Lee Kuan Yew, Arsitek Perekonomian Singapura
SATUHARAPAN.COM – Lee Kuan Yew, Perdana Menteri pertama Singapura, mendapat pengakuan internasional sebagai tokoh yang dianggap menjadi arsitek keberhasilan ekonomi negara kepulauan tersebut.
Lee Kuan Yew, PM Singapura selama 31 tahun, tutup usia pada Senin (23/3) dini hari, pada usia 91 tahun. Lee sebelumnya menjalani perawatan di Singapore General Hospital sejak 5 Februari karena radang paru-paru akut. Pemerintah mengatakan kondisinya memburuk karena adanya infeksi.
Lee Kuan Yew menjadi pertama menteri sejak 1959, setelah Singapura lepas dari jajahan Inggris. Dia turun dari jabatan pada 1990. Lee Kuan Yew digantikan oleh Goh Chok Tong, dan kemudian juga turun jabatan untuk digantikan putra tertua Lee, Lee Hsien Loong, pada 2004.
Walau kemudian tidak menjadi orang nomor satu di negara kepulauan tersebut, seperti dituliskan abc.net.au, Lee Kuan Yew tetap ikut dalam pemerintahan, antara lain menjabat menteri senior.
Selama 31 tahun menjabat sebagai perdana menteri, Lee Kuan Yew berhasil membawa Singapura menjadi salah satu negara terkaya di dunia.
Dia mundur dari kehidupan politik pada 2011, dengan berhenti dari jabatannya sebagai menteri senior, setelah partainya People's Action Party (PAP, Partai Aksi Rakyat) mencapai hasil terburuk dalam pemilu sejak Singapura mencapai kemerdekaan.
Dalam sebuah buku yang terbit pada 2013, Lee Kuan Yew mengatakan setiap hari dia semakin lemah dan menyatakan keinginannya segera meninggal dunia.
Istrinya, Kwa Geok Choo, meninggal dunia pada 2010 di usia 89 tahun, setelah mereka menikah 63 tahun.
Lee meninggalkan dua putra, Lee Hsien Loong, yang kini menjadi perdana menteri, dan Lee Hsien Yang, serta seorang putri, Lee Wei Ling.
Generasi Keempat di Singapura
“Harry” Lee Kuan Yew adalah warga Singapura generasi keempat. Nenek moyangnya pindah dari Provinsi Guangdong di Tiongkok pada 1860-an.
Sebagai orang yang selamat dari pendudukan Tentara Kekaisaran Jepang di Singapura, setelah perang berakhir, Lee belajar ekonomi di London. Dia kuliah di Universitas Cambridge sampai mendapat gelar sarjana hukum.
Dia memulai karier politiknya pada 1954, seperti dituliskan voanews.com, dengan membentuk Partai Aksi Rakyat yang merupakan koalisi kelompok kelas menengah dan serikat dagang pro-komunis. Pada 1955, Lee menjadi pemimpin kelompok oposisi di parlemen. Tetapi perpecahan di dalam PAP dengan sayap kiri partai itu mendorong penangkapan tokoh-tokoh pro-komunis pada 1957.
Pada Pemilu 1959, PAP menang besar. Lee Kuan Yew menjadi perdana menteri pertama Singapura, jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1990 sebelum ia diangkat menjadi menteri senior.
Pada usia 42 tahun Lee Kuan Yew menjadi pemimpin tunggal Singapura, bekerja keras mencapai pertumbuhan ekonomi untuk membangun Singapura dan membina kesatuan.
Lee memainkan peran utama dalam memimpin negara pulau itu pasca era penjajahan menuju keberhasilan ekonomi. Carl Thayer, pakar politik di University of New South Wales di Australia mengatakan, kisah tentang Singapura modern tidak bisa diceritakan tanpa merujuk pada Lee Kuan Yew. Ia membawa negara itu dari era penjajahan menuju kemerdekaan. Ia menangkis tantangan-tantangan dari kelompok sosialis-kiri dan kemudian mendominasi politik.
“Saya tidak berada di sini untuk memainkan strategi orang lain. Saya bertanggung jawab pada beberapa juta orang dan Singapura harus berhasil," Lee menegaskan.
Beberapa analis, seperti dituliskan voanews.com, mengatakan kekuatan Lee adalah pada kemampuannya menetapkan standar dan tujuan, Lee adalah “pemikir strategis” yang memanfaatkan sumber daya paling bernilai bagi Singapura, yakni rakyatnya sendiri.
Investasi asing pun berdatangan. Dengan angka pertumbuhan yang kerap mencapai 10 persen selama puluhan tahun, Lee membantu merumuskan model pembangunan kapitalis yang juga diadopsi oleh negara-negara yang pernah disebut sebagai “Macan Asia”, yaitu Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan.
Dengan kemajuan industri, Singapura berkembang menjadi negara kota yang modern. Michael Barr, pakar politik di Universitas Flinders, Australia Selatan, menyebutkan salah satu pencapaian terbaik Lee Kuan Yew, warisan yang paling positif yang akan ditinggalkannya, adalah bagaimana ia menyadari dan memanfaatkan keunggulan alami Singapura dengan cara-cara yang sangat luar biasa.
Barr mengatakan Lee Kuan Yew mengumpulkan tokoh-tokoh penting untuk memetakan pembangunan masa depan Singapura. Ia membina pemimpin politik yang serius dan membangun dukungan politik yang kuat bagi tokoh-tokoh negara dan administrasi yang tanggap dan penuh imajinasi. Tanpa kepemimpinan politiknya, Singapura tidak mungkin membentuk hegemoni politik seperti sekarang ini.
Namun, sikap tegas Lee pada dalam politik dan terhadap kelompok-kelompok oposisi juga memicu kecaman terhadapnya sebagai “pemimpin otoriter”. Pemerintah menggunakan UU Keamanan Dalam Negeri atau “Internal Security Act” terhadap para pengecam dan kelompok oposisi untuk menangkap politisi, aktivis dan tokoh-tokoh serikat buruh.
Seratus orang ditangkap pada 1963, termasuk bekas pemimpin redaksi surat kabar Said Zahari yang ditahan selama 17 tahun tanpa proses pengadilan. Pada 1987, 22 pejabat Gereja Katolik , aktivis sosial dan profesional ditangkap karena dituduh terlibat konspirasi sayap kiri. Menanggapi kecaman media lokal dan asing, Lee menuntut para penanggung jawab media itu di pengadilan. Lee tidak pernah minta maaf atas sikap tegasnya.
Singapura merupakan negara yang masih menerapkan pengawasan ketat atas kebebasan berpendapat. Survey Kebebasan Pers yang dilakukan Reporters Without Borders pada 2014 menempatkan Singapura di antara negara-negara Asia Tenggara yang memiliki kebebasan pers terendah, di bawah Myanmar, Kamboja, Thailand, dan Indonesia. (abc.net.au/voanews.com)
Editor : Sotyati
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...