Konstitusi Baru Tunisia: Ateisme Diizinkan
TUNIS, SATUHARAPAN.COM – Majelis Nasional Konstituante (National Constituent Assembly / NCA) Tunisia dengan suara mayoritas menyetujui konstitusi baru negara itu setelah beberapa dekade negara itu di bahwah pemerintahan otoritarian. Selain perlindungan hak asasi manusia, konstitusi itu juga mengizinkan praktik atheisme.
Pemungutan suara di NCA diselenggarakan pada hari Minggu (26/1) malam dan disetujui oleh lebih dari 90 persen anggota NCA (200 dari 216 anggota). Hanya empat suara yang menolak dan 12 abstain. Hal itu berarti melebihi dua per tiga suara dari yang diperlukan.
Draft akhir konstitusi baru itu dibahas dengan negosiasi yang teliti dan sering terjadi kontroversial. Dengan konstitusi baru itu, Tunisia menyusul Mesir, negara tetangga di Afrika utara yang dilanda revolusi Musim Semi Arab sejak 2011, dengan memiliki konstitusi baru.
Pemungutan suara dilakukan dengan sebelumnya dibacakan seluruh dokumen yang mencakup 146 pasal hasil dari kerja majelis selama lebih dari dua tahun. Konstitusi baru itu disebutkan akan membawa Tunisia sebagai negara dengan pemerintahan yang demokratis.
Terganggu Konflik
NCA dibentuk pada Oktober 2011 dengan tugas menyusun draft konstitusi. Semula diharapkan selesai dalam setahun, namun terganggu oleh konflik politik yang sedang berlangsung dan berbagai kasus pembunuhan dua politisi yang mempengaruhi reformasi di negara itu.
Konstitusi baru itu akan ditandatangani oleh presiden, perdana menteri, dan ketua majelis pada hari Senin. Dan konstitusi ini akan menggantikan konstitusi lama tahun 1956 yang disusun setelah Tunisia merdeka dari Prancis.
Setelah pembacaan dan pemungutan suara selesai, anggota majelis melambaikan tangan mereka. Ketua majelis, Mustapha Ben Jaafar, kemudian memimpin peserta untuk mengenang dua anggota majelis yang meninggal selama proses penyusunan rancangan konstitusi, yaitu Mohamed Brahmi yang dibunuh pada Juli 2013, dan Mohamed Allouche meninggal mendadak pekan ini.
Jaafar mengatakan, "Kami hari membuat pertemuan bersejarah untuk membangun demokrasi yang didasarkan pada hak-hak asasi manusia dan kesetaraan." Konstitusi menetapkan kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.
Soal Agama Islam
Pembahasan yang panas tentang konstitusi menyangkut isu peran agama (Islam) dalam konstitusi, persyaratan calon presiden, dan rincian transisi pasca diterimanya konstitusi baru. Zied Laadhari, anggota majelis dan juru bicara Partai Islam Ennahdha menyatakan berkompromi terhadap konstitusi baru.
"Ini hasil di mana setiap orang dapat menemukan dirinya sendiri dan itulah hal yang paling penting," kata dia kepada media Tunisia Live. "Ini adalah gabungan dari kompromi antara kekuatan-kekuatan politik dan sosial yang berbeda di negara ini dan itu adalah hal yang sangat baik."
Konstitusi baru itu dinilai sangat progresif. "Kami adalah negara pertama di dunia yang menempatkan pemerintah terbuka dalam konstitusi," kata anggota majelis dari Partai Kongres untuk Republik, Mbrouka Mbarek. Dia juga mengutip ketentuan untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan desentralisasi pemerintahan.
Mbarek mengatakan," Kita tidak akan merasakan efek langsung. Kita akan menerapkannya perlahan-lahan," kata dia.
Konstitusi baru itu merupakan bagian dari transisi panjang sejak revolusi Januari 2011 yang menggulingkan pemerintahan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali.
Pembahasan konstitusi baru yang lambat di Tunisia karena selama periode tersebut negara itu menghadapi tingginya pengangguran, aksi protes dan serangan teroris terus-menerus, bahkan pembunuhan politisi. Mereka lebih terfokus mengatasi hal itu daripada menyelesaikan naskah konstitusi.
Hak Perempuan
Di Tunisia, majelis dipilih dari kelompok Islamis, sayap kiri dan liberal. Konstitusi baru itu diharapkan membawa negara dengan penduduk 11 juta orang itu pada pemerintahan demokrasi , dengan negara sipil, dan hukum tidak didasarkan pada hukum Islam.
Seluruhnya, 28 bab dari dokumen itu didedikasikan untuk melindungi hak-hak warga negara, termasuk perlindungan dari penyiksaan, hak melakukan proses, dan kebebasan beribadah. Juga dijamin kesetaraan antara pria dan perempuan di depan hukum, dan negara berkomitmen untuk melindungi hak-hak perempuan.
"Ini adalah revolusi yang sesungguhnya, banyak konstitusi demokratis bahkan tidak memiliki hal itu," kata Amira Yahyaoui, salah satu anggota majelis. "Ini berdampak yang nyata pada seluruh kawasan Arab, karena akhirnya kita dapat mengatakan bahwa hak-hak perempuan bukan konsep Barat saja, tetapi juga ada di Tunisia."
Kebebasan Beragama
Dengan konstitusi baru itu Tunisia adalah negara yang memiliki undang-undang yang paling progresif tentang hak-hak perempuan di dunia Arab. Salah satu pasal yang paling hangat diperdebatkan adalah yang menjamin “kebebasan beragama dan hati nurani," yang memungkinkan praktik ateisme dan praktik agama-agama non Ibrahimi, yang mungkin tidak disukai di negara-negara Islam lainnya.
Konstitusi itu melarang menghasut untuk melakukan kekerasan dan menyatakan seorang Muslim sebagai murtad ketika seorang pindah agama, dan membuat mereka diancaman kematian.
Seorang anggota parlemen konservatif juga menanggpi bahwa "serangan terhadap hal-hal yang suci (sakral)" dilarang, yang kebanyakan dilihat sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
"Formulasi ini tidak jelas dan memberikan terlalu banyak kelonggaran kepada legislator untuk menginjak-injak hak-hak lain seperti hak untuk kebebasan berekspresi , kreasi artistik dan kebebasan akademik," kata Amna Guelleli, wakil Human Rights Watch di Tunisia.
"Namun untuk mengurangi risiko itu diberi perlindungan yang kuat (dalam pasal lain) terhadap interpretasi yang terlalu luas," kata dia.
Sejak revolusi di Tunisia terjadi peningkatan serangan terhadap agama, terutama oleh seniman. Seorang kartunis Tunisia dihukum tujuh tahun karena memposting kartun menghina Nabi Muhammad di halaman Facebook.
Pakar konstitusi Tunisia, Slim Loghmani, mengatakan, meskipun ada beberapa kekurangan, konstitusi adalah "kompromi bersejarah antara identitas dan modernitas" yang dapat berfungsi sebagai model bagi negara-negara lain di kawasan ini dalam mencari keseimbangan antara warisan Arab - Islam dan ide-ide kontemporer hak asasi manusia dan pemerintahan yang baik.
"Ini adalah langkah maju tentang pertanyaan yang mengganggu identitas budaya di negara-negara Arab," kata dia. Dia memuji secara khusus bukan hanya tentang kebebasan beragama, tetapi juga tentang apa yang disebut kebebasan "untuk tidak memiliki agama." (tunisia-live.net /ahram.org.eg)
Enam Manfaat Minum Air Putih Usai Bangun Tidur
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Terdapat waktu-waktu tertentu di mana seseorang dianjurkan untuk me...