Limabelas Tahun Sesudah Reformasi (Bagian 1)
SATUHARAPAN.COM-Setelah 15 tahun berada di era reformasi, adakah kita sudah mencapai tujuan? Atau setidak-tidaknya masihkah kita berada pada track yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini perlu diulang-ulang terus agar kita jangan kehilangan arah. Suatu revolusi yang dilakukan untuk mengubah keadaan secara revolusioner selalu diperhadapkan pada dilema yang tidak ringan. “Revolusi memakan anak-anaknya sendiri”, demikian adagium yang terkenal.
Ketika revolusi Perancis dicanangkan pada tahun 1789, bangsa Perancis mendapati dirinya berada dalam euforia revolusi teramat sangat. Segala sesuatu ditempatkan di bawah ukuran dan kriteria revolusi. Tetapi pada saat yang sama mereka juga tidak mudah membebaskan diri dari euforia tersebut guna membangun dan menata suatu tatanan masyarakat baru. Banyak, yang pada mulanya merupakan pejuang-pejuang revolusi justru menjadi korban dari pisau revolusi yang tidak tertahankan.
Ketika Iran berada di bawah revolusi besar pimpinan Ayatollah Khomeini, banyak anak-anak bangsanya yang pernah menjadi pelopor perlawanan terhadap Syah Iran menjadi korban. Jangan lupa, juga bangsa kita, ketika berkobar revolusi melawan Belanda di tahun-tahun permulaan kemerdekaan, banyak juga anak-anak bangsa menjadi korban. Ya, revolusi memakan anak-anaknya sendiri. Demikian juga halnya, ketika “revolusi yang tidak pernah selesai” yang dicanangkan Bung Karno dicetuskan di tahun-tahun 60-an, sekian anak bangsa juga dibungkam mulutnya.
Reformasi memang bukan revolusi dalam pengertian yang sesungguhnya. Reformasi adalah upaya untuk “membentuk kembali” masyarakat kita yang telah kehilangan arah karena terlalu lama berada di bawah pemerintahan otoriter. Konon, pada waktu itu negara terlampau kuat sehingga menggeser peranan civil society (masyarakat berkeadaban). Peranan masyarakat tergeser ke samping sehingga tidak mampu ikut menentukan ke arah mana bangsa dan negara Indonesia diarahkan.
Selama tiga dasawarsa bangsa kita berada di dalamnya. Memang ada semacam kemajuan pembangunan fisik di mana-mana. Bahkan para pemimpin kita telah berbicara mengenai “tinggal-landas”. Ini pencapaian yang tidak boleh dianggap kecil. Namun pencapaian itu mengabaikan faktor yang sangat menentukan, yaitu hak-hak asasi manusia. Di dalam hak-hak ini harkat manusia dipertaruhkan dan sekaligus menjadi fokus. “Bukan manusia untuk pembangunan, melainkan pembangunan untuk manusia”, demikian slogan pada tahun-tahun ketika pembangunan nasional direncanakan. Maka pembangunan kita menjadi gagal. Banyak yang “tertinggal di landasan”.
Maka ketika krisis finansial melanda Indonesia yang dipicu oleh krisis uang Bath di Thailand pada tahun 1997, itulah permulaan kebangkitan civil society. Dengan dipelopori mahasiswa, rakyat menuntut perubahan. Ya, suatu perubahan mendasar. Ternyata manusia tidak hanya hidup dari roti saja, melainkan juga mendambakan kebebasan berpikir, berpendapat dan berserikat.
Singkat ceritera, Suharto jatuh. Rezim berubah. Cita-cita membangun masyarakat berkeadaban (civil society) ditempatkan pada fokus. Bagaimana mewujudkan civil society yang dicirikan oleh kedewasaan berpikir dan bertindak, taat kepada hukum yang berkeadilan, menghormati hak-hak asasi manusia, respek terhadap martabat manusia menjadi cita-cita. Kebebasan di mana-mana.
Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Suharto langsung mengumumkan kebebasan menyatakan pendapat dengan membebaskan penerbitan surat-surat kabar. Ia juga mengumumkan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik, yang di dalam era Orde Baru tidak pernah terpikirkan. Sebagai respons terhadap kebebasan ini, sekian ratus partai politik didirikan. Demokrasi dipraktikkan seluas-luasnya. Berbagai pemilu diselenggarakan, di samping pilkada-pilkada yang dilakukan di daerah-daerah. Rakyat merasa diperhitungkan. Rakyat merasa ikut menentukan. Bagus? Belum tentu.
Setelah lima belas tahun reformasi kita menemukan berbagai hal yang kelihatannya tidak lagi mengemban amanat reformasi. Masyarakat berkeadaban? Tunggu dulu. Salah satu sifat masyarakat berkeadaban adalah kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Yang terjadi sekarang adalah, sifat kenakan-kanakan kita yang masih dipraktikkan secara luas.
Hal itu secara sangat jelas terungkap dalam pemakaian kekerasan. Kita misalnya merasa sangat tersinggung apabila “agama” (atau lebih tepat interpretasi terhadap agama) kita dikritik, tetapi sama sekali tidak merasa tersinggung ketika para TKW kita diperkosa di negeri-negeri jiran. Kita masih belum dewasa dalam berbagai tindakan kita. Ekonomi maju? Bisa jadi. Pemerintah mengklaim kemajuan ekonomi secara makro. Konon, bahkan pertumbuhan 6,2% per tahun, suatu angka yang sangat mencengangkan apabila dibanding dengan pertumbuhan ekonomi di Eropa yang sekarang ini sedang dilanda krisis.
Namun resonansinya di aras bawah (akar rumput) hampir tidak terasa. Sarana-sarana pendidikan dan kesehatan misalnya masih tetap sulit dinikmati oleh rakyat kebanyakan. UUD 1945 pasal 33? Tunggu dulu. Benarkah kita berada dalam track yang benar di sini? Bukankah ekonomi (neo)-liberal menjadi juruselamat baru kita sekarang? Kalau dulu dikenal adagium, extra ecclesiam nulla salus, sekarang telah diganti dengan extra mercatum nulla salus, di luar pasar (bebas) tidak ada keselamatan.
Kita mengandalkan kemajuan pasar bagi kelanjutkan kehidupan kita. Maka amanat pasal 33 UUD 1945 dengan sengaja diinjak-injak oleh para pemimpin bangsa kita, sehingga dalam pertandingan yang tidak seimbang ini rakyat selalu berada di pihak yang kalah. Itulah sebabnya rakyat merindukan figur pemimpin seperti Jokowi, bukan karena dia terlalu hebat dan pintar dibandingkan dengan para pemimpin yang lain, melainkan karena keberpihakannya yang sangat jelas kepada rakyat. Ketika ia menolak membangun mall di Solo dengan mengabaikan perintah Gubernur Jawa Tengah, dan berkeras membangun pasar tradisional, maka yang dilawannya adalah seluruh sistem ekonomi pasar bebas yang selalu meminggirkan rakyat.
Bagaimana di bidang demokrasi? Boleh-boleh saja kita memuji diri sendiri. Kita telah mempraktikkan demokrasi melalui pemilu dan sebagainya. Bahkan kita disebut negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Tentu saja hal ini tidak bisa dibantah ditinjau dari segi jumlah. Tetapi benarkah kita telah benar-benar memahami, menghayati dan kemudian mempraktikkan substansi demokrasi? Ternyata tidak. Kita masih berada di tataran demokrasi prosedural. Artinya, demokrasi kita hanya mengandalkan suara terbanyak, tanpa ideologi yang jelas.
Itulah sebabnya, ketika sekian banyak partai politik terbentuk, kita tidak merasakan apa-apa perubahan, bahkan keruwetan, sebab partai-partai tersebut hanya menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan sebagai jalan untuk membawa bangsa ini makin sejahtera dan makin adil. Orang juga dengan mudah berpindah-pindah partai, sebab hampir semua partai tidak mempunyai ideologi. Yang ada di depan mereka hanyalah sebuah kebutuhan praktis dan pragmatis belaka. (Bersambung)
Penulis adalah Ketua Umum PGI, 2009 – 2014
Editor: Trisno S. Sutanto
OpenAI Luncurkan Model Terbaru o3
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Dalam rangkaian pengumuman 12 hari OpenAI, perusahaan teknologi kecerdasan...