Lagu Cinta untuk Petani
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebagai tanda cinta dan ucapan terima kasih kepada para petani yang telah menyediakan bahan pangan dan merawat lingkungan, enam musisi dan grup musik menggelar pertunjukan bertajuk “Lagu Cinta untuk Petani”, Jumat (15/3) malam di Rumah IVAA, Jalan Ireda, Gang Hiperkes 188 A-B Dipowinatan Keparakan, Mergangsan, Kota Yogyakarta
Keenam musisi/grup musik adalah Agoni, Fajar Merah, Gabriela Fernandez, Kepal SPI, Sisir Tanah, dan Umar Haen. Pentas tersebut merupakan pemanasan sekaligus menggalang donasi menuju hari lahir Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) 2019 yang akan melibatkan lebih banyak musisi. Donasi yang terkumpul dalam pertunjukan kali tersebut akan digunakan untuk mendukung perayaan harlah PPLP-KP yang ke-13 yang jatuh pada 31 Maret.
Sejak awal tahun 2006, warga pesisir pantai di empat kawasan kecamatan - Temon, Wates, Panjatan, dan Galur - Kulon Progo, menganggap rencana penambangan dan pengolahan pasir besi hanya sebatas kabar angin belaka. Bagi petani penggarap lahan pantai, rencana tersebut tentu tak pernah terbayang di benak warga yang tersebar di pesisir sepanjang 22 km itu bahwa kawasan mereka akan dijadikan ajang penambangan pasir besi oleh pemerintah dan swasta. Mengingat selama ini pesisir pantai menjadi lahan pertanian yang produktif, dengan ditemukannya sistem pengairan sumuran yang mampu mengairi lahan pasir sehingga bisa ditanami jenis sayuran-hortikultura dan menjadi salah satu pemasok sayur-sayuran untuk wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Kegiatan bertani di pesisir pantai bagi para warga PPLP-KP merupakan penyangga hidup mereka yang berjumlah puluhan ribu jiwa. Bagi pengelola lahan garapan, dengan lahan seluas 1.200 meter persegi, jika ditanami cabai bisa dipanen sebanyak 30 kali dalam waktu enam bulan. Sementara bagi yang tidak mempunyai lahan garap bisa menjadi buruh petik cabai dengan bayaran tidak kurang Rp50.000 per hari.
Dalam sepuluh tahun terakhir muncul kekhawatiran dari masyarakat Kulonprogo atas rencana penambangan pasir besi di sekitar wilayah pantai Glagah, Kecamatan Temon. Kekhawatiran semakin bertambah saat rencana tersebut diperluas dengan rencana terpadu pembangunan pelabuhan Tanjung Adikarta, serta Bandara Internasional Kulonprogo (Kulonprogo International Airport/KLIA) beserta sarana-prasarananya, yang saat ini sedang dalam masa konstruksi. Berbagai program pembangunan tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan dengan warga sekitar.
Setelah puluhan ribu kepala keluarga yang memanfaatkan lahan pasir di pesisir pantai selatan Kabupaten Kulonprogo untuk bercocok tanam sayuran yang sebagian besar mampu memasok sayuran untuk Yogyakarta dan wilayah sekitar Yogyakarta direlokasi dari area rencana penambangan pasir besi, dampak berikutnya adalah problematika sosial menuju sebuah masyarakat perkotaan.
Di satu sisi, bisa jadi pembangunan fisik tersebut akan berdampak pada perputaran ekonomi wilayah, namun pada sisi lain masyarakat agraris Kulonprogo yang terikat pada tempat (lahan pertanian) "dipaksa" untuk berlari mengejar perubahan yang sedang terjadi.
“Menanam adalah melawan kemiskinan dan menjaga harapan-masa depan. Dengan menanam dan merawatnya, harapannya adalah bisa memanen jerih payah. Silakan untuk bersama-sama menyelamatkan lingkungan hidup. Kita harus meninggalkan warisan untuk generasi nanti berupa lingkungan yang baik yang bisa menghidupi dan menghasilkan (secara berkelanjutan),” kata koordinator PPLP-KP Widodo saat pertunjukan “Lagu Cinta untuk Petani”, Jumat (15/3) malam di Rumah IVAA.
Editor : Sotyati
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...