Landung Simatupang: Goenawan Mohamad Beri Roh Lakon Wayang
Dalam sajaknya berjudul Gandari¸ Landung Simatupang menilai GM telah memberi roh dan menghidupkan cerita lakon wayang yang biasanya dipisahkan dari realitas sehari-hari.
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pertunjukan opera tari berdasarkan puisi Gandari gubahan Goenawan Mohamad (GM) sukses digelar di Taman Ismail Marzuki pada Jumat (12/12) malam.
Ribuan pengunjung tampak memadati gedung tiga lantai tersebut setengah jam sebelum pertunjukan dimulai.
Pertunjukan multidisiplin hasil perkawinan antara sastra, seni tari, seni musik, dan seni suara yang disutradarai oleh Yudi A Tajudin dari Teater Garasi Yogyakarta menghasilkan sebuah tontonan yang apik.
Pertunjukan ini berdurasi sekitar 60 menit dan dibawakan oleh seniman lintas negara.
Roh Lakon Wayang dalam Cerita
Landung Simatupang, sastrawan yang menjadi narator sajak GM, ketika ditemui satuharapan.com seusai pertunjukan mengatakan pertunjukan ini tak sekadar sebuah cerita masa lalu. Dalam sajaknya berjudul Gandari¸Landung Simatupang menilai GM telah memberi roh dan menghidupkan cerita lakon wayang yang biasanya dipisahkan dari realitas sehari-hari.
“Di pertunjukan ini, ada unsur kritik sosial yang tajam,” kata Landung.
Menurut Landung, kisah Gandari relevan dengan realitas masa kini.
“Dalam cerita itu, digambarkan seorang ibu kehilangan anak-anaknya. Setiap hari melihat anaknya mati karena perang. Lalu digambarkan di situ, orang sebenarnya lebih enak tidak melihat apa-apa karena yang dilihat hanya kekacauan, lebih enak tak mendengar apa pun karena yang didengar setiap hari hanya kebohongan. Itu ada di sekitar kita sekarang dan itu dengan cerdik ditemukan GM pada tokoh Gandari,” ujar Landung.
Landung secara pribadi mengaku sangat menyukai sajak gubahan GM ini.
Menurutnya, ini merupakan cerita dongeng yang sudah beratus tahun dikisahkan dalam cerita Mahabarata di India, lalu masuk ke Indonesia, dihadirkan oleh GM melalui sajaknya.
“Itu diangkat dan diberi konteks baru karena sebenarnya semua mitos dan semua dongeng itu tidak hanya bercerita tentang masa lalu, tetapi juga tentang pola yang berulang dalam kehidupan manusia,” Landung menjelaskan.
Landung menilai, GM melihat celah itu dan membuat jembatan antara dongeng dan realitas.
Pertunjukan Seni Mutakhir
Pertunjukan multidisiplin ini dipandang oleh Landung sebagai gambaran seni pertunjukan yang mutakhir.
Dalam pertunjukan ini, musik, tari, dan pembacaan sajak dipertunjukkan secara terpisah namun dalam waktu yang bersamaan. Ini tentu merupakan produk pertunjukan kontemporer dengan konsep yang unik.
“Di sini, musik tidak mengiringi tari. Itu yang agak berbeda dengan yang biasanya terjadi. Musik berjalan sendiri, tari berjalan sendiri, lalu ditampilkan secara bersamaan. Dan tari pun tidak menceritakan dan memberikan gambaran dari apa yang dimaknakan dalam narasi,” Landung menjelaskan.
Landung sendiri yang ikut terjun dalam pertunjukan berusaha untuk tidak mendefinisikan aliran pertunjukan ini. Landung juga sengaja tak mengkotakkan pertunjukan ini dalam definisi tertentu. Menurutnya, pertunjukan ini merupakan upaya untuk menawar sesuatu yang sudah konvensional dalam pertunjukan klasik.
“Ini susah sekali. Yang jelas kalau dari sisi musiknya, ini namanya musik baru. Prinsipnya lebih bebas menggunakan sumber bunyi, bukan sumber nada. Mungkin lebih aman jika pertunjukan ini disebut pertunjukan kontemporer dan pertunjukan seni yang mutakhir,” kata Landung.
Penangkapan Makna yang Berbeda
Dari pertunjukan yang diangkat dari puisi GM, setiap penonton dipastikan memiliki interpretasi yang berbeda-beda.
Interpretasi yang berbeda menyebabkan penangkapan makna yang berbeda pula oleh masing-masing penonton.
“Kalau saya melihat pertunjukan atau kesenian apapun, selalu ada kerinduan untuk menangkap maknanya. Namun kesenian maknanya tak seharafiah itu. Artinya makna yang ditangkap setiap orang tak sama,” kata Landung.
Landung menganalogikan sajak GM dalam pertunjukan ini seperti sebuah bulan.
Ketika melihat bulan, kata Landung, masing-masing orang tak bisa sama menangkap arti bulan karena bulan sebenarnya tak bermakna apapun.
“Apa artinya bulan? Tidak ada. Namun suasananya sampai di diri kita. Nah itulah makna. Kesenian juga seperti itu. Tari itu maksudnya apa, tentu tidak terdefinisikan dengan kata-kata. Itu adalah pengalaman kita menonton,” kata Landung.
“Ketika orang melarutkan diri dalam apa yang tergambar, selain menyerap makna harafiahnya, di situ makna keseniannya tersampaikan. Itu sesuai dengan interpretasi,” landung menambahkan.
Sajak GM
Berikut ini sajak GM yang dibawakan oleh Landung dalam pertunjukan opera tari Gandari.
"Gandari"
(Lima hari sebelum ibu para Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai kain hitam, mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal)
la, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore itu
menengok ke luar jendela buat terakhir kalinya:
Sebuah parit merayap ke arah danau. Dua ekor tikus mati,
hanyut. Sebilah papan pecah mengapung.
Sebatang ranting tua mengapung.
Di permukaan telaga, di utara, dua orang
mengayuh jukung yang tipis, dengan
dayung yang putus asa.
Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka.
“Mereka lari dari koloni kusta,” kata Gandari dalam hati,
“dan mereka lihat warna hitam
yang berhimpun di atas bukit.”
Malam, sebenarnya mendung, seakan mendekat.
Air naik deras ke langit:
sebuah pusaran, sebelum hujan datang, lebat,
menghantam danau.
Dan angkasa gemetar
Dan mengubah diri ke dalam puting beliung.
*
Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya:
Pada halaman langit
Bintang membentuk asteris,
yang merujuk ke nama yang tak ada
juga nama seorang dewa yang
susut
*
Dan guruh berkejaran dengan hujan
sepanjang trowongan langit
yang merendah.
Kemudian kering. Kemudian gerimis,
seperti silabel yang lebat,
berdegup, bergegas, berdegup, dari pinggir galaksi,
membentuk kata, kata, kata…
Tapi perempuan yang sedih itu tak memberinya arti.
*
Di luar aula para dewa, ketika angkasa kosong,
Brahma mencipta Kematian.
“Kali akan datang,” katanya,
“dan akan melambaikan tangannya yang ungu.
Tenanglah, semua tak akan apa-apa.”
Di dalam ruang, tak ada yang ingin bicara.
Dan dari bulan yang lambat
Maut meloncat ke kerumunan mega.
la menari. Di pelukannya yang putih, ada mayat
yang terpenggal.
*
Malam itu para dewa pun diberitahu,
itulah tarian Kali yang pertama.
*
“Aur mengisut, air surut,
cahaya jadi sepa, dan dari langit
tak ada lagi apa-apa. Hanya di malam-malam tertentu
dewa-dewa menciptakan teks mereka
yang panjang, sepanjang ribuan makam.
“Mereka menghendaki aku, Kematian,
Mereka menghendaki aku.”
*
Mungkin Gandari mendengar kata-kata itu.
Tapi kemarin di balairung itu,
bersama Destarastra yang berkabung,
ketika ia dengar “pyuuu” kepodang hutan,
ia tak tahu isyarat apa
yang telah disampaikan.
Itu adalah hari kesendirian mereka yang ke-7.
Suami-isteri di ruang selatan: sepasang tahta tua;
dinding yang terlindung gordin; sepetak lantai
dengan medan catur yang panjang; bidak-bidak berat
yang berdiri berjauhan: ksatria asing, pion-pion yang bungkam,
para pendeta yang angkuh, benteng bujursangkar.
Gandari pernah menyukai semua itu: “Dulu aku
memimpikan makhluk imajiner di hitam-putih senjakala.”
Tapi tiap malam Destarastra, suaminya,
hanya bisa mengkhayalkan pelbagai unggas
dengan bulu yang ia sebut hijau.
*
Tapi tidak di malam itu. Dari plafon
yang dipahat gambar naga,
cahaya makin tak berarti.
Lampu ke-3 tak ada lagi.
Ketika itulah raja yang buta itu berkata,
“Aku membau amis empedu.”
Meskipun semalam
tak seorang pun mempersembahkan
hewan korban.
Orang-orang bersenjata
telah meninggalkan mereka.
*
Pada pukul 7:45 perempuan itu pun menggeruskan kuku
tangannya
pada kain lena lengan kursi.
la dengar degup kaki kuda
yang lelah itu lagi, seperti kemarin, seperti kemarin,
dan seorang prajurit luka yang setiap senja berkata kepadanya:
“Hamba membawa kabar dari peperangan, Ratu.”
Gandari hanya memandang ke halaman. la seakan men-
dengar
kalamakara di gerbang itu bergerak
Bersama suara katak yang mengigau.
*
Mari kita pergi.
Ke sebuah kota di mana nujum
tak dibaca. Di mana anak-anak
tak tumbuh. Di mana masa lalu adalah masa kini.
Di mana “aku” hanya
kata sebelum amnesia.
Mari kita pergi ke sebuah kota
di mana kabar adalah tafsir
yang terlambat.
*
Tapi ia tahu, hanya ada sebuah kota yang tinggal.
Di Dhenuka. Di perbatasannya yang kering, Kali berdiri
dengan satu kaki, selama 15 ribu tahun.
Parasnya yang gelap seperti Semeru malam
memandang ke 700 rangka
yang terhantar. “Paduka tak memberiku cermin.
Hanya bisa kulihat wajahku
pada langit sekeruh tembaga.
Paduka tak memberiku warna
meskipun pada perak pagi.”
Brahma tertawa: “Tapi kau kematian.
Kau Mertyu.”
“Ya, aku kematian.”
“Aku suka gerak burung di pohon yang pucat.
Aku suka bau tahi sapi yang separuh terbakar.
Aku suka—”
*
Mungkin juga Gandari cuma bermimpi
tentang dewa-dewa yang bodoh.
Kini ia ingin duduk.
“Jangan kau hanya diam,” suaminya berkata.
Ia lihat jari kisut lelaki itu
meremas kain kasar yang terjela
dari sisi mahligai;
karena ia sebenarnya gemetar.
Ketika itu,
utusan itulah yang bersuara.
“Bhisma gugur, dengan 100 liang luka.”
“Dan ketika orang tua itu rubuh
di bawah bukit-bukit Kurusetra,
perang berhenti sebentar,
dan senjata diletakkan.
Dan di kedua perkemahan
orang-orang menunduk:
‘Bhisma gugur/ mereka berbisik,
‘dengan 100 liang luka’.”
*
“Katakan kepada saya,
apakah yang paling menyakitkan
dari perang? Kekalahan?
Atau kebencian?”
Gandari ingin mengatakan kalimat itu, tapi
di sudut halaman yang gelap,
utusan yang letih itu
hanya memejamkan matanya.
Ratu itu seperti melihat bidak-bidak catur bergerak.
Editor: Bayu Probo
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...