Laksamana Sukardi di KPK Jelaskan SKL Sjamsul Nursalim
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) era Presiden Megawati Soekarnoputri, Laksamana Sukardi dimintai keterangan terkait penyelidikan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Kantor KPK, Rabu (10/12).
Laksamana yang menjabat sebagai Menteri BUMN pada 1999-2004 adalah salah satu orang yang memberikan masukan kepada mantan Presiden Megawati agar mengeluarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 untuk menerbitkan SKL kepada sejumlah bank swasta yang terkena krisis moneter pada 1998-1999.
Laksamana Sukardi yang datang ke KPK sekitar pukul 10.15 WIB tidak berkomentar apa pun mengenai permintaan keterangannya yang kedua kali dalam kasus tersebut.
KPK dalam kasus ini juga sudah mencegah bepergian ke luar negeri terhadap Lusiana Yanti Hanafiah dari pihak swasta. KPK menduga partikelir ini melakukan pemberian sesuatu kepada pegawai negeri dan atau penyelengara negara untuk perizinan pemanfaatan lahan tanah sejak 4 Desember 2014. Lusiana diduga mengelola tanah yang diberikan kepada penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SKL.
Dalam penyelidikan BLBI, KPK sebelumnya juga sudah memeriksa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 sekaligus mantan Kepala Bappenas 2001-2004, Kwik Kian Gie.
Libatkan Sjamsul Nursalim
Pendalaman kasus pemberian SKL ini juga melibatkan pengusaha Sjamsul Nursalim, berdasarkan keterangan Laksamana Sukardi. “Saya diminta keterangan masalah pemberian SKL BLBI, jadi saya juga diminta melengkapi informasi-informasi yang masih dalam pendalaman, jadi masalah SKL-nya obligor Sjamsul Nursalim,” kata Laksamana kepada awak media seusai dimintai keterangan oleh KPK sekitar delapan jam di Kantor KPK.
Sjamsul Nursalim adalah mantan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal mendapatkan jatah Rp 52,72 triliun namun hingga saat ini Sjamsul belum memenuhi kewajiban pembayarannya dan sudah lari keluar negeri.
“Kebijakannya kan kita jelaskan bahwa memang ini adalah dari Tap MPR lalu ada UU No. 25 mengenai Propenas (Program Pembangunan Nasional) tahun 2000 dan Tap MPR No. 10 Tahun 2001, ada Inpres No 8/2002 dan semuanya adalah out of core statement (di luar perjanjian inti),” urai Laksamana.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp 19,38 triliun dari Rp 52,72 triliun yang harus dibayar.
“Memang obligor harus memenuhi kewajiban pemegang saham dengan membayar itu, makanya mereka harus menandatangani perjanjian untuk kepastian hukum. Ada juga obligor yang lari yang tidak mau menandatangani apa-apa. Itu juga sampai sekarang saya kira mereka masih bebas,” kata Laksamana.
Laksamana berujar bahwa ada beberapa obligor yang lari ke luar negeri meski sudah mendapatkan dana BLBI.
“Jadi semangat dari pada UU dan Tap MPR pada saat itu untuk memberikan insentif kepada obligor yang kooperatif dan memenuhi kewajiban pemegang saham, tapi bagi yang tidak kooperatif ada beberapa yang mungkin, ada 8-9 orang ternyata lari. Tapi sekarang sudah kembali semua, kita mendalami banyak hal, terutama proses pemberian SKL tersebut,” kata Laksamana.
Namun ia membantah bahwa pemberian SKL itu dilakukan dengan melanggar hukum.
“Yang lari tidak dapat SKL, surat keterangan lunas itu adalah bagi mereka yang kooperatif, yang menyepakati dan melunasi kewajiban pemegang saham diberikan SKL, karena itu sesuai UU No 25 mengenai Propenas. Artinya, pemerintah saat itu hanya melaksanakan Ketetapan MPR,” Laksamana menegaskan.
Dalam UU Propenas, lanjut Laksamana, dijelaskan harus diberikan insentif bagi mereka yang kooperatif, bagi yang tidak kooperatif harus diserahkan pada proses hukum. Namun dia menampik pemberian BLBI itu mengakibatkan kerugian negara.
“(Kerugian) itu sudah lagu lamalah,” jawab Laksamana singkat.
Mengapa Diterbitkan SKL?
Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati, juga mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara Jakti, dan Laksamana Sukardi.
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara karena tidak dikembalikan kepada negara, tapi baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Para obligor yang tidak mengembalikan dana mendapatkan mendapatkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung karena mendapatkan SKL berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan PKPS.
Sejumlah bank yang mendapatkan SKL antara lain Bank Baja Internasional dengan tersangka Jean Rudy Ronald Pea, Bank Sewu Internasional (Lany Angkosubroto), Bank Papan Sejahtera (Njo Kok Kiong), Bank Istimarat dan Bank Pelita dengan tersangka Agus Anwar, Bank Hokindo (Hokiarto), Bank Dana Hutama (Hadi Purnama Chandra), dan Bank Umum Nasional (Bob Hasan).
Sementara Kejaksaan Agung baru memproses 16 orang ke pengadilan. Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, dan dari 13 orang yang yang telah divonis, hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...