Kupatan Kendeng 2016: Menjaga Alam Merawat Tradisi
REMBANG, SATUHARAPAN.COM - Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng melakukan Grebeg Kupat didahului dengan performing art pada Minggu (10/7), setelah sehari sebelumnya melaksanakan prosesi Temon Banyu Beras.
Panggung seni diramaikan oleh kelompok kesenian dari masyarakat setempat, mulai dari geguritan, kesenian gejog lesung, hadrah santri Tegaldowo, barongan, liong, maupun kelompok seni dari luar kota. Tampil pula Nyonyor Numpang Tenar (Yogyakarta), Bara (Solo), Kepal Yogyakarta, penyair muda Yashir Dayak (Sampit-Kalimantan Tengah), Sisir Tanah (Yogyakarta). Performing art tersebut merupakan rangkaian acara Kupatan Kendeng 2016 yang diselenggarakan selama dua hari (9-10 Juli) di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
Dengan mengusung tema "Menjaga Alam Merawat Tradisi", Kupatan Kendeng 2016 merupakan aksi budaya untuk menegaskan tekad warga Kendeng Utara dalam menjaga keharmonisan alam sekaligus memperkuat solidaritas dan semangat untuk terus berjuang menolak keberadaan industri semen yang merusak lingkungan dan kehidupan.
Tidak hanya meminta maaf kepada sesamanya, warga yang pada umumnya petani itu juga mengajak semua orang untuk meminta maaf kepada alam dan penciptanya karena telah abai dan membiarkan kawasan Kendeng Utara dirusak industri semen. Kerusakan lingkungan akibat pabrik-tambang semen telah dirasakan masyarakat Desa Koro Tuban. Begitupun pada pabrik-tambang semen di beberapa tempat lainnya. Pada sisi lain, adanya rencana pabrik-tambang semen tersebut akan mengancam matapencaharian masyarakat setempat sebagai petani.
Ancaman Banjir, Kekeringan, Kerusakan Lingkungan, dan Konflik Horizontal
"Selama ini saya sudah tiga kali mengalami banjir sejak ada penambangan galian C di sebelah timur desa. Adanya penambangan sudah dirasakan dampaknya. (Penambangan galian C) itu yang kecil. Bagaimana dengan penambangan semen yang lebih luas?" kata koordinator JMPPK Rembang Joko Prianto kepada satuharapan.com, Minggu (10/7).
"Lahan pertanian jelas berkurang. Belum lagi sumber mata air. (Bertani) itu budaya dan matapencaharian kami. Dengan berkurangnya lahan pertanian dan kerusakan maupun berkurangnya sumber mata air, secara langsung ini menjajah budaya kami. Konflik sosial (horizontal) muncul saat pihak semen masuk, saat ini bahkan antartetangga, yang pro dan tolak penambangan-pabrik semen, sudah mulai tidak rukun, yang itu tidak pernah terjadi sebelumnya," Joko menambahkan.
"Ini adalah upaya kami untuk memperjuangkan hidup kami sekaligus menjaga kelestarian alam-lingkungan yang telah menghidupi kami. Biarlah yang gunung tetap jadi gunung, yang sawah tetap jadi sawah, yang jadi petani tetap bertani. Ini sekaligus upaya kami menjaga dan melestarikan alam Gunung Kendeng," kata Joko.
Selain performing art, panggung kesenian diisi dengan ngaji bersama yang mengupas makna kupatan dalam hubungan antara manusia dan penciptanya, manusia dan sesamanya, serta manusia dan alam. KH Ubaidillah Ahmad, yang biasa dipanggil Gus Ubaid, tokoh muda pengasuh Pondok Asy-Syuffah Sidorejo, Kecamatan Pamotan - Rembang, yang mendampingi masyarakat yang menolak pabrik-tambang semen di Tegaldowo dan sekitarnya, memberikan persepektif pentingnya menjaga hubungan yang harmonis tersebut. Menjaga kelestarian alam dalam keharmonisan hubungan manusia adalah penghargaan atas kehidupan itu sendiri, sekaligus menjaga keberlangsungan kehidupan manusia.
"(Niat) membuka lapangan pekerjaan boleh-boleh saja, tapi jangan justru bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan itu sendiri. Dengan mengkapitalisasi dan menguasai sumber daya alam (SDA) oleh pihak tertentu, itu sama artinya membatasi masyarakat dengan SDA yang sudah saling menghidupi. Pertanian telah menghidupi masyarakat di Tegaldowo, Timbrangan, Bitingan, Tengger, dan sekitarnya sejak lama. Adanya pertanian sekaligus telah menjaga dan melestarikan lingkungan. Meminggirkan masyarakat petani dari lahan pertaniannya? Itu sama artinya membunuh petani secara pelan-pelan," kata Gus Ubaid.
"Tidak boleh ada kapitalisasi untuk menguasai SDA oleh satu pihak tertentu. SDA adalah milik umat manusia yang telah diwariskan pendahulu kita untuk generasi saat ini dan generasi nanti. Ini yang harus dipertahankan jangan sampai rusak apalagi hilang. Justru kita harus berterima kasih pada mereka yang telah memperjuangkan kelestarian alam-lingkungan dan tidak membuat kerusakan di muka bumi. Kita menolak kekerasan dalam menyuarakan kebenaran dan kemanusiaan," ia menegaskan.
Meskipun sempat diguyur hujan cukup deras, tidak mengurangi semangat mereka untuk mengikuti acara. Setelah mengaji dan berdoa bersama, gunungan ketupat diarak keliling kampung dan dibawa kembali ke lapangan Tegaldowo. Selanjutnya ketupat dimakan bersama-sama dalam "piring" daun jati dengan sayur lodeh nangka muda dan tahu.
Sederhana, sesederhana mereka memperjuangkan kehidupan yang tidak sederhana lagi ketika harus berhadapan dengan berbagai kepentingan atas potensi SDA yang ada.
Petani dan lahan pertanian berikut sumberdaya airnya adalah satu kesatuan ekosistem. Memisahkan petani dari lahan pertaniannya dan juga sumberdaya airnya sama saja dengan memisahkan mereka dari rumahnya: tempat tinggal sekaligus tempat beraktivitas merajut hubungan dengan alam dan lingkungan sosialnya.
Editor : Sotyati
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...