Lebih 13.000 Pencari Suaka Myanmar Hidup Miskin di Malaysia
MALAYSIA, SATUHARAPAN.COM - Ribuan pencari suaka dan pengungsi yang selamat dari perjalanan, yang mengancam jiwa dari Myanmar terjebak dalam siklus baru kemiskinan dan kebodohan di Malaysia.
Di Kuala Lumpur, satu-satunya cara untuk menghasilkan uang adalah dengan memungut sampah yang dapat didaur ulang atau dijual.
"Kami mendapat sekitar 30 sampai 35 Ringgit [atau setara Rp 13.000] per kali gajian. Ini tak cukup untuk keluarga kami," kata Muhammad Hassan, seorang pria Rohingya yang tiba dengan perahu, beberapa bulan yang lalu.
Para pencari suaka tak boleh cari kerja atau belajar di sekolah negeri di Malaysia. Banyak pengungsi dan pencari suaka terpaksa bekerja di ‘sektor informal’.
Di Kuala Lumpur, itu artinya sekelompok pria Rohingnya menjelajah jalanan untuk mengumpulkan kaleng, botol plastik dan sampah lainnya.
Tapi 1 dolar (atau sekitar Rp 13.200) per hari tak akan bertahan lama jika harus dipergunakan untuk membeli makanan, pakaian dan membayar sewa.
Muhammad Hassan, pencari suaka etnis Rohingnya dari Myanmar mengatakan, kehidupan di Malaysia ‘sangat sulit’.
“Kami sangat tidak sehat, tidak berpendidikan dan miskin. Jika saya tak bisa bekerja di sini sebagai pengungsi, bagaimana kami bisa bertahan hidup?,” katanya.
Keluarga para pria yang bekerja bersama mengumpulkan sampah juga tinggal bersama untuk mengurangi biaya hidup.
Setidaknya ada tiga keluarga yang tinggal di rusun dua kamar, dan keluarga itu mungkin saja terpaksa untuk tinggal dalam kondisi terbatas ini selama bertahun-tahun.
Anak-Anak Terpaksa Pergi Ke Sekolah Rahasia
Di Malaysia, para pengungsi dan pencari suaka tidak bisa pergi ke sekolah negeri, tapi beberapa anak pergi ke sekolah tidak resmi yang tersembunyi.
Menurut kepala guru di Zachunghain, sekolah seperti itu di Kuala Lumpur punya 46 siswa, berusia antara 3-15 tahun.
“Kami punya pendidikan yang buruk di sana, jadi mereka datang ke sini untuk mencoba karena masa depan mereka akan lebih baik,” katanya.
Sekolah ini didanai melalui donasi dan dijalankan oleh para relawan, seperti warga Australia, Mara Whittaker.
“Mereka, tinggal dalam kemisikinan yang parah di sini dan tak terawat,” sebutnya.
Ia mengatakan, ada sekitar 13.000 pengungsi dengan usia sekolah di Malaysia.
“Empat puluh persen dari mereka tak menempuh pendidikan formal. Saya berharap ada pendidikan bagus untuk mereka sehingga mereka punya pilihan dalam hidup, seperti misalnya mau jadi apa nantinya,” kata Mara.
Ia berujar, bahkan ketika para guru tidak ada, beberapa murid tetap datang ke sekolah untuk terus belajar karena berharap saat mereka ditempatkan di daerah lain, mereka bisa melanjutkan pendidikan.
Tapi, pada akhirnya, hanya ada sejumlah kecil remaja di sekolah karena mereka butuh bekerja untuk membantu mencari makan dan sandang bagi keluarga mereka.
“Saya punya satu murid yang meninggalkan sekolah tahun lalu, usianya 12 tahun, ia tinggal di rumah dan merawat seorang bayi. Dan saya sedih mendengar kabarnya karena saya merasa tak ada harapan untuknya,” kata Mara. (radioaustralia.net.au)
Editor : Eben Ezer Siadari
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...