Lejar Daniartana Kenalkan Wayang Malind
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seniman-perupa muda yang sedang menyelesaikan studinya di Program Penciptaan dan Penciptaan Seni Pasca Sarjana ISI Yogyakarta, Lejar Daniartana Hukubun, Senin (1/7) siang mempresentasikan hasil riset sebagai tugas akhirnya mengangkat cerita rakyat Suku Malind, Kabupaten Merauke-Papua.
Dalam perbincangan singkatnya dengan satuharapan.com, Lejar menjelaskan bahwa untuk tugas akhir penciptaan seni dalam hal desain komunikasi visual yang menjadi minatnya, lima cerita rakyat (folklore) dari Suku Malind dijadikan based research untuk eksplorasi sekaligus mencoba memunculkan karya baru dari cerita rakyat yang sudah berkembang di Malind.
“Cerita rakyat yang saya teliti lebih banyak disampaikan secara lisan. Meskipun masih sering diceritakan pada anak-anak di Suku Malind, namun lambat laun cerita-cerita tersebut mulai ditinggalkan. Pesan-pesan moral inilah yang coba saya eksplorasi dalam bentuk penyajian lain. Saya mencoba menyajikan dalam bentuk wayang yang itu menjadi hal yang tidak terlalu lazim di Papua. Saat diskusi dengan pemerintah setempat sempat ada sedikit pro-kontra mengingat istilah wayang sendiri tidak dikenal dalam khasanah seni rupa di sana. Tapi saya tetap diizinkan untuk melakukan penelitian dan eksplorasinya,” jelas Lejar kepada satuharapan.com, Kamis (27/6) sore saat mempersiapkan presentasi tugas akhirnya di Kampus ISI Yogyakarta.
Untuk keperluan tersebut, Lejar merancang desain baru cerita rakyat Suku Malind dalam bentuk buku cerita bergambar dengan mendasarkan pada buku “Kumpulan Cerita Rakyat Daerah Malind”, yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Merauke. Buku kumpulan cerita tersebut disusun oleh Ayup Peday, Willibrordus Kanggam, Yoseph M.Mahuze, Alexius D.Ronggo, dan Isaias J Ndiken.
Rancangan desain buku baru tersebut disusun Lejar dengan mengemas ulang dalam bentuk buku cerita anak yang dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang menarik minat anak, dapat mendukung cerita rakyat dan bahasa yang mudah dipahami untuk anak-anak usia sekolah dasar. Lejar menjelaskan bahwa buku baru ilustrasi tersebut berisi tentang hal-hal yang bercerita tentang suku Malind Merauke, memberikan pesan moral kepada masyarakat, terutama anak-anak tingkat sekolah dasar, menggambarkan keadaan situasi lingkungan dan sosial di Merauke, mengimajinasikan keadaan dan situasi yang sedang diceritakan, serta keseluruhan ilustrasi dibuat berwarna agar lebih menarik.
“Beberapa warna khas (Suku Malind) saya gunakan dalam ilustrasi buku yakni merah, putih, hitam, dan kuning, serta gradasinya. Untuk keperluan bentuk figur-karakter-penokohan dalam cerita, saya menggunakan foto-foto arsip-dokumentasi P.Verleen yang dibuat tahun 1922 milik dinas terkait Kabupaten Merauke sebagai pijakannya. Karakter tokoh anak-ibu-bapak saya ambil dari foto tersebut lengkap dengan atribut pakaian yang dikenakan. Sementara bentuk dan pewarnaan karakter-tokoh, maupun latar gambar ilustrasi saya coba interpretasi ulang dengan kondisi saat ini. Substansi, alur, tokoh-tokoh cerita, maupun pesan moral yang disampaikan tidak ada yang diubah. Hanya penggunaan bahasanya yang lebih mudah dipahami, sederhana, sesuai kaidah yang berlaku,” ujar Lejar lebih lanjut.
Selain buku cerita dengan dilengkapi ilustrasi, Lejar juga melengkapi dengan materi visual lain diantaranya stiker, pembatas buku, gantungan kunci, kaos, serta bahan cetakan lain dengan desain karakter dan warna yang cukup menarik bagi anak-anak. Sebagai satu langkah awal, yang dilakukan Lejar juga menarik untuk menumbuhkan budaya literasi pada anak-anak melalui aktivitas gemar membaca. Mendongeng cerita adalah bagian dari menumbuhkan budaya literasi sejak usia dini dengan membangun dialog yang imajinatif bersama anak-anak dalam dunia dan usianya.
Beberapa waktu lalu Lejar Daniartana mempresentasikan karya batik yang mengeksplorasi wayang fantasi khas Papua dan Jawa di Studio Kalahan, Gamping-Sleman. Dalam tema-tema sederhana Lejar mereka ulang realitas masyarakat Papua dalam wayangnya dengan karakter-karakter baru sebagai pendekatannya. Figur-figur yang diciptakan Lejar bisa dikatakan jauh dari obyek/karakter seni rupa yang dihasilkan masyarakat Papua. Meski begitu, karya Lejar memberikan tawaran baru. Pace Tangan Empat, Pace sedang Lari, Pace Gondrong, Topeng Papua, Buaya Papua dengan karakter yang bisa dikatakan baru bisa menjadi “pemancing” untuk mengeksplorasi dan mengembangkan batik Papua.
“Saat penelitian, beberapa kali saya membuat workshop sederhana menggambar bersama anak-anak di sana. Antusiasme mereka untuk berkegiatan cukup bagus. Mungkin satu saat saya akan mementaskan wayang Malind dengan cerita berdasar buku tersebut atau mengembangkan cerita-cerita lainnya,” pungkas Lejar.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...