Lukisan Arang dalam "Dodombleng Anak Celeng"
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ingatan masa kecil pada dunia dolanan anak serta kegelisahan atas kondisi bangsa setiap menjelang ajang pesta demokrasi yang kerap membuat keresahan masyarakat bawah akibat intrik-intrik politisi yang hanya mengejar dukungan dan kekuasaan. Merefleksikan keresahan itu perupa kelahiran Ngawi, Jawa Timur, Budiyono 'Kampret' menggelar pameran seni bertajuk "Dodombleng Anak Celeng" di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY).
Sebanyak delapan lukisan dengan material utama arang di atas kanvas ukuran besar dipamerkan bersama lima karya instalasi dengan medium yang hampir sama.
Acara yang dibuka pada Selasa (3/4) malam diawali dengan perform beberapa dolanan anak. Pegrafis Aliem Bakhtiar mengawali dengan pembacaan dongeng anak dilanjutkan dengan penampilan tari Sitheng oleh mahasiswa ISI Surakarta. Musisi perkusi Denny Dumbo berkolaborasi dengan seniman peran Feri L Prawiro menampilkan perform musikalisasi sastra-dolanan anak. Denny membuat eksperimen dengan pipa PVC 4-inch sebagai sumber bunyi perkusi melengkapi rebana dan bass drum, sementara Feri merekonstruksi mainan ayam jago yang dijebak kepalanya dengan umpan makanan dalam sebuah conthong daun pisang. Saat umpan dimakan ayam, pada saat itu pula kepala ayam yang tertutupi conthong daun pisang akan menghalangi pandangan ayam sehingga membuat kepanikan dengan arah gerak tanpa arah. Bagi anak-anak yang tumbuh pada tahun 1980-an, mainan anak jago adalah kegembiraan lain tanpa harus mencederai hewan peliharaan.
Dalam sambutan pengantar, seniman peran Bramantyo Prijosusilo memberikan gambaran bagaimana kerja kesenian-kebudayaan dengan meminjam istilah Presiden RI keempat KH Abdurahman Wahid adalah jangka panjang dan harus ikhlas sehingga perlu strategi untuk menjaga energi sepanjang kerja kebudayaan yang dijalaninya.
"Kita sering melihat, seniman-perupa yang di usia muda dengan (energi) meledak karyanya bahkan bisa terjual mahal namun tiba-tiba mengalami drop dalam proses kreatif dan tidak laku di pasar. Biasanya terjadi pada seniman-perupa yang akar (tradisi)nya tidak kuat, pemilihan material tidak tepat, dan pemilihan tekniknya kerap mengambil teknik yang pada akhirnya masuk ke jalan kebuntuan (kreativitas)." jelas Bramantyo dalam pembukaan pameran, Selasa (3/4) malam.
Dalam berkarya seni, sejauh ini Budiyono Kampret relatif konsisten menggunakan material berbagai arang di atas bermacam-macam medium karya. Pilihan tersebut memunculkan kreativitas eksperimen dalam menghasilkan arang sendiri untuk kebutuhan karya seninya.
"Tingkat kekerasan dan kehitaman arang berbeda-beda tergantung jenis kayunya. Selama ini saya sering menggunakan arang dari kayu talok (Muntingia calabura) dengan tingkat kehitaman yang pekat namun mudah menempel ke permukaan medium karya dengan kuat. Ini memudahkan untuk penumpukan dengan warna arang dari jenis lain yang lebih muda." jelas Kampret kepada satuharapan.com di sela-sela pembukaan pameran.
Selain arang kayu Talok, arang kayu Akasia (jenis Acacia mangium atau jenis Acacia auriculiformis) adalah jenis arang yang sering digunakan Kampret dalam karyanya.
Untuk menghasilkan warna arang bergradasi Kampret memanfaatkan kayu Kluwih (Artocarpus camansi) dan batang tanaman Kamboja (Plumeria spp), dari arang kayu Jati (Tectona grandis). Arang kayu Talok mirip dengan arang kayu Jati yang masih muda yang menghasilkan rona warna coklat kehitaman. Untuk tingkat kekerasan arang yang soft, Kampret memanfaatkan arang dari jenis tanaman berakar serabut seperti palem, Kelapa (Coconut nucifera), tebu (Saccharum officinarum) yang kerap digunakannya untuk memberikan efek warna pada karyanya.
Ingatan kehidupan perdesaan masa kecil dan dinamika kehidupan saat ini terekam dalam pemilihan judul karya Kampret yang menggunakan singkatan kata bahasa Jawa (jarwo dhosok) maupun plesetan yang sering digunakan seperti "Wilukarcuk- Nyewiwi, Njalu-Nyakar-Nyucuk", "My Darling - Tiwas Modar Ora Eling", "Ladrang Kanthil #1-3", ataupun lima karya instalasi berjudul "Eling lan Waspada #1-#5".
Bulan Desember tahun lalu karya-karya Budiyono Kampret dengan material arang di atas kanvas digunakan dalam prosesi Upacara Kebo Ketan2017 yang melengkapi display instalasi bambu di Sendang Margo, sepanjang jalan kirab Kebo Ketan, sekitar lapangan Desa Sekar PutihWidodaren-Ngawi, serta kandang Kebo Ketan.
Pameran tunggal "Dodombleng Anak Celeng" akan berlangsung sampai tanggal 9 April 2018 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.
Diluar karya yang dipamerkan Kampret, menarik menyaksikan pementasan koreografi Sitheng saat pembukaan pameran yang ditampilkan oleh enam penari tanpa iringan musik, sementara puisi Feri berjudul "Malu Ku Malu" menukik pada realitas yang akhir-akhir ini kerap dialami masyarakat bangsa ini: berebut klaim kebenaran dan kuasa firman Tuhan.
Tuhan... Aku malu melihatnya. Melihat saudara-saudaraku sering menikam menggunakan firman-Mu.
Tuhan... aku malu merasainya. Melihat sahabat-sahabatku saling bunuh lantaran seteru kesalihan.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...