Korupsi: Kejahatan Luar Biasa, Hukuman Biasa
SATUHARAPAN.COM - Ketika muncul rencana oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang syarat remisi, banyak pihak langsung bicara di media massa. Reaksi itu terutama menilai bahwa perubahan akan menguntungkan terpidana korupsi. Yang lain bicara lebih keras, dan menyebut sebagai ‘’kemenangan koruptor.’’
Alasan revisi PP tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan itu disebutkan untuk mengurangi kisruh dan kelebihan kapasitas di penjara. Tapi agaknya sulit diterima jika yang dilakukan adalah penghapusan status justice collaborator sebagai salah satu syarat terpidana korupsi mendapatkan remisi.
Penghapusan status justice collaborator sebagai syarat mendapatkan remisi jelas tindakan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Karena syarat itu mencerminkan tuntutan adanya penyesalan dan berbalik sikap dengan membantu membongkar jaringan korupsi yang terkait.
PP 99 Tahun 2012 menyebutkan narapidana korupsi akan memperoleh pengurangan masa tahanan melalui remisi, dan pembebasan bersyarat jika berstatus sebagai saksi pelaku yang mau bekerja sama mengungkap kejahatan lainnya (justice collaborator).
Koruptor Ikut Pilkada?
Bersamaan dengan isu ini, terkait pemilihan kepala daerah serentak di sejumlah daerah yang akan berlangsung 2017, banyak pihak juga angkat bicara. Di berbagai daerah diungkap bahwa banyak calon kepala daerah terindikasi melakukan pidana korupsi.
Selain itu, munculnya sponsor bagi kandidat juga mewarnai dinamika proses politik ini. Dan dukungan bagi kandidat ini biasanya menunjukkan indikasi adanya ‘’ikatan’’ bersyarat yang arahnya pada konsesi politik dan ekonomi, jika jadi kepala daerah.
Kekhawatiran ini layak direspons dan beralasan. Kita bisa melihat catatan dari Kementerian Dalam Negeri tentang kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) yang menghadapi masalah hukum, terutama korupsi. Sampai tahun 2010 ada 206 kepala daerah yang terlibat. Tahun 2011 bertambah 40 orang, tahun 2012 bertambah 41 orang, dan 2013 bertambah 23 orang.
Sementara menurut pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro, sampai 2015 setidaknya ada 360 kasus hukum yang membelit kepala daerah. Sementara seluruh kepala daerah ada 541. Angka itu baru dari kepala daerah, dan jika dimasukkan data wakil kepala daerah, pejabat daerah lain, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka angkanya akan jauh lebih tinggi.
Data itu seharusnya menjadi cambuk agar Pilkada bersih dari korupsi. Sebab, Pilkada yang diwarnai praktik korupsi akan menghasilkan pemerintahan korup. Yang harus dilakukan adalah: Pertama bersih dari calon-calon yang terindikasi korupsi, apalagi terpidana korupsi yang sudah keluar dari penjara, karena mendapatkan remisi begitu banyak.
Kedua, menjadi kandidat bebas korupsi, yaitu tidak ada ‘’transaksi’’ dengan partai politik untuk mendapatkan dukungan dalam mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dan ketiga, harus bersih dalam memperoleh suara rakyat, dengan tidak mempraktikkan politik uang.
Penjahat Biasa
Perdebatan yang terus-menerus tentang melawan korupsi memperlihatkan bahwa korupsi masih belum sepenuhnya dilihat dan diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa. Karerna hukum dan sikap kita, terutama di pemerintahan, tidak melihatnya sebagai luar biasa.
Pemberian remisi bagi koruptor tanpa menjadi justice collaborator, jelas menempatkan narapidana ini sama saja dengan narapidana lain. Indikasi banyak orang terlibat korupsi yang bisa melengang menjadi kandidat kepala daerah, adalah cemin parpol melihat korupsi sebagai kejahatan biasa, atau bahkan hal biasa.
Hal yang naif sebenarnya, ketika banyak disaksikan koruptor dikawal oleh pendukung, disanjung, dibela, dan disambut. Koruptornya sendiri bisa tampil di publik dengan tersenyum lebar dan kepala tegak, sementara rombongan besar pendukung mereka berdiri di belakang.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus diserang dengan gecar, dan dicoba dilucuti wewenangnyan agar koruptor mudah meloloskan diri. Cara ini antara lain melalui serangan pada komisioner KPK dan mencoba mengubah UU yang menjadi landasan legal KPK.
Hal itu menunjukkan korupsi belum diperlakukan sebagai kejahatan luar biasa. Jangan,jangan yang luar biasa di Indonesia adalah bahawa korupsi diucapkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi pelakunya (koruptor) diperlakukan sebagai penjahat biasa. Ini terlihat dalam pemberian remisi, masih bisa menjadi calon kepala daerah, hukuman masih rendah, dan uang yang dikembalikan umumnya jauh lebih kecil dari uang yang dicuri.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata hukuman penjara bagi koruptor itu hanya dua tahun 11 bulan. Itu tahun 2013, dan ada kecenderungan menurun menjadi dua tahun delapan bulan (2014). Tahun 2015 turun lagi menjadi dua tahun dua bulan.
Akibat Luar Biasa
Pengungkapan dan proses penuntutan kejahatan korupsi di Indonesia juga masih fokus pada apa yang dilakukan pelaku, tetapi kurang memberikan ruang untuk mengungkap akibat dari tindakan korupsi itu.
Korupsi menjadi kejahatan luar biasa, karena pelaku umumnya pejabat negara yang digaji dan diberi wewenang oleh negara, tetapi membuat kerugian besar pada negara. Korupsi merusak pengelolaan negara dan penegakkan hukum. Bahkan uang hasil korupsi umumnya juga digunakan untuk melemahkan dan merusak hukum, agar makin terbuka jalan melakukan korupsi yang lebih besar.
Korupsi bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak sistem. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa terjadinya kekacauan sampai menjadi negara gagal pada sejumlah negara, selalu didominasi oleh masalah korupsi dan banyaknya pejabat korup.
Dampak kerugian negara juga masih dilihat sebatas pada berapa banyak uang negara dicuri, tetapi tidak sampai mengaudit akibatnya pada rakyat. Padahal akibat korupsi terutama pada kinerja lembaga negara dalam memnyediakan pelayanan publik. Bahkan kejahatan korupsi yang akibatnya merusak lingkungan, akibatnya bisa bersifat permanen.
Audit Kerugian Korupsi
Audit kerugian akibat kejahatan korupsi harus dilakukan dalam penuntutan terhadap pelaku, dan pelaku harus bertanggung jawab, tidak hanya terbatas mengembalikan uang negara yang dicuri. Ini juga yang mendasari gagasan agar narapidana korupsi bisa diharuskan melakukan kerja sosial.
Selain itu, kejahatan korupsi umumnya bersifat transnasional. Dana hasil korupsi disimpan dan dicuci di luar negeri. Kejahatan ini jelas melemahkan negara sendiri dan menguntungkan negara lain: dampaknya melampaui nilai yang dicuri. Maka negara penampung dana korupsi pantas disebut pendukung korupsi.
Korupsi umumnya dilakukan dengan merusak sistem, dan dilakukan dalam jaringan. Hal ini membutuhkan kekuatan super untuk menangkap pelaku dan menjeratnya secara hukum. Artinya, bukan hanya proses pembuktian yang perlu upaya luar biasa, tetapi rusaknya sistem adalah dampak yang luar biasa.
Maka, tanggung jawab pelaku dan upaya pemberantasan korup juga harus menyentuh pada pemulihan sistem. Tanpa itu, akan muncul koruptor baru yang dilahirkan dari sistem dan budaya organisasi yang korup itu.
Oleh karena itu, korupsi harus didudukan sebagai kejahatan yang membuat negara gagal, dan akan meruntuhkan negara. Segala tindakan yang memberi ‘’angin segar’’ bagi koruptor, hidupnya sistem dan budaya memberi peluang korupsi adalah tindakan membahayakan negara.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...