Laporan LWF: Umat Menangis untuk Kebebasan Beribadah di Indonesia
ACEH, SATUHARAPAN.COM – "Kami telah hidup damai selama bertahun-tahun, tapi mengapa kami dipaksa untuk menyaksikan gereja kami dibakar dan dihancurkan?" Seorang perempuan menangis selama diwawancara tim The Lutheran World Federation (LWF) saat mengunjungi Aceh Singkil di Sumatera Utara.
20.000 Kristen Aceh Singkil takut untuk mengekspresikan iman mereka meskipun kebebasan beragama secara konstitusional dijamin dan keragaman negara diadakan sebagai contoh bagi dunia.
Pada tanggal 13 Oktober, 1000 orang ekstremis yang menyebut diri mereka Pemuda Peduli Islam (PPI), membakar sebuah gereja milik Huria Kristen Indonesia (HKI), dan menyerang Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Seorang laki-laki Muslim tewas dalam serangan itu dan salah seorang jemaat GKPPD didakwa sebagai pembunuhnya. Setelah kejadian itu, 7.000 orang Kristen meninggalkan rumah mereka mencari keamanan di daerah-daerah tetangga. Pemerintah meyakinkan mereka untuk kembali empat hari kemudian.
Seminggu sebelum kejadian, kelompok ekstremis telah mendesak pemerintah untuk menegakkan hukum di rumah ibadah yang terdiri dari satu gereja dan empat kapel, meskipun hal itu melanggar undang-undang tahun 1979 dan 2001.
Gereja-gereja dan organisasi masyarakat sipil meratapi kurangnya kejelian pemerintah. Pemerintah gagal mengantisipasi efek pembatasan terhadap hak orang Kristen menjalankan ibadah di negeri ini.
"Pemerintah tahu jenis insiden yang akan terjadi, jadi mengapa mereka tidak mencegahnya?" tanya Pendeta Tulus Hutagalung dari HKI.
Gereja telah menjadi bagian dari masyarakat di Aceh Singkil jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945.
Batasan Hukum yang Ketat
Singkil merupakan bagian dari provinsi Aceh, yang otonom dan diatur oleh hukum Syariah setelah Kesepakatan Helsinki 2005 antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, tidak ada lisensi di bawah perjanjian atau hukum Syariah yang mendiskriminasikan agama lain.
Orang Kristen di Singkil merasa sulit untuk beribadah setelah insiden 13 Oktober dan pembongkaran sembilan gereja pada hari berikutnya oleh pemerintah. Aksi terakhir berlangsung atas permintaan kelompok Islam yang bersikeras bahwa gereja-gereja di Aceh Singkil adalah ilegal karena mereka tidak memegang izin pemerintah.
Menurut Komite Nasional LWF Indonesia, sulit bagi gereja untuk mendapatkan izin membangun gereja. Menurut sebuah Peraturan Bersama Menteri tahun 2006, diperlukan 90 tanda tangan dari anggota gereja dan 60 tanda tangan dari umat dengan iman yang berbeda.
Gereja tersebar dan berada dimana-mana, bagaimana kita akan memenuhi persyaratan tanda tangan tersebut? Hukum ini tidak masuk akal dalam hal kebebasan beragama atau keyakinan seperti yang dinyatakan dalam konstitusi nasional," kata Bishop GKPPD, Elson Lingga.
Sementara itu, orang-orang Kristen dari sembilan gereja yang dihancurkan di Aceh Singkil tidak memiliki tempat untuk beribadah. Selain itu, mereka tidak diperbolehkan untuk memasang tenda di samping reruntuhan gereja atau memindahkan ibadah mereka ke rumah mereka. Polisi dan militer menjaga mereka.
Komite Nasional LWF di Indonesia, yang terdiri dari 13 gereja anggota LWF, telah memobilisasi tim konseling trauma yang terus menemani anggota jemaat yang menjadi korban. Mereka juga mendesak badan gereja lain dan organisasi masyarakat sipil untuk mendukung gereja-gereja dalam advokasi mereka terhadap kebebasan beribadah dan implikasi hukum terkait. (lutheranworld.org)
Editor : Eben E. Siadari
Putin Bantah Rusia Kalah di Suriah, Sebut Akan Bertemu Assad
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan pada Kamis (19/12) bahwa Rusia be...