LIPI: Reformasi TNI Belum Menyeluruh
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, menilai reformasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sekarang disebut Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan politik pada 21 Mei 1998, yakni lengsernya presiden Soeharto.
Reformasi itu, yang diawali Juni 1998, kata Ikrar, dilakukan melalui empat paradigma baru. Pertama tidak lagi menduduki tetapi ingin mempengaruhi. Kedua, tidak lagi mempengaruhi secara langsung tetapi secara tidak langsung. Ketiga tidak lagi mempengaruhi dari depan, melainkan dari belakang. Keempat, TNI siap menjalankan role sharing dengan kalangan sipil.
Jika disimak lebih dalam, kata Ikrar ketika berbicara dalam diskusi bertema Quo Vadis Reformasi TNI di Ruang Rapat Lantai 2 Komnas HAM Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, hari ini (5/10), reformasi saat itu masih "setengah hati" karena belum pastinya arah politik Indonesia ke depan.
Menurutnya reformasi yang dijalankan pada tahun 1998-2004 berlangsung saat "besi masih panas" sehingga mudah dibentuk sesuai dengan politik saat ini.
"Reformasi internal TNI diawali dengan pembuatan aturan perundang-undangan yang menempatkan TNI yang tunduk pada supremasi politik pemerintah sipil yang dipilih secara demokratis dan mencegah TNI berpolitik praktis kembali," kata Ikrar.
"Bermula dari dikeluarkannya TAP/MPR-RI/VI/2000 era Presiden Abdurrahman Wahid yang memisahkan TNI dan Polri, disusul dengan TAP/MPR-RI/VII/2000 tentang peran dan fungsi TNI dan Polri, kemudian lahirlah Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang –Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Keamanan Negera, dan Undang -Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI," dia menambahkan.
Ikrar mengatapan upaya untuk membuat KUHP militer sejak tahun 2002 belum berhasil. Namun ia menambahkan, dalam perkembangan selanjutnya, TNI mulai membiasakan diri bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi.
Kendati demikian, Ikrar melihat politisasi tentara baik pada tingkatan pusat atau pun daerah masih terus terjadi.
"Benturan antara aparat TNI dan Polri di daerah juga terus terjadi," kata dia.
Hal ini, kata Ikrar, menunjukkan bahwa reformasi kultural di dalam TNI, belum terjadi secara menyeluruh.
"Tindakan oknum-oknum TNI yang melanggar hak-hak asasi manusia juga terjadi khususnya dan telebih lagi di daerah yang masih dikategorikan daerah konflik, seperti di Aceh dan terutama di Papua," kata dia.
Menurut Ikrar, hal ihwal mengenai Pancasila dan HAM perlu diajarkan bukan saja pada tingkat pendidikan Perwira, Akademi Militer, Sesko-Sesko Angkatan, Sesko TNI, dan Lemhanas, melainkan juga pada tingkat Tamtama dan Bintara yang langsung berhadapan dengan masyarakat di lapangan.
"Budaya kekuasaan yang lepas dari jerat hukum tampaknya masih ada di kalangan oknum TNI yang jauh dari kontrol militer pusat," kata dia.
Menurut Ikrar, TNI harus dekat dan dicintai rakyat sebagai wujud dari manunggalnya TNI dan rakyat untuk tegaknya NKRI dan keselamatan warga negara.
"Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM telah mejauhkan TNI dari rakyat Indonesia dan menimbulkan trauma mendalam di daerah-daerah konflik," kata dia.
"Reformasi TNI memang harus terus berlanjut, bukan saja pada pembuatan peraturan perundang-undangan, melainkan juga pada rfeformasi struktural dan terlebih lagi reformasi kultural," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...