Layar Tancap ala Kineforum MISBAR
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kineforum MISBAR merupakan acara pemutaran film dengan konsep layar tancap dengan desain kontemporer di ruang terbuka. Kineforum MISBAR memutar film-film Indonesia klasik maupun kini. Ini adalah kolaborasi Komite Film dan Komite Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Acara yang didukung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta ini berlangsung pada Selasa (10/12) hingga Senin (16/12) di Lapangan Futsal Monas.
Film ditayangkan di Kineforum MISBAR berlangsung tiap pukul 19.00 WIB dan 21.00 WIB. Khusus hari Jumat dan Sabtu, ada pemutaran tengah malam yang dimulai pukul 00.00 WIB. Kineforum MISBAR adalah bagian dari rangkaian acara Jakarta Biennalle 2013.
Staf publikasi Kineforum, Amalia Sekarjati menyampaikan bahwa Monas menjadi pilihan lokasi acara karena ruang ini makin terbuka untuk publik. Monas sudah menjadi ruang alternatif hiburan selain ke mall dan momentum itu yang ditangkap. Selain itu, tempatnya strategis dan scaffolding layar tancapnya sesuai.
Baru pada 2013, diselenggarakan Kineforum MISBAR. “Instalasi outdoor cinema dan layar tancap, bahkan untuk yang sederhana pun Kineforum sebenarnya belum pernah bikin,” kata perempuan yang akrab dipanggil Sekar ini.
Kesusahan Layar Tancap
Pemutaran film di ruang terbuka alias layar tancap tidaklah mudah. Faktor cuaca yang sering hujan di bulan Desember menentukan keinginan orang berkunjung ke Monas. Selain itu sistem audio visual layar tancap selama ini menampilkan gambar bisa buram.
“Ini tantangan buat tim teknis Kineforum supaya sistem audio visual berstandar bioskop. Suara juga harus kencang karena pasti suara dari luar juga banyak.” Kata Sekar.
Orang yang berkunjung ke Monas juga masih sungkan. Mereka merasa kesannya ini kayak acara orang luar sehingga merasa tidak berhak masuk. Mereka memilih nonton di luar dengan mengintip-intip dari balik tirai yang menyelubungi Kineforum MISBAR.
Tentang Film dan Pemutaran
Semua film yang diputar di Kineforum MISBAR berformat digital. Walau di antara film yang diputar adalah film klasik tetapi sudah diubah ke dalam format digital. Tidak ada yang berbentuk seluloid.
Ada 16 slot pemutaran dalam Kineforum MISBAR. Semuanya film Indonesia. Film ini dipilih karena mau mendeketkan publik Jakarta kepada film Indonesia. Terutama menjadi kenal dengan beberapa film klasik Indonesia.
“Film itu deket sama kehidupan Jakarta, termasuk pertimbangannya teknis juga. Tetapi kira-kira sebagian besar yang dipilih ibaratnya kayaknya selain film klasik, juga emang legend di masanya kayak Naga Bonar. Selain itu memang kira-kira yang cocok buat publik Jakarta.”
Kineforum MISBAR juga membuat pemutaran pada jam 12 malam. Ini semacam midnite di bioskop. Film thriller ‘Rumah Dara’ diputar karena bertepatan dengan Jum’at tanggal 13, Friday 13th.
Selain film klasik, turut juga diputar film ‘Belki Bolang’ yang tidak beredar di bioskop umum, juga ‘Sinema Purnama’.
Kontruksi Kineforum MISBAR
Konstruksi Kineforum MISBAR merupakan karya seni instalasi yang dirancang dua arsitek, Melissa Liando dari Indonesia dan Laszlo Csutoras dari Hungaria. Kontruksi ini mengadaptasi konsep menonton layar tancap. Layar tancap sendiri pernah menjadi popular di tahun70-80an sebagai hiburan rakyat, tetapi kini mulai jarang ditemukan.
Kineforum MISBAR bukanlah media nostalgia layar tancap, tetapi juga ditujukan untuk memberikan alternatif ruang danpengalaman menonton bagi publik Jakarta sesuai kegiatan kineforum selama ini. Selain itu, Kineforum MISBAR merupakan salah satu siasat untuk membawa film ke tengah masyarakat. Hal ini sesuai tema Jakarta Biennale 2013 tahun ini, ‘Siasat’.
Manajer Kineforum Sugar Nadia dalam siaran pers mengatakan,“Kineforum MISBAR hadir sebagai tanggapan atas kurangnya bioskop untuk rakyat.”
Kineforum MISBAR berukuran 40 meter kali 16 meter, dengan kapasitas 150-200 orang, serta didukung sistem audio visual yang mumpuni. Bangunan kineforum Misbar dibuat menggunakan material terjangkau dan dapat digunakankembali setelah akhir pertunjukan. Struktur yang digunakan adalah sistem pipa scaffolding sewaan yang fleksibel dan memungkinkan perakitan yang cepat, kemudian dilapisi bahan-bahan sederhana lainnya.
Walau mengadopsi konsep ruang dan ruang tunggu beratap yang sekilas mirip ruang tunggu bioskop tetapi tempat para penonton film berbentuk panggung terbuka tanpa atap. Bila gerimis datang maka penonton akan bubar.
“Sebagai arsitek, kamiberdua memiliki ketertarikan khusus untuk menciptakan arsitektur yang dipadukan dengan agenda sosial. Desainkami pada dasarnya memadukan prinsip misbar, gerimis bubar, dengan bioskop modern,” kata kedua arsitek.
Kurator Adrian Jonathan dan Mahardhika Yudha memilih film-film Indonesia dari berbagai era. Mulai dari film produksi 1969 ‘Apa jang Kau Tjari, Palupi?’, film era tahun 80-an seperti ‘Kejarlah Daku Kau Kutangkap’ dan ‘Nagabonar’, sampai film ‘Rumah Dara’ yang diproduksi pada tahun 2000 ke atas.
“Film-film yang diputar adalah hasil dari serangkaian siasatdengan berbagai pertimbangan, termasuk kualitas tayang dan paling kentara tentunya adalah tema siasat sejarah, sejumlah film popular dari berbagai zaman. Beberapa merupakan cerita ringan tentang upaya warga menyiasatikehidupan ibukota. Pun ada dua film yang merupakan siasat sekelompok anak muda untuk membacalingkungannya lewat sinema,” kata kedua kurator.
Sejumlah film yang diputar antara lain: Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969), Pengemis dan Tukang Becak (1978), Lovely Man (2011), Darah dan Doa (1950), Janji Joni (2005), Belkibolang (2010), Rumah Dara (2010), Ambisi (1973), Nagabonar (1986), Sinema Purnama (2012), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Badut-Badut Kota (1993), dan Bibir Mer (1991).
Editor : Bayu Probo
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...