Main Film Adaptasi, Oka Kesulitan Menemui Ekspektasi Pembaca
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dunia perfilman selama ini memang tak lepas dari adaptasi karya tulis seorang sastrawan. Film Hollywood seperti Harry Potter dan The Lord of The Rings adalah contoh dua film adaptasi yang sukses menarik jutaan penonton di seluruh dunia.
Sementara di Indonesia, film adaptasi seperti Cintaku di Kampus Biru (1976), Gie (2005), Ayat-ayat Cinta (2008), Sang Penari (2011), dan Perahu Kertas (2012) juga sukses membawa penonton ke bioskop, bahkan telah membentuk stereotip para sineas.
Aktor Nyoman Oka Wisnupadha Antara atau dikenal Oka Antara yang menjadi pemeran utama dalam film Sang Penari, adaptasi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (sastrawan angkatan 1970-an), mengaku hal tersulit dalam memainkan film adaptasi adalah menemui ekspektasi pembaca.
“Meskipun pada akhirnya kita tahu kalau pembaca dan penonton itu dua massa yang berbeda. Saya sendiri awalnya terbebani, tapi ketika menjalani proses ya dilepaskan dan dijalani saja,” kata Oka kepada satuharapan.com di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada Selasa (13/1).
Sebelum memerankan tokoh Rasus dalam film gubahan sutradara Ifa Isfansyah tersebut, Oka sempat menjalin diskusi intensif bersama Tohari.
“Yang saya tanyakan pada Pak Tohari adalah bagaimana Rasus bisa bertahan pada masa berdarah-darah itu,” kata Oka.
Untuk mendalami karakter Rasus, Oka juga berusaha mencari apa kesamaannya dengan tokoh tersebut untuk menemukan koneksi.
Tohari dalam dialognya bersama Oka menceritakan inspirasinya melahirkan karya yang diangkat dari kacamata sosial pada masa komunis.
“Jadi saya rasa pemain yang mau main film dari adaptasi novel itu penting untuk bertemu dengan penulisnya. Pasti penulisnya akan cerita banyak karena itu yang Pak Tohari lakukan. Seolah-olah penulis sedang mengeluarkan semua halaman-halamannya di dalam percakapan itu,” ujar Oka yang juga bermain dalam film The Raid 2.
Pendalaman Karakter
Bermain untuk film dan bermain untuk sinetron atau film televisi (FTV) diakui Oka memiliki perlakuan yang cukup berbeda.
“Kalau bermain film diberi waktu untuk reading, ada workshop, ada pendalaman karakter, pengenalan antarpemain. Tak se-instan sineton atau Film Televisi (FTV),” Oka menjelaskan.
Treatment pra-produksi film ini menurut Oka sangat berguna untuk mendalami karakter tokoh yang akan diperankannya.
“Cara pendalaman karakter untuk saya pribadi baca skenarionya, telaah sendiri, kalau ada kebingungan dikonsultasikan ke sutradara, yang penting saya mencoba meresapkan dan merasakan apa yang tokoh dalam skenario itu rasakan,” ujar dia.
Sementara ketika ditanya soal kondisi perfilman Indonesia saat ini, Oka mengaku sineas Indonesia ini kurang banyak menghadirkan variasi film.
“Terlalu stereotip. Indonesia ini terlalu banyak menghadirkan film drama dan film biopik,” katanya.
Sang Penari
Film Sang Penari yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk mengisahkan cinta tragis yang terjadi di Jawa Tengah pada 1960-an. Rasus (Oka Antara) adalah seorang tentara dari Dukuh Paruk, sebuah desa miskin di daerah Banyumas.
Awal cerita terjadi ketika Rasus kembali dan menyusuri Dukuh Paruk, dan bertemu dengan Sakum (Hendro Djarot), seorang tunanetra yang memintanya untuk mencari perempuan bernama Srintil. Cerita kemudian berkilas-balik ke Dukuh Paruk dan hubungan cinta antara Rasus dan Srintil.
Dukuh Paruk sempat mengalami masa kelam pada 1953. Santayib, pembuat tempe bongkrèk Dukuh Paruk, tak sengaja menjual tempe bongkrèk beracun, yang membunuh banyak warga, termasuk Surti (Happy Salma), ronggeng Dukuh Paruk. Penduduk dusun mulai panik dan rusuh, dan dalam kerusuhan tersebut, Santayib dan istrinya melakukan bunuh diri dengan mengonsumsi tempe beracun buatan mereka. Putri dari Santayip, Srintil, selamat dan dibesarkan oleh kakeknya Sakarya (Landung Simatupang). Sejak insiden itu, Dukuh Paruk seperti kehilangan kehidupannya, tidak ada musik mengalun dan penari ronggeng lagi di dukuh tersebut.
Sepuluh tahun kemudian pada 1963, Srintil (Prisia Nasution) menjadi ronggeng. Suatu hari Sakarya mendapat pertanda bahwa Srintil akan menjadi ronggeng besar dan mampu menyelamatkan Dukuh Paruk dari kelaparan. Dia kemudian meyakinkan Srintil untuk menjadi ronggeng dan meminta Kertareja (Slamet Rahardjo), dukun ronggeng Dukuh Paruk untuk menjadikan Srintil seorang ronggeng.
Srintil percaya dengan menjadi ronggeng, dia bisa membayar dosa kedua orang tuanya dalam insiden tragis sepuluh tahun lalu. Dia kemudian mencoba untuk membuktikan dirinya dengan menari di makam Ki Secamenggala, pendiri Dukuh Paruk. Walaupun gagal meyakinkan Kartareja pada kali pertama, Rasus yang menaruh simpati pada tekad Srintil menolong Srintil dengan memberinya benda temuannya, sebuah pusaka ronggeng milik Surti, ronggeng Dukuh Paruk yang telah tiada.
Setelah melihat pusaka tersebut, Sakarya akhirnya berhasil meyakinkan Kartareja. Srintil kemudian dipermak dan dirias oleh Nyai Kartareja (Dewi Irawan) untuk menjadi seorang ronggeng. Sementara itu, seorang aktivis dan anggota Partai Komunis Indonesia, Bakar (Lukman Sardi) tiba di Dukuh Paruk dan meyakinkan petani Dukuh Paruk untuk bergabung dengan partai komunis.
Kepopuleran Srintil yang sampai ke Desa Dawuan, membuat Rasus, teman kecil sekaligus orang yang mencintainya, tidak senang dan nyaman. Menjadi ronggeng berarti bukan hanya dipilih warga dukuh untuk menari, namun juga untuk menjadi "milik bersama". Srintil harus melayani banyak lelaki di atas ranjang setelah menari. Setelah keberhasilan Srintil menari di makam Ki Secamenggala, Srintil harus menjalani ritual terakhir sebelum dia benar-benar bisa menjadi ronggeng yang disebut Bukak Klambu, di mana keperawanannya akan dijual kepada penawar tertinggi.
Hal ini mengecewakan Rasus, yang mengatakan pada Srintil bahwa dia tidak senang dengan keputusannya menjadi ronggeng. Srintil mengatakan bahwa dia akan memberikan keperawanannya kepada Rasus, dan pada hari Bukak Klambu mereka berhubungan seks di sebuah kandang kambing. Malam itu juga, Srintil berhubungan seks dengan dua "penawar tertinggi" lainnya dan menjadi ronggeng sejati.
Hancur hatinya, Rasus memutuskan untuk pergi dari Dukuh Paruk, meninggalkan Srintil yang patah hati. Dia kemudian bergabung dengan sebuah batalyon TNI yang bermarkas tak jauh dari Dukuh Paruk, di mana ia berteman dengan Sersan Binsar (Tio Pakusadewo) yang juga mengajarkan dia membaca. Sementara itu, warga Dukuh Paruk yang dirundung kelaparan dan kemiskinan mulai merangkul komunisme walaupun tidak paham tentang politik. Sepeninggalan Rasus, grup kesenian ronggeng Dukuh Paruk makin berjaya, dan politik juga mulai menjadi kehidupan Dukuh Paruk. Grup kesenian ronggeng Dukuh Paruk yang termasuk Kartareja, Sakarya, Sakum dan Srintil mulai sering diminta partai komunis dalam acara kesenian rakyat agar bisa menarik massa.
Namun kemudian malapetaka politik terjadi di Jakarta tahun 1965, dan karena kebodohan mereka tentang politik, warga dukuh Paruk pun ikut terseret karena "keterlibatan" mereka dalam acara-acara kesenian rakyat tersebut. Setelah terjadinya percobaan kudeta yang gagal di Jakarta, Rasus dikirim oleh Sersan Binsar dalam misi untuk "mengamankan" orang-orang partai komunis di daerah. Namun, ketika giliran Dukuh Paruk tiba karena ikut terseret ke dalam pembantaian berdarah itu, Rasus bergegas kembali, meninggalkan rekan pasukannya ke kampung halamannya untuk mencari dan menyelamatkan cintanya, Srintil.
Cinta mereka harus menghadapi akhir yang tragis di tengah-tengah situasi tergelap dalam sejarah politik Indonesia. Rasus menemukan Dukuh Paruknya telah hancur dan warganya telah hilang seperti ditelan bumi, hanya menyisakan Sakum yang buta. Sakum meminta Rasus untuk secepatnya mencari Srintil, namun pencarian Rasus akhirnya sia-sia. Rasus tiba di sebuah kamp konsentrasi tersembunyi tepat pada saat Srintil dan warga Dukuh Paruk dibawa oleh kereta pengangkut dan menghilang entah ke mana.
Sepuluh tahun kemudian, Rasus berpapasan dengan seorang penari kumal yang mirip dengan Srintil dan seorang penabuh kendhang buta yang mirip dengan Sakum di Desa Dawuan. Rasus memberikan pusaka ronggeng Dukuh Paruk kepada penari tersebut, dan penari tersebut berlalu meninggalkannya. Rasus tersenyum, menandakan dia mengenali penari tersebut sebagai cintanya, Srintil. Film diakhiri dengan sang penari kumal dan si pemusik buta yang menari dan menghilang di cakrawala.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...