KPK Tidak Hiraukan Hak Imunitas Terkait Novanto
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menghiraukan soal hak imunitas yang dikemukakan oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah terkait pencekalan ke luar negeri terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).
"Saya kira hak imunitas bukan terkait peristiwa pengusutan tindak pidana korupsi. Hak imunitas tidak bisa diartikan bahwa orang tidak bisa diperiksa atau dikenakan hukuman, dan hak imunitas juga tidak bisa diartikan orang kebal dari hukum," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/4).
Lebih lanjut, Febri menyatakan KPK menghindari perlakuan khusus pada jabatan seseorang kecuali itu diatur secara tegas dalam Undang-Undang.
"Tetapi Undang-Undang KPK selalu bersifat lex specialis. Kami juga sedang fokus dengan pemberantasan korupsi, jadi perlakuan khusus karena orang menjabat lebih tinggi dari lainnya saya kira kurang tepat," ucap Febri.
Febri pun menyatakan KPK tetap melakukan pencegahan ke luar negeri untuk tiga orang saksi antara lain Setya Novanto dan dua orang dari pihak swasta masing-masing Inayah dan Raden Gede.
"Kami melakukan pencegahan terhadap tiga orang. Dua dari swasta terkait pengeledahan di Tebet dan juga saksi ketiga Setya Novanto. Kami cegah untuk enam bulan ke depan. Kami tetap melakukan pencegahan tersebut karena sudah ada keputusan dan surat sudah kirim ke pihak imigrasi," tuturnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mendesak Menteri Hukum dan HAM meninjau ulang status pencekalan Ketua DPR Setya Novanto, setelah Dirjen Imigrasi Kemenkum dan HAM mengeluarkannya atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Tidak ada langkah hukum, namun bisa ditolak. Pasal 94 UU Imigrasi itu boleh menolak," kata Fahri di Gedung Nusantara III, Jakarta, Kamis (13/4).
Berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, disebutkan bahwa usulan pencekalan bisa ditolak oleh Menteri apabila pencegahan tidak memenuhi ketentuan.
Oleh karena itu, Fahri menjelaskan bahwa DPR akan berkirim surat kepada Presiden RI Joko Widodo untuk meminta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mencabut status cekal tersebut.
"Pak Laoly sebagai menteri (Hukum dan HAM) harus tahu bahwa kewenangan itu ada di imigrasi, bukan di KPK," ujarnya. (Ant)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...