Laut Cina Selatan: Perekat atau Pengganjal ASEAN?
SATUHARAPAN.COM – Beberapa waktu lalu Presiden SBY bertolak ke Singapura untuk menandatangani kerjasama bilateral terkait batas wilayah. Beberapa saat sebelumnya, masih di tahun 2014, Presiden SBY juga melakukan hal serupa dengan Filipina menyangkut perbatasan kedua negara. Langkah SBY begitu tepat sasaran mengingat di lingkup organisasi regional seperti ASEAN ini, sebenarnya masih banyak masalah perbatasan – baik di daratan, lautan atau udara – yang mengganjal sesama anggotanya sendiri yang kini berjumlah 10 (Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar).
Salah satu masalah terkait perbatasan di laut yang terus diributkan adalah klaim di Laut Cina Selatan. Di kawasan ini ada banyak pulau, dan persengketaan banyak mencuat berada di kepulauan Spartly dan Paracel. Di kepulauan ini, tak tanggung-tanggung yang mengklaim: enam negara seperti Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunai Darusalam. Cina dan Taiwan memang bukan anggota ASEAN.
Beban Sejarah dan Ego Pemimpin
Rata-rata klaim di kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan itu menyodorkan bukti sejarah bahwa di masa lalu kawasan tersebut masuk dalam teritorinya. Masalahnya menjadi kian rumit, tatkala para pemimpin atau kepala negaranya bersikukuh tanpa kompromi bahwa klaimnya sudah pasti benar di Laut Cina Selatan.
Indonesia pun, bila kita menengok masa silam, di jaman keemasan Majapahit, wilayah kekuasaanya begitu besar hingga mencapai Kamboja. Tetapi kalau semua mengandalkan fakta sejarah belaka tanpa mengindahkan aturan hukum internasional yang berlaku sekarang, akan sulit menyelesaikan masalah perbatasan dengan negara tetangga.
Kerumitan dalam proses negosiasi sekitar Laut Cina Selatan menjadi bertambah lagi tatkala diketahui kandungan kekayaan alam disekitar teritori yang diklaimnya sangat besar. Salah satunya adalah potensi gas dan minyak buminya. Talisman Energy Inc, Perusahaan migas milik Kanada yang sudah mendapat izin dari Pemerintah Vietnam misalnya, sudah bersiap mengebor dua sumur eksplorasi minyak di wilayah ini.
Pada saat bersamaan, belum lama berselang, kapal patrol Vietnam bersitegang dengan coastguard Cina. Kedua kapal patrol mereka saling bersenggolan, dan mengarah ke bentrok militer. Di sinilah forum seperti ASEAN sangat diperlukan untuk meredam konflik di sekitar Laut Cina Selatan.
Secara geografis, wilayah yang dipersengketakan ini jauh lebih dekat ke wilayah Indonesia, yakni sekitar 500-an kilometer dari Provinsi Kalimantan Utara. Sedangkan ke Cina sekitar 1000an kilometer. Kepulauan ini memiliki luas 244.700 Km² dan terdiri dari sekitar kurang lebih 350 pulau (inmysmallworld.blogdetik).
Peran Indonesia
Di saat ASEAN berdiri pada 1967, peran Indonesia begitu mengemuka. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, ASEAN dalam beberapa dekade berada dalam kondisi kondusif dalam masalah perbatasan diantara anggotanya. Kalau toh muncul masalah, di saat pertemuan rutin tahunan antar kepala negara atau sesama menteri luar negeri dan yang terkait, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan baik.
Sejak Soeharto lengser, peran Indonesia di lingkup ASEAN bisa dikatakan redup. Para kepala negara purna Soeharto (Habubie, Abdurahman Wahid, Megawati), cenderung membenahi dalam negeri dan hubungan luar negeri diatur tidak serapih di masa Soeharto. Baru di masa Presiden SBY, ketertataan hubungan luar negeri sesuai skala proritas lebih terlihat.
Di lingkup ASEAN, Presiden SBY mulai menunjukkan kepiawaiannya dalam membina hubungan regional. Masuk Myanmar misalnya sebagai anggota ASEAN, tak terlepas dari peran Indonesia dalam hal ini kepemimpinan SBY yang memberikan keyakinan di internal ASEAN maupun ke negara-negara besar yang berpengaruh di Asia Tenggara (Amerika Serikat, Cina, Jepang, Rusia).
Kembali ke soal masalah di Laut Cina Selatan, perlahan Indonesia di bawah kepemimpinan SBY juga membina hubungan dengan baik di semua negara yang memiliki klaim. Meski teritori Indonesia juga bersinggungan dengan Laut Cina Selatan, tetapi secara langsung tidak ada konflik klaim wilayah yang dihadap Indonesia di perairan tersebut.
Sengketa di perairan ini mulai mencuat secara terbuka sejak 1979, kemudian mendingin kembali. Lalu pada 2009 kemarin hingga kini, eskalasi konflik kembali memanas. Saat menadatangani kerjasama perbatasan dengan Filipina beberapa waktu lalu, Presiden SBY sudah membuka diri untuk bertindak pula sebagai mediasi dalam menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan.
Indonesia sepertinya ingin memainkan peran dalam forum dialog di “ASEAN plus Three”, di mana negara luar seperti Cina, Jepang dana Korea Selatan memang diajak untuk membahas masalah strategis di sekitar kawasan Asia Tenggara. Sebagai negara yang memiliki geografi paling besar diantara anggota ASEAN, memang sudah sepantasnya Indonesia memiliki peran strategis yang juga besar.
Secara geopolitik posisi Indonesia juga begitu vital. Asean yang memang dibangun bukan untuk kerjasama di bidang militer, tetapi kemauan politik para kepala negaranya bisa dipersatukan apabila sering diasah untuk berdialog dalam membangun suasana saling menguntungkan di kawasannya sendiri.
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, di mana batas wilayah sudah tidak lagi menjadi rintangan dan perdagangan maupun jasa kian merekat, pada sudah sepantasnya Indonesia mempersiapkan segala potensinya untuk menjadi pemimpin sekaligus fasilitator yang tangguh dalam menyelesaiakan banyak hal di lingkup Asia Tenggara.
Itu sebabnya untuk menyelesaikan berbagai masalah penting, seperti halnya di Laut Cina Selatan yang setiap saat bisa meningkatkan eskalasinya, banyak kerjasama bisa dikembangkan secara gotong royong. Dan ini menjadi pekerjaan rumah besar untuk kepala negara yang baru terpilih di Pilpres kemarin (Pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla).
Kerjasama di bidang penanggulangan bencana dan kepariwisataan misalnya, adalah sebuah bentuk kegiatan yang sangat menguntungkan banyak pihak. Potensi dan keberadaan Laut Cina Selatan sendiri, begitu besar pesona wisatanya yang bisa ditengok. Untuk teritori Indonesia, perairan di Kepulauan Riau seperti Batam, Bintan, Anambas, Natuna, adalah “surga tersembunyi” yang bisa ditawarkan untuk bentuk kerjasama kepariwisataan di lingkup Asia Tenggara umumnya dan Laut Cina Selatan khususnya.
Dari kegiatan pariwisata ini, diharapkan negara anggota ASEAN plus yang terkait dengan konflik di Laut Cina Selatan, bisa menawarkan paket wisata dan budayanya juga untuk diperlihatkan. Jadi semacam “Festival Wisata dan Budaya Laut Cina Selatan” yang dibuat berkala setiap tahun dan tuan rumahnya diutamakan kepada negara-negara yang bertikai. Diharapkan di sini partisipasi masyarakat dari masing-masing negara terlibat sehingga dapat meminimalisasi klaim perbatasan yang diributkan.
Bentuk kegiatan lain yang dirasa perlu adalah terkait penanggulangan bencana. Akhir-akhir ini seringkali bencana menerpa hampir semua belahan dunia, mulai dari gempa bumi, angin kencang, virus penyakit, tsunami, kebakaran hutan, dan lain sebagainya. Penanggulangan bencana alam tersebut tentunya membutuhkan kerjasama yang baik diantara anggota ASEAN dan mitranya.
Terkait dengan di laut Cina Selatan, tentunya yang dirasa perlu adalah penanganan bencana di laut. Kerjasama penanggulangan bencana yang Maret lalu dilaksanakan oleh TNI AL bersama lebih dari sepuluh negara di Laut Cina Selatan, misalnya, adalah salah satu bentuk kegiatan yang perlu ditindaklanjuti di masa mendatang. Ini sebuah manifestasi bentuk kegiatan gotong royong yang perlu diadakan secara simultan di masa mendatang.
Contoh dua bentuk kegiatan tersebut apalagi dilaksanakan secara bertahap dengan melibatkan tidak hanya unsur masing-masing Pemerintah, tetapi juga organisasi kemasyarakatan, tentunya berdampak sangat luas dan bisa dirasakan oleh banyak masyarakat di ASEAN maupun mitranya seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan.
Penulis adalah wartawan freelance, tinggal di Jakarta.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...