Mahfud MD Usulkan Budaya Jadi Panglima Dasar Negara
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Sistem demokrasi, hingga hari ini, masih dipakai sebagai cara untuk menentukan masa depan Indonesia. Sistem ini memang bukan sesuatu yang sempurna, namun dianggap masih merupakan sistem yang terbaik. Pasalnya, jika menilik salah satu dari sisi kelemahannya, berlakunya sistem demokrasi juga tidak menjamin lahirnya hukum yang baik.
Pernyataan di atas menjadi salah satu paparan Sri Sultan Hamengku Buwono X (HB X) dalam diskusi buku karya Radhar Panca Dahana bertema “Kebudayaan dalam Politik: Kritik Terhadap Demokrasi”. Selain Sri Sultan HB X, acara yang dihelat pada Jum’at (18/9) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Harjosoemantri (PKKH), Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta ini menampilkan dua pembicara, yaitu Prof. Mahfud MD dan Radhar Panca Dahana.
Jika dirunut, patologi yang masih terdapat dalam sistem demokrasi, salah satunya disebabkan oleh budaya yang menjadi tradisi dalam dunia politik di Indonesia. Menurut Sri Sultan HB X, sebagian orang memahami bahwa budaya telah selesai berkembang, sehingga penyimpangan yang sering muncul dalam budaya politik, dianggap hanya merupakan penyimpangan budaya terhadap nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa Indonesia.
“Ada sistem nilai yang telah selesai dan baku, yaitu yang disebutkan dan telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia. Jadi kalau ada penyimpangan dalam budaya politik, itu hanyalah penyimpangan budaya terhadap nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa Indonesia. Dalam pemikiran tersebut, dibedakan dan bahkan dipisahkan dengan jelas, tingkah laku pendukung suatu kebudayaan, dari nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan yang dianggapkan baku, selesai sempurna, dan tak tersentuh lagi oleh pengaruh tingkah laku budaya dalam kehidupan nyata. Menurut pendapat saya, sesungguhnya budaya tidak ada yang bersifat statis dan homogen,” jelas Sri Sultan HB X.
Menyoal budaya dalam politik dan demokrasi, Prof. Mahfud MD mengajukan tawaran untuk menjadikan budaya sebagai panglima dasar negara. Pasalnya, menilik buku yang ditulis oleh Radhar Panca Dahana, demokrasi yang berkembang dewasa ini telah bersifat liar, menang-menangan, sangat lemah dengan pendekatan kultural kemaritiman, dan lebih mendekat kepada budaya kontinen.
“Ke depan, kita ingin budaya menjadi panglima dalam dasar negara. Kita pernah menempatkan politik dan ekonomi sebagai panglima, tapi kemudian keduanya jatuh juga,” kata Mahfud.
Pendekatan kultural dengan menjadikan budaya sebagai panglima tampaknya cukup tepat mengingat semakin carut-marutnya kondisi demokrasi di Indonesia. Budaya kontinen yang dimaknai sebagai suatu budaya yang ingin menang sendiri hingga akhirnya berujung dengan meniadakan lawan, seharusnya mulai bergeser ke budaya maritim yang lebih egaliter.
“Dalam budaya maritim terdapat sifat egaliter, yaitu sifat akseptasi terhadap budaya, perbedaan menjadi bagian dari kita. Akseptasi ini sudah hilang dari kita, sehingga melahirkan demokrasi yang garang. Akibatnya, pergeseran dari budaya maritim ke kontinen menghasilkan budaya yang carut-marut,” papar Mahfud.
Nilai akseptasi yang terkandung dalam demokrasi maritim ini dimaknai oleh Radhar Panca Dahana sebagai cara untuk mencapai puncak kemanusiaan. Radhar memaknai bahwa puncak kemanusiaan dapat tercapai ketika seorang manusia tidak lagi mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada di sekitarnya.
“Kunci untuk mencapai puncak kemanusiaan sebagaimana cita-cita demokrasi maritim itu adalah anda menjadi individu Papua, Sunda, Bugis, Jawa, atau yang lainnya dengan sebaik-baiknya. Caranya tidak hanya mau membuka diri, tetapi juga mau menerima perbedaan sebagai bagian dari diri sendiri,” ungkap Radhar.
Diskusi buku karya Radhar Panca Dahana kali ini menjadi satu dari serangkaian diskusi yang akan terus dilakukan selama 2 hari ke depan. Diskusi yang diprakarsai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang bekerjasa sama dengan Federasi Teater Indonesia dan Bale Sastra Indonesia ini merupakan format baru dalam mengkampanyekan 4 pilar kebaangsaan, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...