KPK: Ahok Tidak Intervensi Pembelian Lahan RS Sumber Waras
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak melakukan intervensi dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,64 hektar.
"Dari hasil penyelidikan, kami menanyakan apakah ada intervensi dari Ahok dalam kasus tersebut, misalnya dalam pemilihan lahan. Saksi-saksi yang dimintai keterangan mengatakan tidak ada," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR di gedung DPR Jakarta, seperti dilansir dari Antara, hari Rabu (15/6).
"Kemudian apakah ada intervensi Ahok mmenentukan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)? Sama sekali tidak ada, sehingga sulit bagi kami misalnya menaikkan penyelidikan ke penyidikan kalau motif kejahatan tidak kami dapatkan," katanya.
Ketua KPK, Agus Rahardjo, dalam rapat tersebut menyatakan bahwa tim penyelidik KPK merekomendasikan untuk menghentikan penyelidikan dugaan korupsi terkait pembelian tanah dari Rumah Sakit Sumber Waras meski laporan audit hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp 191 miliar akibat jual beli tersebut.
Hal itu, menurut Agus, terjadi karena perbedaan aturan yang dipakai oleh auditor BPK dan penyelidik KPK.
Penyelidik KPK, ia menjelaskan, menggunakan Peraturan Presiden No.40/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Mereka khususnya menggunakan pasal 121 dari ketentuan tersebut yang memuat aturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih lima hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
"Menyangkut mens rea (niat jahat) dan penyalahgunaan kewenangan, terus terang empat tahun saya menjadi hakim, surat dakwaan suka tidak jelas salahnya terdakwa di mana. Kadang perbuatan menyangkut terdakwa hanya satu kalimat itu. Kami sangat hati-hati di penyidikan dan surat dakwaan supaya dalam persidangan kita yakin apa yang kita dakwakan terbukti dan hakim tidak ragu lagi yang bersangkutan bersalah," kata Alex.
Alex mengatakan bahwa pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang No.31/1999 yang sudah diubah dengan Undang-Undang No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membingungkan penggunaannya.
"Pasal 2 dan 3 sangat membingungkan. Bagi hakim pasal 2 seperti keranjang sampah, perbuatan apapun bisa masuk pasal 2. Kalau dalam praktik kan pasal 2 subsidaritas masuk ke pasal 3 dan akhirnya membebaskan terdakwa dari pasal 2 karena alasan yang lucu," ujar Alex.
Kadang, lanjut dia, majelis lebih mempertimbangkan pasal 3 karena nilai kerugian negara kecil jadi dengan pertimbangan keadilan.
"Misalnya rasanya tidak adil kalau hanya mendapat keuntungan Rp20 juta kok ditahan empat tahun karena pakai pasal 2. Misalnya seorang yang diangkat menjadi direktur boneka suatu perusahaan dan dibawa ke persidangan hanya karena terima fee hanya Rp 15 juta, padahal dia tidak punya peran sama sekali dalam dakwaan. Rasa-rasanya kalau menggunaan pasal 2 dengan peran tidak signifikan kan tidak adil juga jadi lari pasal 3 padahal direktur itu tidak punya kewenangan juga," kata Alex.
Pasal 2 menyatakan "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Sedangkan pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
"Kalau terkait dengan Ahok dalam RS Sumber Waras, penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum apa yang dilakukan ya terkait jabatan Beliau sebagai gubernur. Jadi misalnya penyalagunaan kewenangan pasal 3 spesial, pasal 2 itu general, otomatis kalau penyalahgunaan kewenangan itu berarti melawan hukum tapi perbuatan melawan hukum bukan berarti penyalahgunaan kewenangan," kata Alex.
Agus mengatakan KPK belum memutuskan menghentikan penyelidikan dugaan korupsi terkait jual beli tanah RS Sumber Waras.
"Kami belum memutuskan untuk berhenti karena masih ada informasi yang harus kami gali, paling tidak ada dua instansi yang akan kami undang, salah satunya BPK. Kalau perlu pimpinan akan menyaksikan diskusi penyelidik kami dengan teman-teman dari BPK," ujar Agus.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...