senang anaknya bias bermain di klub bola “Remaja Ciliwung (Remcil)”. Dia berharap bakat anaknya bermain bola terasah. “Mudah-mudahan saja bisa jadi pemain (profesional). Entah pemain nasional atau pemain liga. Siapa tahu nasib anak-anak?” katanya.
“Komunitas Gumul Juang memang sangat membantu pendidikan anak-anak. Sampai gurunya nanya, anaknya belajar di mana koq bisa dapat nilainya bagus-bagus,” kata laki-laki berusia 48 tahun itu.
Mahasiswa Yang Terlibat KGJ
Yudit Lau, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (FISIP UKI) 2013 asal Kupang Nusa Tenggara Timur mengaku tertarik dengan kegiatan KGJ. Dia mengenal KGJ dari kerabatnya sejak 2012, sebelum kuliah.
Di KGJ, dia biasa mengajar di bimbingan belajar yang diselenggarakan komunitas. Ada 60-an anak yang menjadi siswa-siswi bimbingan belajar.
“Kami mengajar semua mata pelajaran. Tetapi kami lebih memfokuskan pada matematika dan bahasa Indonesia, serta menjawab kesulitan mereka dalam mata pelajaran di sekolah,” kata Yudit Lau. “Kami membantu menjawab kebutuhan mereka.”
Laki-laki yang juga bekerja di toko buku ini berbagi pengalaman bahwa KGJ tepat dengan dirinya. “Ketika saya di sini dan bertemu dengan warga akhirnya saya tertarik ikut bergabung dan terlibat di komunitas ini. Karena saya tertarik dengan dunia sosial. Saya akan terus stay di sini (Gumul Juang).”
Sementara Ucok Harahap mengenal KGJ jauh lebih lama daripada Yudit Lau. Dia mengenalnya sejak 2010. Dia selama ini mendengar KGJ yang berangkat dari gerakan di jalanan. Tetapi akhirnya dia mengenal gerakan nyata KGJ yang lain, yaitu terlibat pendampingan warga bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta.
Mahasiswa FISIP UKI 2013 ini juga merasa menjadi mahasiswa tidak lagi hidup dengan sekedar membaca buku, ke perpustakaan, dan ke kantin. Tetapi ada hal yang yang dapat diperbuatnya. Dia menyatakan bersama KGJ menjadi panggilan jiwanya.
Hambatan, Tantangan, dan Harapan
Keberadaan KGJ di tengah masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta bukannya tanpa hambatan dan tantangan. Latar belakang para pendirinya yang merupakan sekumpulan teolog atau calon pendeta sempat dicurigai. Mereka pernah diusir kelompok yang tidak menyukai keberadaan KGJ.
“Kami pernah diusir sehingga kami keluar. Tetapi seminggu kemudian warga sendiri yang memanggil kami kembali ke sini,” jelas Koordinator KGJ Ronald Pekuwali. “Setelah kami menceritakan kami diusir dan warga mengetahui hal itu maka beberapa oknum ini yang justru ditegur.”
Ketika dicross check, kelompok yang tidak menyukai keberadaan KGJ ternyata itu bukanlah kelompok warga bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri. “Ternyata (mereka) itu beberapa oknum yang terkait dengan partai politik dan dibilang bisa masuk aras Islam garis keras.”
Ronald Pekuwali yang mengagumi Teolog Pembebasan seperti Gustavo Gutierrez dan Leonardo Boff menerangkan tidak ada persoalan terkait agama dalam karya KGJ di tengah masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta. “Di sini tidak ada masalah ketika agama saya paling benar dan kamu beragama lain maka kamu harus tersingkir dari tempatku.”
“Mereka berlatar belakang Betawi. Betawi punya prinsip, tamu itu adalah tuan. Setiap yang datang wajib diberikan tumpangan. Mereka menerima kita dengan baik. Sampai saat ini keadaannya terus membaik.”
Ketika menyambut bulan Ramadhan, KGJ mengadakan kegiatan bersama warga Muslim. Sementara ketika menjelang Natal, KGJ bersama warga menggalang dana untuk mendukung kegiatan mereka lewat gereja.
“Tujuan utama kami melepaskan warga dari kemiskinan, kebodohan, gagal gizi dan segala macam. Secara teologis kami punya harapan besar agar tidak ada lagi pemisahan antar manusia karena agama. Itu terus kami upayakan.”
Berkarya di tengah masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta bukan perkara mudah. Masyarakat yang tinggal di daerah itu biasa diterpa isu penggusuran. Rata-rata tidak warga tidak memiliki sertifikat tanah, tetapi mereka membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) setiap tahun.
Hidayat Idris menyebutkan isu penggusuran sudah lama menerpa masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta. Dia menyebutkan bahwa keluarganya sudah empat turunan tinggal di daerah itu. “Saya asli Mampang Prapatan. Nyak ama Babe asli Mampang Prapatan, Warung Buncit. Asli Betawi. Pindahnya ke sini tidak tahu kapan. Tahu-tahu saja lahir di sini. Sejak dari saya kecil isunya sudah mau digusur.”
Dia berharap KGJ turut juga memperjuangkan warga menolak penggusuran. “Harapan saya, mereka mendampingi warga. Memperjuangkan hak warga bagaimana ganti ruginya. ‘Kan ceritanya ada ganti rugi, jangan sampai minim banget walau kita tidak punya surat sertifikat. Kami ‘kan sudah dari lahir di sini. Kata Pemerintah kalau sudah menempati 20 tahun maka itu menjadi hak kami.”
Bila pada akhirnya digusur atau dipindahkan, Hidayat Idris menolak kalau harus ditempatkan di rumah susun.
“Saya tidak mau rumah susun karena saya sudah tua. Paling naik berapa tingkat sudah loyo,” kata laki-laki kelahiran 1966 ini.
Walau ada fasilitas untuk orang tua seperti lift di rumah susun tetapi dia tetap merasa tidak nyaman. “Lift juga ngeri, takut mati listriknya. Listrik ‘kan sering mati.”
“Daripada di rumah susun saya mending ngontrak. Tidak betah saya di rumah susun.”
Tetapi dia mengharapkan penggusuran atau pemindahan masyarakat bantaran Kali Ciliwung Bukit Duri Jakarta tidak pernah terjadi. “Semoga selama-lamanya tidak dipindahkan.”
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...