Luhut Pandjaitan Sebut Jokowi dan Trump Memiliki Kesamaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wapres Jusuf Kalla pernah menyebut dunia akan susah jika Donald Trump menjadi presiden AS. Kini Indonesia tampaknya berusaha mengubah pandangannya terhadap Trump ke arah yang lebih positif.
Hal itu tampak dari sebuah tulisan opini Menko Maritim, Luhut B. Pandjaitan, yang dimuat oleh The Straits Times, hari ini (18/01). Nyaris seluruh isi tulisan merupakan pujian kepada Donald Trump. Termasuk di dalamnya adalah ungkapan yang mengatakan bahwa Trump dan Jokowi memiliki kesamaan, yakni pemimpin yang ditunggu-tunggu rakyat untuk membawa perubahan signifikan.
"Presiden Trump bukan penghancur, bertentangan dengan persepsi umum yang melakukan unjuk rasa dan kerusuhan atas kemenangannya yang mengejutkan, mungkin karena keterus-terangan karismatiknya sebagai orang luar politik. Sebaliknya, ia adalah pembangun - secara harfiah di real estate, dan metaforis dalam dunia bisnis yang lebih luas," tulis Luhut.
Luhut mengatakan Trump adalah seorang pragmatis yang cenderung mengadopsi pendekatan non-ideologis dan non-konfrontatif dalam dunia politik yang beragam. Misalnya, kata Luhut, Trump bisa saja melihat Tiongkok sebagai ancaman bagi lapangan kerja Amerika, yang telah menjadi tema yang menonjol dari kampanye pemilihannya. Namun, kata Trump, dia tidak mungkin mengkstrapolasi narasi ancaman untuk berpendapat bahwa sistem Leninis Tiongkok harus dibongkar sehingga demokrasi di Tiongkok harus sama dengan di negara-negara lainnya.
Ia juga menilai Trump tidak akan pernah mempertimbangkan warna kulit dalam mengambil keputusan politik. Sebagai orang bisnis, menurut Luhut, yang penting adalah membicarakan permasalahan dan membuat kesepatan.
Tiga Isu dalam Hubungan AS-Indonesia
Terkait dengan hubungan Indonesia - AS di bawah pemerintahan Trump, Luhut mengatakan bisa dilihat dari tiga isu.
Pertama, ideologi. "Jika Trump bisa membuat kesepakatan dengan Tiongkok dan Rusia, tentu dia juga dapat melakukannya dengan Indonesia," kata Luhut memberikan perbandingan.
Indonesia, kata Luhut, adalah negara demokrasi yang berfungsi, di mana kedaulatan kekuasaan lama yang otokratis tunggal beralih kepada banyak pemain politik, yang secara sah bersaing untuk mendapatkannya.
"Perubahan ini telah membantu memperkuat dan tidak menjatuhkan kepresidenan di Indonesia ,karena kredibilitas yang diperoleh hanya dengan mandat yang bebas dan populer lah seseorang dapat naik ke puncak karier politik suatu negara."
Menurut Luhut, Jokowi telah mewujudkan transisi demokratis tersebut.
Menurut Luhut, Trump dan Jokowi memiliki kesamaan dalam hal mewujudkan keinginan rakyatnya. "Seperti Trump, Jokowi adalah produk dari terwujudnya harapan akan pemimpin yang bisa membawa perubahan substantif. Tidak peduli apakah pemimpin seperti itu disebut "populis": Kata itu adalah istilah yang digunakan oleh kaum intelektual liberal untuk menggambarkan orang-orang yang telah memiliki keberanian untuk naik ke kekuasaan.....Intinya adalah bahwa kedua presiden dapat berbicara satu sama lain seperti masyarakat mereka - dalam kesetaraan yang demokratis."
Menurut Luhut, perbedaan Trump dan pendahulunya adalah, Trump enggan terikat pada ideologi demokrasi tertentu sehingga membuat dia mengakui bahwa tidak ada dua negara mengikuti jalan yang sama menuju demokrasi. "Tujuan adalah sama, tapi jalan tidak," tulis Luhut.
Dengan demikian, kata Luhut, Trump akan lebih mungkin dibandingkan pendahulunya untuk membuat dorongan bagi kekhasan perjalanan demokrasi Indonesia, termasuk berperan mendukung peran yang dimainkan oleh TNI.
"Militer di Indonesia saat ini tidak menjaga negara agar aman dari demokrasi, melainkan menjaga negara demi demokrasi. Mandat itu juga yang diemban oleh militer Amerika," kata dia.
Isu kedua, menurut Luhut adalah terkait dengan ekonomi. Menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mengancam Amerika. Yang lebih tepat, menurut dia, adalah melengkapi prospek Amerika.
"Liberalisme ekonomi Indonesia adalah menciptakan pasar baru untuk produk dan jasa Amerika. Ekspor utama AS ke Indonesia mencerminkan kekuatan ekonomi Amerika, termasuk pesawat dan mesin. Ekspor Indonesia ke AS - seperti tekstil, karet, mesin listrik dan alas kaki - hampir tidak menimbulkan tantangan untuk garda depan perekonomian Amerika."
Isu ketiga, kata dia, adalah peran Islam internasional. Indonesia, menurut Luhut, adalah rumah bagi jumlah terbesar dari umat Islam di bumi. Hal ini juga menjadi target serangan teror yang dilakukan oleh individu sesat atas nama Islam.
Menggabungkan dua fakta ini, dan realitas situasi agama menjadi jelas.
"Sementara pusat sejarah Islam terletak di Timur Tengah, pusat demografis dari gravitasi terletak di Indonesia. Mengingat bahwa para pentolan ISIS yang kalah akan kembali ke negara asal mereka, adalah kepentingan AS untuk memastikan bahwa Indonesia tidak menjadi tempat pementasan baru serangan oleh militan ISIS. Indonesia tidak bisa diabaikan."
Indonesia, oleh karena itu, menurut Luhut, termasuk krusial dalam geografi baru kekuasaan AS di bawah pemerintahan Trump.
Tentu saja, lanjut Luhut, kartografi Asia juga ditentukan oleh bangkitnya kekuatan Tiongkok dan India. "Indonesia meyakini dunia ini cukup besar untuk menampung kekuatan ini bersama-sama. Sebagai kekuatan yang lebih besar di ASia Tenggara berdasarkan ukuran geografis, demografi dan ekonomi, Indonesia tidak ingin memilih salah satu sisi negara manapun terhadap yang lain. Apa yang menjadi keinginan sungguh-sungguh adalah tatanan dunia di mana negara-negara lain menghormati kebijakan luar negeri yang bebas dan merdeka.
"Dengan tulus secara pribadi harapan saya adalah pemerintahan Trump akan melihat Indonesia dalam cahaya baru yang sama dengan yang mereka harapkan terlihat di AS.
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...