Konflik ''Matahari Kembar'' Pemberantasan Korupsi
SATUHARAPAN.COM – Konflik antara Polri dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kali ini bukan yang pertama terjadi. Tanpa ada perubahan budaya yang mendasar, khususnya dalam institusi penegakan hukum, kasus serupa akan terus terjadi. Ini konflik akibat ada ‘’matahari kembar.’’
Konflik kali ini, dengan fokus pada calon Kapolri yang menjadi tersangkan oleh KPK, dan Wakil Ketua KPK menjadi tersangka oleh Polri, sama sekali tidak menceminkan situasi sebenarnya dari perang besar melawan korupsi. Justru sebaliknya, hanya bentrokan kecil, bahkan bukan pertempuran, di dalam perang besar melawan korupsi yang sesungguhnya.
Celakanya, bentrokan kecil ini akan membuat para koruptor makin kuat dan negara serta entitas anti korupsi melemah. Sebab, kasus ini sebenarnya akan mengabaikan masalah utama, membuang energi. Isinya hanya debat soal pelantikan Kapolri, soal pelanggaran pemimpin KPK, dan wewenang KPK mengambil keputusan tanpa formasi lengkap. Bahkan ada pejabat, pengamat dan akademisi yang ‘’menyembah legalitas formal’’ meributkannya dengan mengabaikan etika dan moral.
Masalah utama korupsi adalah membangun lembaga penegak hukum yang benar-benar bersih, taat hukum, loyal pada negara, dan bermoral. Ini berarti proses reformasi (atau bahkan revolusi) pada institusi yang berwenang dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan kasus korupsi. Itu sebabnya KPK menjadi semacam ’’super body’’ karena harus menjalankan peran dua institus pertama, dan kemudian di bidang peradilan dibentuk pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi).
Selama ini, terutama selama 10 tahun terakhir pemerintahan, tidak ada upaya yang memadai memperbaiki institusi tersebut. Bahkan ada oknum di institusi tersebut terlibat korupsi, dan di pemerintahan hanya muncul kritik pada KPK, yang intinya cemburu pada power yang super, dan terus berupaya melemahkan KPK.
Musuh Atau Mitra?
Masalah ini bisa tidak berakhir. Konflik antara institusi penegak hukum dan KPK yang bersifat ad hock, bagaikan ‘’matahari kembar’’ dalam wewenang memberantas korupsi. Selama ada KPK sebagai ‘’kembaran,’’ relasi lembaga-lembaga itu dalam ketengangan. Hasilnya kontra produktif dalam pemberantasan korupsi. Sayangnya, Polri dan Kejaksaan Agung kita sejauh ini belum pada kesadaran bahwa keberadaan KPK adalah kritik tajam pada kinerja kedua institusi. Dan kritikan itu sarana untuk lebih maju.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Koruptor adalah musuh negara dan daya rusaknya melebihi pemberontak. Adanya KPK adalah upaya ‘’luar biasa’’ bagaikan membuat ‘’kembaran’ matahari’’ untuk memberantas korupsi. Kecemburuan pada KPK pasti terjadi, dan harus menjadi pemicu revolusi mental pada Polri dan Kejagung, bukan cemburu dengan melemahkan.
Itulah masalah utama dalam pemberantasan korupsi. Kasus yang sekarang terjadi hanya untuk membuat kita seperti burung unta, membenamkan kepala, menganggap masalah ini tidak ada. Inilah ‘’permainan cerdas’’ koruptor yang kita sering lupakan. Koruptor dan kaki tangannya menposisikan Polri dan Kejasaan bermusuhan dengan KPK, dan bukannya sebagai partner penting memperbaiki diri.
Unit Anti Korupsi
Pesiden Joko Widodo, haruslah melihat masalah ini. Fokus Presiden tidak boleh hanya soal melantik Kapolri atau tidak, dan soal pengunduruan diri komisioner KPK. Sebab, hal itu hanya akan menghasilkan hiruk-pikuk yang membuang energi, dan masalah tetap 9atau makin) besar. Presiden harus fokus pada memperbaiki kejaksaan dan kepolisian sebabagi kekuatan anti korupsi. Dan melakukan hal itu dengan memaksimalkan peran KPK.
Salah satu hal yang mungkin dilakukan adalah dengan membentuk unit anti korupsi di dalam institusi Polri yang akan bertugas dalam penyidikan, seperti halnya unit anti terorisme (Detasemen Khusus 88). Juga terbentuk unit anti korupsi di Kejagung yang bertugas dalam penuntutan. Unit-unit ini bekerja di bawah pimpinan dan supervisi KPK dan langsung dalam kendali Presiden.
Tim ini akan bekerja untuk membersihkan pemerintahan dari anasir korupsi, dan dimulai dari institusi itu, Polri dan Kejagung untuk membangun budaya institusi yang baru. Patut diingat bahwa penyidik dan penunut di KPK sebenarnya juga berasal dari Polri dan kejaksaan. Mereka bekerja efektif di dalam KPK, tetapi diduga ‘’seperti tak berdaya’’ ketika kembali ke institusi mereka. Ini indikasi kuat bahwa budaya kedua institusi masih belum beres.
Tim ini akan menjadi kekuatan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, dan akan makin kuat ketika Pengadilan Tipikor dan Mahkamah Agung mmendukung dengan semangat yang sama. Hal ini berarti proses untuk mengakhiri era ‘’matahari kembar’’ pemberantasan korupsi.
Presidenlah yang bisa membuat hal ini mungkin dan terjadi, dan dimulai dengan mengangkat Kapolri dan Kjaksa Aguing yang bisa bersinergi dengan KPK, dan bukan yang memposisikan KPK sebagai musuh. Karena Kapolri, Jaksa Agung dan Pemimpin KPK yang bisa membuat unit anti korupsi ini menjadi ‘’pasukan elite’’ pemberantas korupsi.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...