Kristen Konservatif AS Dukung Pencopotan Bendera Konfederasi
WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM – Suara yang menginginkan agar bendera Konfederasi diturunkan dari tempat-tempat publik di AS kian gencar. Ini tak terlepas dari semakin banyaknya muncul gambar-gambar Dylann Roof, pelaku penembakan hingga tewas sembilan orang di sebuah gereja kulit hitam di Charleston, AS, beredar luas dengan pose memegang bendera Konfederasi. Foto-foto tersebut telah memicu persepsi bahwa bendera Konfederasi sebagai simbol nilai-nilai rasial.
Yang menarik, sebagaimana diamati oleh CNN, seruan agar bendera Konfederasi dicopot dan tidak dikibarkan lagi dari gedung-gedung milik pemerintah dan tempat umum justru semakin banyak datang dari kalangan yang selama ini dianggap sebagai pihak yang mempertahankan keberadaan bendera itu. Mereka adalah kalangan Kristen konservatif kulit putih.
Menurut Barnabas Piper, seorang penulis berlatar belakang Baptis Selatan, yang diantara karyanya mengulas tentang persinggungan antara kekristenan dengan budaya, hal ini adalah sesuatu yang baru. "Ini bukan sesuatu yang bisa Anda lihat sehari-hari," kata dia. Fenomena ini muncul, menurut dia, hanya setelah terjadinya penyerangan di Charleston.
Piper, seorang Amerika kulit putih, mengatakan ia belum pernah melihat sebelumnya kalangan Kristen konservatif kulit putih dari selatan demikian seriusnya memperdebatkan peranan bendera Konfederasi sebagai simbol nilai-nilai rasis seperti yang ditunjukkan Roof.
Secara historis, bendera Konfederasi merupakan representasi dari Konfederasi Negara-negara AS, sekelompok negara bagian dari Selatan yang memisahkan diri dari perserikatan (uni) pada tahun 1861. Menurut Wikipedia, Perang Saudara Amerika Serikat (1861–1865) yang juga dikenal sebagai Perang Antar Negara Bagian merupakan perang saudara yang melibatkan sebelas negara bagian budak di Selatan yang mengumumkan pemisahan dari Amerika Serikat. Mereka membentuk Konfederasi Amerika yang dikenal sebagai "Konfederasi". Dipimpin oleh Jefferson Davis, pihak Konfederasi memperjuangkan kemerdekaannya dari Amerika Serikat.
Di pihak lain, adalah pemerintah federal AS yang didukung oleh dua puluh negara bagian yang telah menghapus perbudakan ditambah dengan lima negara bagian budak yang kelak dikenal sebagai negara bagian perbatasan. Keduapuluhlima negara bagian ini yang disebut sebagai Uni, memiliki basis populasi dan industri yang lebih besar ketimbang Selatan.
Setelah empat tahun perang berdarah (kebanyakan di negara bagian Selatan), Konfederasi menyerah dan perbudakan dihapus di seluruh negara.
Sejarah ini, menurut CNN, merupakan subyek perdebatan yang kontroversial pada tahun 2000, yang berakhir dengan dicopotnya bendera itu dari kubah gedung pemerintah di South Caroline, tetapi masih tetap dikibarkan hingga saat ini tempat tertentu.
Apa yang membuat masalahnya lebih rumit, adalah, disamping simbolisasi dari perlawanan selatan, bendera tersebut juga memiliki pangsa simpatisan Kristen, khususnya di Selatan. Simpati itu muncul sebagian karena desainnya yang memasukkan lambang salib. Beberapa kalangan Kristen di selatan percaya bahwa itu merupakan simbol salib Andreas, murid Yesus.
Menanggapi gencarnya perdebatan tentang bendera Konfederasi, Russell Moore, presiden Komisi Etika dan Kebebasan Beragama dari Southern Baptist Convention, salah satu pemimpin yang paling berpengaruh di kalangan Kristen Evangelis, menulis lewat blognya yang kemudian tersebar luas. Ia mengatakan bahwa kalangan Kristen dan kaum konservatif dari Selatan perlu melepaskan kesetiaan mereka kepada bendera Konfederasi.
"Salah satu masalah yang menyakiti banyak orang adalah bendera Konfederasi itu tetap berkibar satu tiang penuh di gedung Capitol South Carolina bahkan pasca aksi rasis terhadap orang-orang yang tidak bersalah," kata Moore, menyinggung tentang penembakan massal tersebut.
"Ini memunculkan pertanyaan kepada kita sebagai orang Kristen, untuk memikirkan ulang bendera Konfederasi, mengingat kebanyakan kita adalah dari Selatan," kata dia.
"Salib dan bendera Konfederasi tidak bisa hidup berdampingan tanpa salah satu pihak membuat pihak lain terbakar," katanya. "Kristen kulit putih, marilah kita dengarkan saudara kita Afro-Amerika. Marilah kita peduli bukan hanya tentang sejarah kita sendiri, tetapi juga tentang sejarah kita bersama dengan mereka," tulis dia.
Suara dengan nada serupa namun lebih tegas, datang dari Franklin Graham, putra pendeta legendaris Billy Graham. Dalam sebuah posting online, Franklin Graham menegaskan kepada 1,7 juta fans Facebooknya, bahwa sudah saatnya bendera Konfederasi tersebut disisihkan dari ruang publik.
"Dewasalah, saya yakin banyak orang Selatan yang mengibarkan bendera Konfederasi,” kata dia, “tapi saya percaya bahwa sudah waktunya bendera ini disisihkan sebagai bagian dari sejarah kita. Kita semua orang Amerika dan kita perlu bersatu saat ini lebih dari sebelumnya,” lanjut dia sebagaimana dilansir oleh wnd.com.
Ia menekankan bahwa secara pribadi sesungguhnya ia memiliki hubungan emosional dengan bendera Konfederasi tersebut. Ia mengatakan dirinya dibesarkan oleh kakek yang berjuang di selatan di bawah bendera Konfederasi selama perang saudara. Bahkan kakeknya terpaksa terluka dan kehilangan anggota badan dalam perang tersebut. Meskipun demikian, Graham menegaskan bahwa sudah saatnya mengesampingkan bendera yang telah menyebabkan rakyat AS terbelah.
Sejumlah politisi AS telah mengemukakan pendirian yang sama, yang menolak dikibarkannya bendera itu di ruang publik dan gedung pemerintah. Namun sebagian lain tidak mau masuk ke dalam perdebatan dan membiarkan jawabannya mengambang. Selain itu, masih juga terdapat sejumlah kalangan yang ingin agar bendera Konfederasi dipertahankan, dengan alasan mempertahankan sejarah.
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...