Lebaran Istimewa
SATUHARAPAN.COM - Lebaran tahun ini benar-benar istimewa. Ada dua peristiwa penting menjelang lebaran ini. Pertama adalah peristiwa yang bermakna secara relijius bagi seorang Muslim, yaitu menjalankan ritual puasa tahunan selama sebulan penuh. Kedua, peristiwa yang bermakna sedara politis, bukan saja bagi umat Islam tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Peristiwa itu tiada lain adalah pemilihan presiden atau Pilpres.
Yang membuat lebaran tahun ini lebih istimewa lagi adalah bahwa pilpres kali ini bukan sembarang pilpres, juga bukan sembarang ritual lima tahunan untuk memilih presiden. Ini adalah pilpres istimewa yang mungkin belum pernah kita lihat kembaran atau presedennya dalam sejarah politik kita. Ada banyak alasan kenapa pilpres kali ini sangat spesial. Sekurang-kurangnya dalam pandangan saya.
Pertama, inilah pilpres yang paling menarik minat para anak muda dan pemilih pemula. Semua penduduk Indonesia bisa merasakan betapa besarnya magnet pemilu kali ini. Semua orang bisa melihat betapa besarnya antusiasme dan “passion” publik kita untuk ikut terlibat di dalamnya. Tetapi, ini juga sekaligus pilpres yang paling menimbulkan polarisasi pendapat di tengah-tengah masyarakat.
Ini semua karena munculnya tokoh bernama Joko Widodo yang lebih dikenal dengan panggilan akrabnya: Jokowi. Kemunculan tokoh Jokowi memenuhi syarat-syarat dua fenomena sekaligus: yaitu femomena tradisional yang disebut dengan “ratu adil”, dan juga fenomena post-modern yang disebut dengan gejala “celebrity”.
Jokowi memenuhi syarat sebagai “ratu adil”, sebuah mitos tentang datangnya Pemimpin Impian yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat; akan menuntun mereka keluar dari zaman kalabendu (zaman kekacauan) menuju zaman ketenteraman. Melihat antusiasme masyarakat sipil untuk mendukung Jokowi, tak bisa lain kita berkesimpulan: Jokowi dilihat sebagai “messiah” yang akan membawa “salvation” atau keselamatan bagi bangsa.
Tetapi Jokowi juga memenuhi syarat sebagai femomena “celebrity”. Dalam diri Jokowi, publik melihat suatu drama hidup yang mirip dengan sebuah sinetron: seorang dari latar-belakang sederhana, kemudian mendadak menjadi tokoh yang dielu-elukan, dan bertarung melawan musuh-musuhyang dipersepsikan public melambangkan kekuatan “jahat”, dan kemudian keluar sebagai pemenang yang gemilang. Pada diri Jokowi, publik melihat suatu contoh konkret dari “a dream comes true”. Syarat-syarat sebuah drama yang melankolis ada semua di sana. Tak heran jika sosok Jokowi benar-benar menyihir kelas menengah kota yang selama ini memang akrab dengan budaya “celebrity”.
Kedua, pilpres kali ini juga spesial karena tokoh yang dielu-elukan itu akhirnya berhasil mengatasi semua kendala dan menang. Ada perasaan PLONG NASIONAL dI tengah-tengah masyarakat: tokoh bajik akhirnya keluar sebagai pahlawan yang memenangkan “peperangan”.
Ketiga, ada hal lain yang lebih istimewa. Bagaimanapun kita harus bersyukur bahwa akhirnya Jokowi yang memangkan pilpres. Sebab dialah tokoh yang melambangkan secara visual seluruh impian masyarakat tentang reformasi. Dia muda (ciri demografis publik kita sekarang), produk dari era baru, yakni era reformasi, tak ada kaitan apapun dengan rezim yang lalu, seorang yang tumbuh murni dalam kultur sipil, bukan militer, dan, lebih penting lagi, dia mewakili impian banyak kalangan tentang sosok yang tidak terlalu lekat secara sektarian dengan kelompok keagamaan tertentu. Faktor yang terakhir ini sangat penting melihat bahwa kehidupan hubungan antaragama kita, akhir-akhir ini, benar-benar berada dalam ujian yang sangat berat.
Jokowi juga melambangkan dengan sangat baik sentiment negatiF masyarakat terhadap partai politik. Karena kinerja partai politik kita yang korup, buruk, self-serving (melayani diri sendiri), terisolasi dari detak aspirasi publik, muncullah gejala anti-partaiisme yang meluas di masyarakat. Jokowi didukung publik bukan karena dia melambangkan kekuatan partai, tetapi karena sosoknya yang menyihir. Kita melihat pada Jokowi sebuah kecenderungan baru dalam politik kita: Tokoh lebih memikat ketimbang partai. Tokoh lebih personal, intim, visualistik, dan kelihatan sosoknya. Sementara partai adalah kekuatan abstrak yang tak bisa disentuh oleh publik.
Kematangan sebuah bangsa tidak datang secara gratis, melainkan diuji dengan fase-fase sulit. Jika suatu bangsa berhasil melalui fase itu dengan baik, maka ia akan setapak meningkat kematangannya sebagai sebuah bangsa. Pilpres yang terakhir ini, dalam pandangan saya, adalah salah satu di antara momen-momen politik yang menguji kematangan kebangsaan kita. Dan, Alhamdulillah, kita sukses.
Jika perayaan idul fitri atau lebaran kerap dimaknai sebegai sebuah perayaan kemenangan, maka lebaran tahun ini adalah perayaan kemenangan dalam pengertiannya yang komplit. Umat Islam menang karena berhasil melalui tes spiritual lewat ritual puasa; tetapi, yang lebih penting lagi, bangsa Indonesia juga menang karena lulus melewati tes kebangsaan yang bukan main-main.
Kita layak memanjatkan syukur kepada Tuhan, karena kita diberikan kesempatan untuk mengalami ujian dan lulus. Allahu akbar wa lillahil hamd!
Penulis adalah cendekiawan Muslim dan research associate di Freedom Institute, Jakarta.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...