Loading...
INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 15:57 WIB | Jumat, 31 Januari 2014

Kronologi Penangkapan Anggoro Widjoyo

Buronan KPK Anggoro Widjojo (kedua kiri) dihadirkan ke ruang konperensi pers oleh pimpinan KPK di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/1) malam. KPK bekerjasama dengan imigrasi dan pihak kepolisian RRC berhasil menangkap tersangka Anggoro Widjojo di Zhenzhen, RRC pada Rabu (29/1). Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tidak ada perubahan berarti dari sosok pria berkemeja biru muda dibalut jaket hitam yang keluar dari mobil tahanan KPK pada Kamis malam (30/1).

Wajah orientalnya tetap tenang meski kilatan puluhan lampu kamera menyambar untuk mengabadikan rupa yang menghilang lebih dari empat tahun dari wilayah Indonesia.

Perubahan kasat mata dari Anggoro Widjojo saat tiba di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi adalah rambutnya yang masih berwarna hitam, bukan beruban seperti banyak terlihat dalam foto yang beredar selama ini.

Ia pun tampak mantap melangkah meski kedua tangannya diborgol dan dikelilingi oleh sejumlah penyidik KPK dan petugas kepolisian.

Setelah pengecekan identitas awal, dua orang pimpinan KPK yaitu Ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pun memperlihatkan Anggoro kepada media dalam konferensi pers, tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui media untuk meyakini bahwa pria tersebut adalah sang buron kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan.

Kronologi

"Dengan ditangkapnya AW (Anggoro Widjojo), tunai sudah utang KPK untuk mencari orang yang melakukan tindak pidana korupsi dan melarikan diri, ini adalah orang terakhir yang bisa ditangkap. Alhamdulliah sebelum `Gong Xi Fat Cai` berhasil ditangkap," kata Bambang pada konferensi pers Kamis malam (30/1).

Penangkapan Anggoro yang telah melarikan diri sejak Juli 2009 tersebut dilakukan berdasarkan kerja sama KPK dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong, Ministry of Public Security of the People`s Republic of China (MPS), Kejaksaan China, Kementerian Luar Negeri Indonesia serta Interpol.

"Tersangka AW, sudah dilakukan pencarian atau dimasukkan ke daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Juli 2009, dalam pencarian itu pihak KPK terus melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait termasuk pemerintah China hingga didapat satu kepastian tentang keberadaan dan identitas tersangka," kata Abraham.

Informasi terakhir yang diterima KPK adalah pada Senin, 27 Januari 2014, Anggoro melakukan perjalanan dari Shenzhen ke Hong Kong dan ketika kembali ke Shenzhen, ia ditangkap di salah satu pintu perbatasan darat (check point) Shenzhen Wan, dari Shenzhen Anggoro dibawa ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Guangzhou.

Menurut Konsul Imigrasi Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Guangzhou Jamaruli Manihuruk, Ditjen Imigrasi menerima permintaan surat untuk disampaikan ke MPS China pada 19 Desember 2013, surat itu kemudian diteruskan ke Public Security Bureau (PBS) selaku kepolisan di tingkat daerah.

"Artinya setelah menerima surat itu nama Anggoro tertera di setiap pintu keluar masuk China. Jadi Anggoro dengan mudah tertangkap tanpa perlawanan karena saat itu Anggoro juga hanya berjalan sendiri," kata Jamaruli.

Bambang menambahkan bahwa KPK selain bekerja sama dengan pihak imigrasi juga bekerja sama dengan interpol dalam mencari Anggoro.

"Namun yang lebih cepat menangkap itu dari pihak imigrasi, jadi memang kami menebar jaring di semuanya," jelas Bambang.
Pengintaian

Sekretaris Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ida Bagus K Adnyana dalam konferensi pers juga menyatakan bahwa penangkapan Anggodo berhasil dilakukan melalui pengintaian terus-menerus.

"Tahapan pengintaian tidak berhenti, informasi datang tidak berhenti, termasuk menyebarkan foto wajah yang bersangkutan, penangkapan baru dilakukan saat kembali dari Hongkong ke Shenzhen adalah proses yang tidak bisa kami sebutkan, tapi kesempatan emas itu datang sehingga jangan sampai ada tindakan ceroboh kepolisian setempat yang tidak perlu, kami percaya kepada pihak kepolisian Shenzhen yang setelahnya menghubungi pihak konsulat di Guangzhou," kata Ida Bagus.

Menurut Bambang, lamanya waktu yang diperlukan untuk menangkap Anggoro lebih karena diperlukan ketelitian dan membangun kepercayaan dengan pihak berwenang China.

"Kita tahu untuk DPO perlu proses panjang, ketelitian dan membangun jaringan kerja, dalam pengalaman KPK untuk masuk ke China dan membangun `trust`(kepercayaan,red) di China bukan hal yang mudah. Mengapa China bersedia membantu Indonesia? Saya menduga karena China pada tahun ini adalah ketua dalam kelompok kerja antikorupsi di APEC, setelah tahun lalu Indonesia menjadi ketuanya, China ingin menunjukkan tekad pemberantasan korupsi, apalagi Indonesia juga telah banyak membantu China untuk menyelesaikan masalah-masalah keimigrasiannya," jelas Bambang.

Tapi KPK belum dapat memastikan identitas siapa yang digunakan Anggoro dalam pelariannya.

"Kami menduga menggunakan identitas palsu, tapi sampai saat ini, kami belum dapat menjawab terkait keaslian paspor AW karena yang mengetahui sepenuhnya adalah otoritas China," tambah Bambang.

Artinya secara garis besar, penangkapan Anggoro dilakukan oleh kepolisian China dalam hal ini adalah Public Security Bureau Shenzhen pada Rabu (29/1) yang selanjutnya diserahkan ke Konsulat Jenderal Indonesia di Guangzhou. Setelah itu, diantarkan oleh petugas imigrasi Anggoro diterbangkan menggunakan pesawat Garuda Indonesia dari Bandara Baiyun Guangzhou dan tiba di Bandara Soekarno Hatta pada sekitar pukul 21.20 WIB hingga sampai di gedung KPK pada sekitar pukul 22.40 WIB.
Korupsi SKRT

KPK telah menetapkan Anggoro sebagai tersangka sejak 19 Juni 2009. KPK melakukan pemanggilan pertama pada 26 Juni 2009 dan panggilan kedua pada 29 Juni 2009. Namun setelah dua kali dipanggil dan tidak memenuhi panggilan, Anggoro dimasukkan ke daftar pencarian orang sejak 17 Juli 2009. Anggoro diketahui pada 26 Juli 2009 juga pernah berada di Singapura.

KPK menyangkakan kepada Anggoro pasal-pasal pemberian suap kepada pejabat negara berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 39 tahun 1999 sebagaimana diubah berdasarkan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 250 juta.

"Kronologisnya, PT Masaro melalui AW diduga melakukan pendekatan dan memberikan `fee` ke beberapa pejabat di Dephut untuk meloloskan pengajuan anggaran kegiatan revitalisasi SKRT. Pada tahun yang sama, Dephut juga mengajukan usulan rancangan pagu anggaran 69 program gerakan rehabiitasi hutan dan lahan yg di dalamnya terdapat revitalisasi SKRT yang nilainya sekitar Rp180 miliar dan diajukan kepada Komisi IV. Diduga atas persetujuan anggaran SKRT itu tersangka AW juga telah memberikan sejumlah uang kepada anggota komisi IV," ungkap Bambang.

Anggoro menyuap mantan Ketua Komisi IV bidang Kehutanan DPR, Yusuf Erwin Faishal sebesar Rp 75 juta dan 60 ribu dolar Singapura dengan tujuan agar Yusuf mau mengeluarkan rekomendasi bagi pengadaan SKRT, sistem komunikasi pemantau hutan di Departemen Kehutanan dengan PT Masaro sebagai wakil Motorola ditunjuk langsung tanpa tender. Selain itu Harga Patokan Sendiri (HPS) dibuat langsung oleh PT Masaro yang mengacu pada HPS tahun 2006-2007.

Komisi IV DPR akhirnya mengabulkan permintaan Anggoro dengan mengeluarkan rekomendasi pada 12 Februari 2007. Rekomendasi ini ditujukan agar Departemen Kehutanan menuntaskan SKRT dengan nilai proyek Rp180 miliar yang dialokasikan dari anggaran Departemen Kehutanan, padahal dana itu seharusnya digunakan sebagai dana Reboisasi dan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Saat KPK mengecek ke Motorola Singapura, ternyata piranti yang akan dipakai dalam proyek itu tidak lagi diproduksi. Motorola juga menyatakan tidak pernah mengirim barang ke Indonesia pada 2008. 

Sehingga selain menjerat Yusuf Erwin Faisal, sejumlah anggota DPR Komisi IV lain juga dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yaitu Azwar Chesputra, Hilman Indra dari Partai Bulan Bintang, dan AM Fahri dari Partai Golkar.

"Yusuf telah dihukum karena bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan penjara empat tahun enam bulan ditambah denda Rp 250 juta, kemudian Azwar Chesputra, Hilman Indra, AM Fahri telah dihukum penjara empat tahun dan denda Rp200 juta. Kemudian pejabat di Dephut yaitu Wandoyo Siswan dihukum penjara tiga tahun dan denda Rp 100 juta, dan direktur PT Masaro Radiocom Putranevo A Prayuga divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta," ungkap Bambang.

Kasus SKRT ini sendiri merupakan pengembangan dari kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api di Sumatera Selatan yang telah menjebloskan mantan anggota DPR Yusuf Erwin Faishal dan Al Amin Nasution.

Penangkapan Anggoro ini seharusnya menjadi jalan masuk KPK untuk mengungkapkan misteri lain dari kasus tersebut misalnya keterlibatan mantan menteri kehutanan MS Kaban yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Bulan Bintang, karena dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Boen Mochtar Purnama mengaku menerima uang 20.000 dolar AS dari Anggoro atas persetujuan Kaban.

"Kami tidak mau berspekulasi apakah dia mungkin dijerat dengan pasal lain. Takutnya nanti sudah disebutkan akan dijerat pasal lain tapi kenyataannya nanti tidak," ungkap Bambang.

Dari kasus Anggoro ini juga kemudian muncul kasus menghalang-halangi penyidikan dan percobaan suap kepada pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan M Jasin dan mantan direktur penyidikan KPK Bambang Widaryatmo dengan jumlah total Rp 5,1 miliar yang akhirnya menjebloskan adik Anggoro yaitu Anggodo Widjojo ke penjara selama 10 tahun penjara. 

Ketua KPK jilid II Antasari Azhar juga disebut pernah bertemu dengan Anggoro di Singapura untuk mencari kemungkinan penerima suap lain, namun Antasari tidak menangkap Anggoro dalam pelariannya.
Lunasi utang

Dengan ditangkapnya Anggoro, KPK benar-benar telah melunasi utang tersangka yang melarikan diri ke luar negeri.

Sebelumnya KPK telah lebih dulu berhasil menangkap seumlah tersangka korupsi lainnya yang melarikan diri.

Pertama adalah kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran Hengky Samuel Daud. Hengky melarikan diri beberapa saat setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi. 

Saat itu KPK sebelum menetapkan Hengky sebagai tersangka. Petugas KPK sempat mengikuti Hengky hingga ke Amerika Serikat. Pelarian Hengky selama tiga tahun itu sia-sia, karena justru ditangkap di rumah kerabatnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Henky akhirnya divonis 18 tahun penjara dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 82 miliar karena terbukti memaksa sejumlah pemerintah daerah untuk membeli mobil pemadam kebakaran melalui PT Istana Sarana Raya dan PT Satal Nusantara miliknya. Namun Henky telah meninggal dunia pada 2010 lalu saat menjalani masa hukuman.

Kasus selanjutnya adalah pelarian Neneng Sri Wahyuni dalam kasus pengadaan dan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) yang melarikan diri ke Malaysia, namun akhirnya kembali ke Indonesia dan ditangkap petugas KPK di rumahnya di kawasan Pejaten Jakarta Selatan. Neneng akhirnya divonis 6 tahun dan denda Rp200 juta ditambah uang pengganti Rp 2,6 miliar oleh pengadilan tinggi Jakarta.

Selanjutnya penangkapan istri Mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Adang Daradjatun, Nunun Nurbaeti dalam kasus pemberian cek pelawat terkait pemilihann deputi gubernur senior Bank Indonesia. Nunun ditangkap di sebuah rumah di kawasan Saphan Sun, Bangkok oleh pihak kepolisian Thailand dan diserahkan kepada KPK di dalam pesawat menuju ke Jakarta. 

Terakhir adalah mantan bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin yang melarikan diri menggunakan pesawat jet pribadi ke Dubai, Dominika, Venezuela, Bahama hingga Kolombia. Nazar akhirnya ditangkap oleh polisi Cartagena, Kolumbia dan dijemput oleh tim penyidik KPK ke Jakarta. Nazar saat ini menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Jawa Barat sebagai terpidana kasus Wisma Atlet Palembang. (Ant)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home