Kwik: Semua Sepakat Tidak Ada Krisis Kecuali BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie mengaku bahwa pada 2008 semua pemangku kepentingan setuju bahwa tidak ada krisis ekonomi di Indonesia, kecuali pihak Bank Indonesia.
“Dalam rapat (konsultasi Komite Stabilitas Sektor Keuangan) yang berlangsung selama lima jam itu, sama sekali tidak ada yang mengatakan Indonesia mengalami krisis dan saya sepakat akan hal itu, yang tidak sepakat hanya satu yaitu bank sentral sendiri,” kata Kwik Kian Gie dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (12/5).
Kwik menjadi saksi ahli untuk terdakwa mantan deputi Gubenur Bank Indonesia bidang 4 Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan (KPW) Budi Mulya dalam sidang perkara pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Rapat konsultasi tersebut berlangsung pada 20 November 2010 yang dihadiri oleh pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia hingga sejumlah praktisi perbankan seperti direktur utama Bank Mandiri saat itu Agus Martowardojo.
“Saya tidak tahu sama sekali krisis di Indonesia, walau memang ada krisis luar biasa di Amerika Serikat. Pengetahuan saya ini berdasarkan interaksi saya dengan banyak pengusaha karena tidak ada pengusaha yang merasa gugup saat itu, termasuk pemilik bank besar juga tidak ada krisis, jadi tidak perlu ada tindakan darurat apa pun,” tambah Kwik.
Namun Kwik membenarkan adanya tiga peraturan pemerintah pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan maupun Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang dikeluarkan pemerintah pada 2008.
“Belum terjadi krisis, tapi karena ada perppu sebagai landasan hukumnya maka dianggap tindakan (menanggapi krisis) tidak melanggar aspek yuridis,” jelas Kwik.
Ia juga menolak faktor psikologis sebagai faktor pemicu krisis seperti yang disampaikan oleh mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati maupun mantan Gubernur BI Boediono sebagai unsur yang dapat menyebabkan krisis sehingga suntikan dana untuk Bank Century harus dilakukan.
“Yang terjadi karena BI menggunakan faktor psikologis yang tidak ada ukurannya. Saya heran kenapa BI tidak berkonsultasi ke ahli psikologi, dan bukan ahli psikologi biasa tapi ahli psikologi massa, seperti apakah dapat menyeret perekonomian Indonesia,” tambah Kwik.
Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu mencontohkan krisis 1997-1998 disebut mematikan karena ada penutupan 16 bank, namun pada 2008 tanda-tanda krisis sama sekali tidak ada.
“Bahkan Bank Century rusak masyarakat pun tidak tahu, tahunya dari media,” ungkap Kwik.
Lebih lanjut, meski Bank Century menjadi bank yang gagal menyelesaikan kewajibannya (kalah kliring), namun tidak bisa dikatakan bahwa Bank Century menjadi bank gagal berdampak sistemik.
“Kalau bisa dibuktikan bank punya utang yang sangat besar ke bank lain dan bank dalam jumlah banyak, jadi kalau tidak bisa membayar utang yang banyak ke banyak bank, baru bisa berdampak sistemik sedangkan kalau bank kecil tidak mungkin apalagi BI mengatakan aspeknya terhadap industri perbankan hanya 0,6 persen dari seluruh industri,” jelas Kwik.
Bukan Hal Penting
Saksi ahli lain yaitu ekonom Hendri Saparini mengatakan bahwa menggunakan faktor psikologis untuk bank kecil bukanlah hal yang penting.
“Kalau bank kecil, bukan yang faktor psikologis yang penting karena hubungan dengan sektor industri perbankan kecil, jadi konektivitasnya sangat kecil,” kata Hendri.
Lebih lanjut, ia melihat bahwa krisis ekonomi juga belum melanda Indonesia pada 2008.
“Bahwa (krisis) akan berdampak bagi Indonesia, iya karena krisis di Eropa pasti akan berdampak di seluruh dunia, hanya dampaknya berbeda-beda setiap negara. Kalau kita mempunyai konektivitas maka akan berdampak tapi kalau tidak maka dampaknya tidak akan begitu terasa tapi dilihat dari sisi kepanikan, pasar uang antar-bank tidak mengalami gejolak yang cukup tinggi, yaitu hanya 10-12 persen,” jelas Hendri.
Gejolak pada 2008, menurut Hendri, memang terlihat dari suku bunga, inflasi atau nilai tukar, tapi tidak berarti respons kebijakan kita itu harus berdasarkan gejolak tadi.
Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...