Konferensi Iklim PBB di Madrid Temui Jalan Buntu
MADRID, SATUHARAPAN.COM – Negara-negara kaya dan berkembang, belum sepakat soal dana perubahan iklim dan aturan kerja sama internasional. Amerika Serikat, India, China, dan Brasil dikritik karena kurang tegas dalam memerangi perubahan iklim.
Konferensi iklim COP 25 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Madrid, Spanyol, dijadwalkan berakhir pada Jumat (13/12). Namun perdebatan sengit antar negara tentang cara mengatasi perubahan iklim, membuat pertemuan yang telah berlangsung selama dua minggu tersebut belum juga menemui kesepakatan.
Konferensi diperkirakan akan berlanjut hingga Sabtu (14/12). Perwakilan dari 200 negara telah bertemu di ibu kota Spanyol tersebut, untuk menyelesaikan buku peraturan tentang perjanjian iklim Paris 2015, yang menyerukan pembatasan suhu global menjadi "jauh di bawah" 2 derajat Celsius.
Bulan ini, PBB mengatakan bahwa pembatasan pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius memerlukan penurunan emisi lebih dari tujuh persen per tahun hingga 2030. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa iklim Bumi segera mencapai titik kritisnya, dan tidak mampu dibalikkan lagi. Hal ini ibarat jendela yang ditutup cepat.
Negara-negara dunia, belum mencapai kesepakatan di Madrid, tentang cara mendanai langkah-langkah perubahan iklim.
Mereka juga belum satu suara tentang aturan kerja sama internasional, karena ada ketidaksepakatan mendalam antara negara-negara kaya yang dianggap sebagai pencemar lingkungan dan negara berkembang.
"Kami telah melangkah sangat jauh, tetapi pertanyaan tentang bagaimana mengembangkan pasar C02 internasional sangat rumit," kata Menteri Lingkungan Jerman Svenja Schulze kepada DW, yang dilansir dw.com, pada Sabtu (14/12).
Namun, banyak pihak tidak sepakat terhadap anggapan bahwa negosiasi di Madrid telah menghasilkan kemajuan besar. Pemimpin gerakan Friday for Future, Greta Thunberg mengecam para pemimpin dunia karena kurangnya ketegasan dalam pembicaraan COP 25.
"Kami memastikan mereka untuk segera bertindak dan melakukan pekerjaan mereka, serta melindungi masa depan kami," kata Thunberg di Turin, Italia, seraya terus memimpin gerakan pemogokan sekolah mingguan.
Kaya Lawan Miskin
Negara-negara pencemar lingkungan yang lebih kaya seperti Amerika Serikat (AS), India, China dan Arab Saudi mendukung langkah-langkah yang relatif sama seperti saat perjanjian Paris 2015.
Tetapi lebih dari 80 negara miskin yang rentan terhadap iklim, yang didukung oleh Uni Eropa (UE), bersikeras untuk melangkah lebih jauh.
"Kami tidak akan pergi tanpa seruan yang jelas bagi semua negara untuk meningkatkan ambisi mereka," kata utusan iklim Kepulauan Marshall, Tina Stege.
Koalisi Asosiasi Negara Pulau Kecil mengecam Australia, AS, Kanada, Rusia, India, China, dan Brasil, karena kurangnya ambisi yang juga berpengaruh pada negara kecil.
Negara-negara lain juga terpecah, karena faktor kehilangan dan kerusakan, serta kompensasi bagi negara-negara yang sudah menderita akibat darurat iklim.
Amerika Serikat, yang berencana untuk keluar dari perjanjian iklim Paris, telah mempersiapkan langkah untuk memblokir segala aturan yang mungkin digunakan untuk menahan mereka pergi. Menurut pengamat dan diplomat, negara-negara maju lainnya akan bertanggung jawab atas kerusakan perubahan iklim senilai lebih dari $150 miliar (Rp 2106 triliun) per tahun pada tahun 2025.
Uni Eropa Sepakati Netralitas Karbon 2050
Pada Jumat (13/12), Uni Eropa menyetujui kesepakatan netral karbon pada tahun 2050. Uni Eropa mendukung rencana penurunan emisi karbon menjadi nol pada tahun 2050, walaupun Polandia menolaknya karena masih bergantung pada batu bara.
Tetapi, Komisi Uni Eropa berhenti menyetujui rencana pengurangan emisi sebesar 55 persen atau lebih pada tahun 2030.
Perdana Menteri Finlandia yang baru terpilih Sanna Marin, yang juga menjadi ketua kepresidenan Dewan Eropa, menyatakan komitmen UE.
"Saya sangat senang bahwa kita dapat mencapai tujuan bersama ini, bahwa Eropa akan menjadi netral iklim pada tahun 2050," kata Marin kepada DW.
"Kita semua tahu bahwa kita harus melakukan lebih banyak dan kita harus melakukannya lebih cepat. Ini tentang masa depan anak-anak kita, ini tentang generasi masa depan," katanya.
Berkenaan tentang Polandia, Marin berharap mereka pada akhirnya akan bergabung dengan gagasan ini.
"Kita semua sepakat bahwa Eropa akan menjadi netral iklim pada tahun 2050. Sekarang bagaimana negara-negara anggota yang berbeda menerapkan ini. Diskusi ini akan berlanjut pada musim semi mendatang," katanya.
Editor : Sabar Subekti
Rusia Mengemasi Peralatan Militer di Pangkalan di Suriah
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Rusia tampaknya mengemasi peralatan militer di pangkalan udara militer di ...