KontraS Mencatat Ada Rekayasa Operasi Anti Komunis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar, mengatakan dengan maraknya operasi anti komunisme atau Partai Komunisme Indonesia (PKI) merupakan rekayasa dan tindakan yang berlebihan.
“Kami mencatat bahwa apa yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari ini di bulan Mei, terutama pasca Simposium Masalah 1965 dan upaya pendataan kuburan massal peristiwa 1965, merupakan upaya menciptakan “musuh” dan situasi kegentingan atas kebangkitan komunisme atau PKI di berbagai tempat di Indonesia,” kata Haris dalam siaran pers yang diterimas satuarapan.com, di Jakarta, hari Jumat (13/5).
Tindakan ini sungguh aneh karena PKI, kata Haris yang merupakan PKI sudah dibubarkan. Komunisme pun harus dilihat sebagai pengetahuan umum diantara pengetahuan umum lainnya, yang dibaca dan dipelajari sebagai sebuah pengetahuan sosial.
“Lalu kenapa ada upaya menciptakan ketakutan pada pengetahuan ini? Jadi situasi ini merupakan musuh yang diciptakan," kata dia.
Menurut Haris ketidakwarasan juga terlihat dari tindakan di lapangan yang terjadi dalam beberapa hari ini, ketakutan pada PKI atau komunisme diwujudkan dengan mengamankan, menangkap, menyita atau melarang pemakaian kaos yang berlambang Palu, Arit, kaos berwarna merah, film yang membahas pelanggaran HAM, intimidasi ke penerbit buku.
“Semua tindakan ini tidak berhubungan dengan suatu tindak pidana apapun yang sudah terjadi. Situasi ini justru menunjukkan bahwa ada upaya membangun kembali peran intervensi militer di Indonesia untuk masuk merecoki kehidupan sipil demokratis di Indonesia, dimana tentara melakukan intimidasi (penerbit buku Resist di Yogyakarta, 11 Mei 2016), Menangkap seseorang di Ternate, 11 Mei 2016)," kata dia.
Menurut Haris apa yang terjadi saat ini adalah sebuah Operasi, bergaya Orde Baru dengan sedikit menggunakan peran teknologi informasi. Operasi ini memiliki pembagian peran.
Pertama, kata Haris operasi tertutup, propaganda menyebarkan broadcast informasi atribut-atribut “PKI” atau “Komunis” seperti di Palembang beredar berbagai striker PKI. Penyebaran informasi perihal PKI juga banyak beredar di jejaring media sosial yang luas digunakan publik Indonesia seperti Facebook, Twitter, Instagram.
“Kami melihat ada beberapa motif seperti menunjukkan bahwa PKI masih ada. Menyulut rasa ketidaksukaan kelompok sosial lainnya yang cenderung berada di garis konservatif," kata dia.
Kedua, lanjut Haris operasi mobilisasi (kelompok) masyarakat untuk memelihara ketakutan dan perasaan adanya ancaman, sekaligus mendatangi organisasi-organisasi tertentu dan menuduh komunisme.
Ketiga, kata Haris operasi tertutup ini kemudian menarik para pengambil kebijakan keamanan untuk bertindak restriktif dan represif dengan menekan kelompok-kelompok ekspresi menggunakan hukum secara serampangan.
“Diketahui bahwa hari ini (12/5) Mabes Polri – Divisi Hukum akan menggelar Focus Group Discussion: Kajian Yuridis Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia dengan mengutip peristiwa pembubaran nonton film Pulau Buru Tanah Air Beta yang diselenggarakan oleh AJI Yogyakarta dan berupaya untuk membenarkan tindakan legal guna melarang ajaran “Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai bahan ajar bagi pimpinan Polri untuk mengambil tindakan hukum,”kata dia.
“Sayang sekali, Joko Widodo, sang presiden, hanya mengamini genderang operasi atau propaganda ini," dia menambahkan.
Haris berpendapat bahwa presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa perlu penegakan hukum atas komunisme. Pernyataan ini bisa dijadikan alat pembenar bagi siapapun di daerah atau di lapangan untuk saling tuduh dan berujung konflik atau kekerasan. Atas nama “komunisme” seseorang atau kelompok tertentu bisa melakukan main hakim sendiri.
"Operasi ini terjadi akibat kegamangan pemerintahan Joko Widodo dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Ketidakpatuhan hukum oleh Komnas HAM, Jaksa Agung dan Presiden berdampak pada cara-cara penyelesaian yang berpotensi memunculkan atau "sengaja menciptakan" konflik sosial atau operasi tertentu," kata dia.
Selain itu, kata Haris operasi seperti ini pernah terjadi beberapa kali sebelumnya di Indonesia, salah satu yang terdekat pada September tahun lalu, 2015. Pada saat itu gencar muncul informasi kebangkitan PKI dan terdapat informasi bahwa presiden Joko Widodo akan “minta maaf” pada PKI.
"Padahal informasi ini tidak pernah disampaikan secara resmi oleh presiden ataupun pihak Istana. Menariknya, justru pihak Istana mengetahui siapa yang menghembuskan informasi tersebut, namun tidak bersedia membukanya. Tujuan dari operasi ini pada September lalu, adalah untuk memastikan bahwa Joko Widodo hadir Monumen Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, Jakarta Timur," kata dia.
Menurut Haris pembatasan praktik ekspresi publik dengan tindakan yang mendahului dan dipenuhi rekayasa ini jelas bertentangan pada komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghormati kebebasan berekspresi yang diatur di dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 23 UU No. 39/1999 tentang HAM.
“Bagi mereka yang berusaha untuk menolak argumentasi KontraS dan pegiat HAM lainnya, maka akan kerap mengutip Pasal 28J (2) UUD 1945 yang ditafsirkan secara ambigu dan tidak sesuai dengan semangat derogasi hak yang diatur dalam tata hukum nasional dan internasional,” kata dia.
Kali ini, kata Haris tujuan dari operasi dibulan Mei ini adalah untuk menolak rencana pengungkapan kejahatan politik Orde Baru yang militeristik, terutama pasca menguatnya upaya identifikasi kuburan masal. Kedua bertujuan untuk membungkam gerakan kelompok kritis dikalangan masyarakat yang makin menguat membongkar berbagai kejahatan negara, baik dimasa lalu maupun yang kini sedang terjadi.
"Seperti menuduh upaya advokasi tolak reklamasi sebagai komunis, teror terhadap penerbit buku di Yogyakarta. Semua operasi ini adalah bentuk ketakutan dari mereka yang diuntungkan oleh praktik korup dan militeristik Orde Baru. Kepentingan mereka sedang terganggu oleh kemajuan dan perubahan zaman. Siapa mereka," kata dia.
"Kami dari KontraS meyakini bahwa hal ini tidak susah untuk diungkap oleh pihak Istana. Seperti saat September 2015, dan presiden harus hentikan operasi-operasi seperti ini. Jika tidak, maka ke depan kita masih akan disuguhi drama anti komunisme, dan “anti-anti lainnya," katanya.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...