Korut Tangkap Mahasiswa AS Sebab Diperalat Gereja
SATUHARAPAN.COM – Otto Frederick Warmbier, mahasiswa di Universitas Virginia, adalah warga terbaru Amerika yang ditahan di Korea Utara. Turis Amerika ke Korut terus meningkat, didorong oleh semangat petualangan dan pekabaran Injil.
Sebuah “pengakuan” dibuat oleh pemuda Amerika berusia 21 tahun yang dituduh berusaha mencuri spanduk hotel di Pyongyang Hotel adalah benang merah dari berbagai drama penahanan orang asing di Korea Utara: petualang muda, iman Kristen, dan spionase.
Otto Frederick Warmbier, mahasiswa junior di University of Virginia (UVA), ditahan pada Sabtu (2/1) lalu. Seperti diberitakan csmonitor.com, akhir Januari lalu, saat itu ia dan peserta lain kelompok wisatawan dari Young Pioneer Tours—perusahaan berpusat di Tiongkok—mengakhiri perjalanan wisata dan siap keluar dari Korut.
Seninnya, para pejabat Korea Utara mengatakan Warmbier mengadakan konferensi pers yang difilmkan “atas permintaan sendiri” untuk minta maaf atas usahanya menurunkan spanduk propaganda dari Yanggakdo International Hotel di Pyongyang. Tindakan ini digambarkan Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) sebagai “tindakan bermusuhan”.
Warmbier meminta maaf pada Korut mengatakan dia “diperalat dan dimanipulasi” oleh anggota gereja di kampung halamannya dan Z Society, sebuah kelompok filantropi di UVA.
“Saya tidak pernah seharusnya membiarkan diri tergoda oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan kejahatan di negara ini,” katanya dalam video yang diberikan Korut kepada CNN. “Saya membuat kesalahan terburuk dalam hidup.” Warmbier, yang mengenakan celana panjang dan jaket, terlihat menangis dan membungkuk.
Pejabat DPRK mengklaim bahwa Warmbier setuju untuk membawa pulang spanduk sebagai “oleh-oleh” dari negara itu atas permintaan seorang wanita di Friendship United Methodist Church di Wyoming, Ohio. Jika berhasil, sebagai imbalannya Warmbier akan mendapat mobil bekas seharga $ 10.000 (Rp 134 juta). Jika dia ditahan dalam usahanya, para pejabat Korut mengatakan, keluarganya akan menerima $200.000 (Rp 2,68 miliar). Para pejabat juga mengklaim banner itu adalah tes untuk keanggotaan di Z Society.
Gereja dan Z Society—yang diklaim DPRK terhubung dengan CIA—menyangkal bahwa Warmbier adalah anggotanya. Departemen Luar Negeri, yang sangat melarang perjalanan ke Korea Utara, telah menahan diri dari mengomentari kasusnya.
Bagi orang-orang Amerika yang ditahan oleh Korea Utara—sekarang sudah dibebaskan, kecuali Warmbier dan Kim Dong Chul, warga negara naturalisasi yang ditangkap pada bulan Oktober, namun yang statusnya belum dikonfirmasi oleh para pejabat AS—”pengakuan” itu adalah tontonan biasa di sana.
Banyak dari tahanan masa lalu telah dibebaskan setelah dikunjungi pejabat tinggi atau diplomat AS. Biasanya sebelumnya orang yang ditahan membuat pengakuan model Warmbier ini. AS tidak memiliki kedutaan besar di Korea Utara, dan bergantung pada Kedutaan Besar Swedia untuk membantu koordinasi pelayanan bagi warga AS di negara itu.
Namun perjalanan ke Korea Utara, diizinkan untuk warga AS sejak tahun 2010. Ini tidak hanya legal, tetapi bahkan tumbuh. Izin ini menarik mereka yang ingin tahu. Termasuk, wartawan Euna Lee dan Laura Ling, dua mahasiswa, dan banyak orang yang dituduh menyebarkan Alkitab.
Sekitar 6.000 orang dari Barat mengunjungi Korea Utara per tahun, kata pemandu wisata kepada USA Today. Dan, seperempatnya adalah warga AS. Tidak semua orang melihat industri baru itu sebagai hal positif: selain komplikasi diplomatik, pengunjung ditahan, ada tuduhan bahwa wisata itu erat dimonitor agar menunjukkan versi negara yang disetujui pemerintah Korea Utara. Juga, ada keberatan karena membantu mendanai sebuah negara yang menindas, namun kecil keuntungan.
Namun, bagi banyak wisatawan berpengalaman, Korut adalah tujuan wisata incaran: pengalaman perjalanan yang dapat disombongkan karena negaranya unik.
Pemahaman budaya selalu menang, kata operator tur besar, termasuk Uri Tours, Young Pioneer Tours, dan Koryo Tours.
“Keyakinan kami adalah bahwa ada nilai untuk pariwisata, dan kontak dengan orang-orang lokal,” kata Andrea Lee, CEO perusahaan tur berpusat di New Jersey, Uri Tours, kepada USA Today. “Makin banyak orang Barat datang, khususnya AS, hubungan yang lebih baik akan didapat.”
Profil media sosial Warmbier ini—beberapa di antaranya telah dihapus setelah penahanannya—menyebut dia sebagai wisatawan antusias. Bersemangat rasa ingin tahu juga berbentuk kasus aneh Matthew Miller, seorang warga California berusia 25 tahun yang dibebaskan bersama misionaris Kenneth Bae setelah James Clapper, Direktur US Intelijen Nasional, mengunjungi untuk mengamankan pembebasan mereka pada November 2014.
Miller mengatakan kepada Guardian bahwa ia telah merencanakan penahanannya sendiri dalam upaya untuk mempelajari lebih lanjut tentang negara daripada melalui tur singkat. Ia sengaja merusak visa turisnya, meminimalkan jejak digital, dan menulis catatan yang isinya dia memegang rahasia negara.
“Saya berusaha terus tinggal di negeri ini,” katanya kepada pewawancara. “Malam pertama mereka mengatakan, 'Kami ingin Anda meninggalkan negara ini pada penerbangan berikutnya.” Tapi saya menolak. Saya tidak pergi.”
Dia menyebut percobaan itu “sukses,” tapi menyesal karena membuang banyak waktu” saat pejabat AS membebaskannya.
Tapi bagi banyak misionaris Kristen, yang menyadari risiko, perjalanan ke Korea Utara adalah sesuatu yang harus dilakukan.
Banyak orang Barat telah ditahan karena diduga meninggalkan Alkitab atau bahan Kristen lainnya: Jeffrey Fowle, misalnya, ditahan enam bulan karena meninggalkan Alkitab di kota timur laut dari Chongjin. Kenneth Bae, yang perusahaan turnya dituduh berusaha menjatuhkan pemerintah, adalah seorang misionaris. Menurut Slate, ia merupakan bagian dari gerakan evangelikal untuk membuat organisasi nirlaba Kristen dan bisnis di DPRK dengan harapan halus memperkenalkan Utara Korea pada Injil.
Pyongyang University of Science Technology adalah universitas swasta pertama di Korea Utara yang didanai oleh kelompok Kristen asing. “Namun, para dosen dilarang terang-terangan mengabarkan Injil,” kata Isaac Stone Fish, seorang editor di majalah Foreign Policy kepada Public Radio International. Tapi, dalam mengajar, katanya, para dosen itu menemukan cara untuk “berdoa dengan mata terbuka.”
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...