Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:10 WIB | Kamis, 22 Oktober 2015

Krisis Asap, Pemerintah Malah Tolak Janji Produsen Sawit Lindungi Hutan

Sejumlah pekerja memasukkan tandan buah segar kelapa sawit di kawasan perkebunan plasma PT Antang Ganda Utama di Kecamatan Teweh Selatan Kabupaten Barito Utara. (Foto: Antaranews/Kasriadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketika wilayah Indonesia tercekik kabut asap yang terjadi akibat deforestasi, pemerintah Indonesia malah bermaksud mengganti komitmen nol deforestasi, yang telah dibuat tahun lalu di New York oleh para pengusaha kelapa sawit, yang menandatangani Ikrar Minyak Sawit Indonesia atau Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP)

Selasa (12/10) malam, salah satu menteri koordinator menyatakan niat pemerintah untuk membentuk dewan kerjasama produsen-produsen minyak sawit bersama dengan Malaysia. Dua minggu lalu perusahaan penandatanganan IPOP dipanggil kementerian koordinator perekonomian untuk menjelaskan komitmen terkait rantai pasokan bebas deforestasi yang tidak diterima oleh Pemerintah.

Annisa Rahmawati, Juru Kampanye, Greenpeace SEA Indonesia mengatakan, “Bahkan dalam keadaan darurat kabut asap ini pun, pemerintah Indonesia mengusulkan untuk menurunkan standar bagi perusahaan kelapa sawit, bukannya memastikan perusahaan-perusahaan tersebut untuk melakukan perlindungan terhadap hutan dan lahan gambut.

Krisis asap adalah dampak langsung dari deforestasi dari sektor industri minyak sawit dan kertas.

"Jadi mengapa pemerintah Indonesia justru mendorong perusahaan-perusahaan tersebut, untuk memperburuk bencana kebakaran dengan menghancurkan lebih banyak hutan dan mengeringkan lebih banyak lahan gambut?," tanya dia.

Kata dia, sudah seharusnya pemerintah mengapresiasi perusahaan ‘nol deforestasi’, yang mencoba untuk menghentikan krisis, bukannya menambah percik api dengan memberi ‘izin untuk membakar’.

Asap adalah bencana kemanusiaan yang dibuat oleh manusia yang memicu krisis lingkungan, mengancam kesehatan jutaan manusia, bahkan menyebabkan kematian dini.

Terjadinya perusakan hutan dalam beberapa dekade ini, telah mengubah hutan dan lahan gambut di Indonesia menjadi sebuah bom iklim.

Apabila Presiden Jokowi benar-benar ingin melindungi rakyatnya dan serius dalam menghentikan kebakaran hutan, maka harus berdiri bersama dengan perusahaan progresif, untuk memastikan keseluruhan industri akan menghentikan kontribusinya dalam menciptakan bencana asap di tahun depan.

Ikrar Minyak Sawit Indonesia adalah sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk menjadi produsen minyak sawit yang bertanggung jawab terbesar, namun demikian pemerintah malah mengusulkan untuk mengikuti Malaysia dan menurunkan standar.

Petani kecil dan kondisi ekonomi di Indonesia dijadikan alasan oleh industri dan pemerintah, untuk menghindari tanggungjawab dalam mengakhiri deforestasi dan pengeringan gambut skala besar, yang keduanya merupakan akar dari krisis kebakaran saat ini.

Pemerintah mengatakan ini terkait dengan petani kecil. Perusahaan-perusahaan IPOP yang telah berikrar untuk tidak melakukan deforestasi, juga memiliki komitmen untuk bekerja sama dengan petani kecil untuk meningkatkan produktivitas mereka.

Jika ikrar ini diimplementasikan, maka hal ini akan memungkinkan petani kecil untuk mendapatkan keuntungan dari peningkatan permintaan produk sawit yang bertanggung jawab dari pasar global, “ kata Annisa Rahmawati.

Rashid Kang, kepala kampanye hutan Greenpeace Tiongkok mengatakan,  “Indonesia harus berhenti mencari alasan, dengan menyebut Tiongkok sebagai pasar yang siap untuk minyak sawit kotor, sebagai cara untuk membenarkan kemunduran Indonesia.

Jika Tiongkok, menerima permintaan Indonesia untuk standar yang lemah, hal itu akan mengirim pesan Tiongkok mendukung solusi dengan deforestasi yang lebih besar dan emisi karbon yang lebih banyak.

"Ini sangat tidak sejalan dengan kepemimpinan yang telah ditunjukkan Tiongkok kepada dunia sebagai pemain besar yang bertanggung jawab dalam perundingan iklim COP 21”. (greenpeace.org)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home