Lobi Tembakau Mengganggu Kebijakan Anti-Rokok
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM - Kebijakan pengendalian tembakau dan peringatan terhadap bahaya merokok sudah meningkat empat kali lipat di seluruh dunia selama dekade terakhir, menyelamatkan jutaan nyawa, demikian menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam sebuah laporan mengenai epidemi tembakau global yang dipublikasikan pada hari Rabu (19/7), badan PBB tersebut mengatakan bahwa tembakau adalah penyebab utama kematian yang sebetulnya dapat dicegah di dunia, menewaskan 7 juta orang setiap tahunnya.
"Itu setara dengan membunuh seluruh populasi Bulgaria atau Paraguay setiap tahunnya. Hal ini tidak dapat diterima," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada peluncuran laporan tersebut di New York. Jumlah korban akibat merokok itu termasuk 890.000 orang yang meninggal setiap tahunnya akibat keterpaparan asap rokok (perokok pasif).
Dalam upaya menurunkan jumlah korban, negara-negara yang menyumbang 4,7 miliar orang, atau sekitar 63 persen dari populasi dunia, telah menerapkan setidaknya satu kebijakan anti-rokok yang direkomendasikan oleh WHO, seperti larangan iklan, kenaikan pajak, gambar peringatan kesehatan di kemasan dan undang-undang anti-rokok.
Setiap kebijakan di negara-negara itu merupakan "peningkatan dramatis dalam kebijakan pengendalian tembakau yang menyelamatkan nyawa dalam satu dekade terakhir," kata laporan tersebut, mengingat bahwa pada tahun 2007 hanya 15 persen populasi dunia yang tercakup.
Namun, WHO menunjukkan bahwa perusahaan rokok terus berusaha mempengaruhi kebijakan kesehatan di setiap negara sehingga menimbulkan masalah pertembakauan menjadi rumit.
Laporan tersebut menuduh raksasa tembakau menggunakan taktik licik seperti "membesar-besarkan pentingnya industri tembakau, mendiskreditkan bukti-bukti ilmiah tentang bahaya rokok dan menggunakan proses pengadilan untuk mengintimidasi pemerintah."
Dikatakan bahwa gangguan tersebut menjadi penghambat perkembangan kebijakan kesehatan di banyak negara, seperti penerapan area publik bebas rokok atau penyeragaman kemasan untuk setiap merk. Laporan ini juga memperingatkan pada pemerintah yang memiliki saham di perusahaan rokok milik negara agar mengambil langkah-langkah untuk lebih melindungi kebijakan kesehatan dibanding kepentingan komersial. Salah satu contohnya adalah Jepang, dimana pemerintah memiliki saham di Japan Tobacco Inc.
"Saya pikir dalam situasi khusus ini mungkin ada konflik kepentingan antara pendapatan ekonomi dari sebuah industri dan kesehatan masyarakat," kata Kerstin Schotte, seorang pejabat WHO, kepada wartawan di New York.
Kemajuan Signifikan
Laporan juga menunjukkan adanya kemajuan signifikan dimana hampir 50 persen populasi global di 78 negara sudah terkena peringatan grafis kuat di bungkus rokok, walaupun baru 15 persen saja negara-negara yang menerapkan larangan iklan dan promosi, kata laporan tersebut. Laporan menambahkan bahwa bentuk pengendalian tembakau yang paling efektif adalah dengan menaikkan harga jual rokok, tetapi cara ini malah yang paling jarang digunakan di seluruh dunia.
Pada peluncuran laporan tersebut, direktur pencegahan penyakit nonkomunik WHO Dr Douglas Bettcher mengatakan dalam beberapa tahun terakhir negara-negara berkembang sudah membuat kemajuan signifikan dalam pencantuman peringatan di bungkus rokok dan larangan merokok di tempat kerja.
Dia juga memuji upaya di Inggris, Norwegia, Australia, dan Selandia Baru, namun menunjukkan bahwa Jerman menjadi salah satu dari hanya dua negara Uni Eropa yang tidak menerapkan larangan iklan secara menyeluruh. (dw.de)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Uji Coba Rudal Jarak Jauh Korea Utara Tanda Peningkatan Pote...
SEOUL, SATUHARAPAN.COM-Korea Utara menguji coba rudal balistik antar benua (ICBM) untuk pertama kali...