Main, Ketika Alie Gopal Berburu Kegembiraan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "Karya masterpiece tidak muncul secara tiba-tiba. Ia hanya tumbuh dari akar tradisi yang kuat dan terus digali." Kalimat tersebut dilontarkan Alie Gopal dalam obrolan ringan dengan satuharapan.com saat menyiapkan pameran Gesstok 2017 di Studio Kalahan, Jumat (29/9) tahun lalu.
Seniman-perupa kelahiran Bandung yang cukup produktif Alie Gopal, pada 15-22 Maret 2018 menggelar pameran tunggal bertajuk "Main" di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Pameran dibuka oleh dosen jurusan Seni Rupa ISI Yogyakarta yang telah purna tugas Subroto Sm, Kamis (15/3) malam di pelataran TBY, Jalan Sriwedani No.1 Yogyakarta.
Tercatat enam puluh delapan judul karya dua-tiga dimensi dalam berbagai ukuran dengan 2 karya panel lukisan wajah berukuran kertas A5 sebanyak lebih dari 200 karya serta 2 karya panel lukisan di atas serat (fiberglass) sebanyak 21 buah berukuran 60 cm x 60 cm.
Meskipun produktif berkarya menelusuri jejak karya Alie Gopal bukanlah hal yang mudah. Dalam sepuluh tahun sejak pameran terakhirnya di Museum Dan Tanah Liat (MDTL) Februari 2008 hampir-hampir karya Alie Gopal jarang ikut dipamerkan kecuali pameran-pameran bersama dengan karya ukuran kecilnya meskipun di rumahnya yang berada di Kampung Gampingan, Wirobrajan-Yogyakarta isi rumah hampir dipenuhi karya-karyanya, setidaknya karya sepuluh tahun terakhir.
Dalam sambutannya Subroto Sm menjelaskan bagaimana peran artisan membantu seniman dalam menghasilkan karya. Subroto Sm membagi tipikal artisan dalam tiga kategori artisan yang sedang nyantrik (belajar) pada gurunya seperti yang dilakukan oleh artisan di studionya perupa Dullah, artisan ahli misalnya arsitek, serta artisan yang secara intensif melakukan diskusi untuk membantu seniman menghasilkan karya dan tidak sekedar mengerjakan pesanan seniman. Pada kategori yang ketiga itulah Subroto Sm menempatkan Alie Gopal, diluar kesenimannya. Dengan peran artisan didalam seni rupa hari ini, Subroto Sm merasa perlu untuk mengangkat nama artisan di dalam sebuah karya.
"Saya minta kerelaan dari para seniman-perupa (sekiranya memanfaatkan jasa artisan) untuk menyebutkan identitas artisan dalam karyanya secara elegan (sehingga artisan tetap memiliki harga diri). Asas keadilan itu coba kita pertimbangkan, bagaimana orang-orang yang berada di belakang panggung seni rupa ikut diungkapkan." jelas Subroto Sm dalam sambutannya. Pencantuman itu tidak akan mengurangi nilai karya dan seniman itu sendiri.
Dalam perkembangan seni rupa kontemporer yang mencoba mengubah sudut pandang bahwa aliran-aliran didalam seni rupa menjadi tidak kontekstual, tidak harus memperjuangkan ciri khas sehingga originilatitas, keterbaruan, penggarapan hal-hal yang sudah lama menjadi tidak penting lagi.
Seturut dengan pengakuan keterlibatan artisan di tengah kontroversi yang sempat berkembang, masyarakat seni rupa mungkin diam-diam juga menerimanya dengan senang hati mengingat keberadaan artisan bisa membantu bahkan menguntungkan, namun di sisi lain ditolak secara mentah-mentah karena dianggap mencederai-mencurangi kemurnian praktik kerja seni itu sendiri. Meski begitu beberapa kalangan menganggap bahwa motivasi keterlibatan artisan menjadi hal yang bisa dibenarkan selagi terjadi kesepakatan antara seniman-artisan serta tidak ditutupi kehadirannya.
Senada dengan Subrooto Sm pegrafis Syahrizal Pahlevi menambahkan tentang peran Alie Gopal bagi rekan seniman-perupa adalah problem solver yang tidak sekedar membantu seniman dalam menyelesaikan karyanya namun juga kawan diskusi yang intens. Diskusi tersebut menjadi pembeda karena Alie Gopal dalam diskusi sekaligus menjadi penterjemah bagi seniman yang dibantu dalam menyiapkan karya-pamerannya.
"Di dalam seni grafis ada peran master printer ketika ada seniman saat membuat karya (grafis) mengalami kebuntuan teknik biasanya akan datang kepada master printer. Master printer yang baik tidak sekedar memberikan jawaban "OK" saja, namun dia akan menjadi teman diskusi yang baik. Master printer yang baik akan membantu memecahkan/menyelesaikan masalah bagi seniman dan pameran yang dibantu atau ditanganinya." jelas Pahlevi.
Diskusi Intensif, Retasan Jalan Bermain Bersama
"Sebelum menetap di Gampingan, banyak karya saya yang diminta teman-teman saat pindahan kontrakan. Saya orangnya "tidak bisaan". Selagi mereka mau merawat biasanya saya kasihkan begitu saja." kata Alie Gopal dalam perbincangan dengan satuharapan.com, Kamis (18/1).
Selain karya yang disimpan di rumah ibunya di Bandung, ketidakdisiplinan dalam mendokumentasi-arsipkan karya, Alie Gopal kerap kehilangan jejak karya-karya awalnya. Kepada satuharapan.com secara tersirat Alie Gopal menyampaikan pesan untuk seniman-perupa agar kembali menyusun dokumen-arsip karyanya secara lebih disiplin.
"Sekecil apapun karya seni dari seniman, sesungguhnya adalah warna dan turut mewarnai perjalanan seni rupa Indonesia. Ini hal penting yang kerap diabaikan oleh seniman-perupa." kata Alie Gopal
Totalitas membantu koleganya sebagai kawan "bermain" menjadi titik singgung penting perjalanan berkesenian Alie Gopal. Menjadi kawan "bermain" tidak serta merta membuatnya lupa bahwa sesungguhnya dirinya adalah seniman sehingga kehilangan kekritisan. Menjadi kawan "bermain" dilakukan secara total dalam membantu koleganya untuk mempersiapkan karya-pameran dalam diskusi yang intensif. Bisa jadi dia kehilangan waktu untuk berkarya, namun diakuinya justru dia mendapatkan banyak pengalaman-pelajaran untuk menghasilkan karya-karya baru.
"Saya tidak nyaman dibilang sebagai artisan. Saya memang kerap membantu teman-teman perupa dalam menyiapkan karya atau pamerannya. Namun saya tidak puas hanya sebatas mengerjakan. Setidaknya ada diskusi intensif agar karya seniman bersangkutan sesuai dengan ide artistik-estetiknya." kata Alie Gopal kepada satuharapan.com.
Membantu sesama koleganya apakah lantas membuat Alie Gopal menjadi tidak produktif? Jika ukurannya adalah karya yang terdisplay pada ruang pamer/galeri seni, bisa jadi selama sepuluh tahun terakhir Alie Gopal seolah mengalami dormansi berkarya. Dengan sharing ide, diskusi, terciptanya kebaruan karya seni melalui dialog komunikatif, Alie Gopal menemukan arena bermain dalam sepuluh tahun terakhir. "Arena bermain" inilah yang diakui Alie Gopal sebagai sebuah wilayah seni yang tidak bertepi. Setiap interpretasi, setiap apresiasi, setiap apapun yang berkaitan dengan seni memiliki bahasanya sendiri-sendiri. Dalam wilayah "bermain" tersebut terkandung nilai pembebasan, bahkan dari nilai kebaruan itu sendiri.
"Medium, teknik, aliran-aliran (isme) dalam seni kerap membelenggu kreativitas. Ada banyak hal yang bisa diaplikasikan dengan memanfaatkan benda-benda di sekitar kita menjadi karya seni. Medium-teknik bukanlah untuk sebuah penaklukan, namun sebagai sebuah respon dan pembacaan." jelas Alie Gopal.
Pertengahan tahun 1970-an muncul gerakan seni rupa baru diinisiasi oleh seniman-perupa diantaranya S. Prinka, Satyagraha, F.X. Harsono, Boyong Munni Ardhi, Jim Supangkat, dan masih banyak lagi seniman muda lainnya. Gerakan yang mencoba menentang hegemoni-monopoli seni oleh sekelompok seniman tersebut mencoba membebaskan dari kekangan pengaruh modern dari seniman senior mereka yang sekaligus juga pengajar mereka di kampusnya.
Tahun 1987 muncul kembali Manifesto Gerakan Seni Rupa Baru dalam bentuk pembebasan seni rupa sebagai ikhtiar mengubah definisi seni rupa yang dianggap terbelenggu pada seni lukis, seni patung, serta seni grafis. Seni rupa seolah terkungkung pada satu tata acuan "high art" sehingga menjadi sangat miskin dan spesifik sementara dalam realita terdapat berbagai gejala seni rupa dengan tata acuan lain. Dalam rentang waktu inilah Alie Gopal turut mewarnai dengan berbagai eksperimen-eksplorasi.
Wajah, Gambaran Masyarakat yang Bercerita
Membaca karya-karya Alie Gopal adalah membaca teks-konteks yang tidak melulu dalam posisi diametral sebuah permainan. Dalam posisi demikian Alie Gopal tidak "mencantolkan" pada satu isme tertentu untuk menjadi pembeda dengan yang lain, alih-alih justru mencoba membuka ruang pembebasan dalam berkarya seni tanpa harus dibebani oleh ruang-ruang tertentu bernama aliran (-isme).
Dengan begitu Alie Gopal terkesan menjauh dari konstelasi-kontestasi, hiruk-pikuk, sehingga untuk sekedar mencari jejak karyanya pun bukan perkara mudah. Apakah dengan demikian Alie Gopal justru sedang memasung karyanya dalam sebuah kotak pandora untuk suatu saat dibuka dengan memunculkan keriuhan baru? Bukankah itu sesungguhnya justru melawan sebuah semangat pembebasan itu sendiri? Alie Gopal tentu punya alasan tersendiri untuk bermain dalam wilayah ini. Setidaknya dengan membebaskan karya-karyanya tidak dalam tema tertentu, Alie tidak sedang membelenggu kreativitasnya dalam satu kejadian tertentu, gaya-aliran tertentu, pikiran tertentu, teknik-teknik tertentu, bahkan paling sederhana adalah medium tertentu.
Main-bermain menjadi pembacaan dalam ruang yang multi-arah dalam berbagai dialog, bahkan saat jauh dari keriuhan. Karena kesunyian itu sendiri adalah sebuah dialog yang multi perspektif. Main-bermain menjadi "ritual" serius yang dijalani Alie Gopal bahkan dalam ruang sunyi sekalipun dengan kesadaran melepaskan berbagai atribut yang mungkin dirasakannya sekadar pemanis dan artifisial.
Bagi Alie Gopal medium bukanlah sesuatu untuk ditaklukkan, namun untuk direspon ataupun dieksekusi menjadi sebuah karya. Tradisi eksplorasi menjadi mimpi Alie Gopal yang terus dijaga dalam semangat kesadaran dengan mencita-citakan seni rupa (serta disiplin seni lainnya) yang lebih hidup, tidak diragukan kehadirannya, wajar, berguna, dan hidup meluas di kalangan masyarakat. Setiap medium dalam karya-karya Alie Gopal adalah cerita lain dari bermain-mainnya.
Mengamati karya Alie Gopal adalah melihat permainan titik, garis, bentuk, maupun warna di dalam wajah. Rupa wajah dalam berbagai deformasi bentuk ditransformasikan Alie dalam berbagai dimensi dan medium. Ekspresi manusia melalui rupa wajah adalah ekspresi yang relatif natural. Ekspresi rupa wajah adalah reflektif bagi pemiliknya. Kesedihan, kemarahan, riang-gembira, duka, yang menyelimuti seseorang secara spontan akan terekam dalam rupa wajahnya.
Begitupun peran maupun teks-konteks yang sedang dijalani sesorang dalam bentuk kebohongan, kepalsuan, kejujuran, keculasan, dan ribuan perilaku lainnya akan mudah terekam dalam ekspresi wajahnya. Bahkan sehebat apapun seseorang mampu memainkan berbagai peran dalam panggung kehidupan nyata, adalah sulit menyembunyikan ekspresi naturalnya manakala ekspresi yang terpancar adalah refleksi atas berbagai kejadian yang sedang ataupun telah lewat dihadapinya. Di titik ini Alie Gopal menempatkan wajah sebagai gambaran masyarakat yang bercerita.
Dalam karya berjudul "Rahwana Diraja", menarik ketika Alie Gopal merekonstruksi peran antagonis Rahwana dalam bentuk kekinian yang berbeda: rupawan meskipun bertopengkan sepuluh muka. "Rahwana Diraja" menjelma menjadi sosok ksatria dengan beribu peran. Alie Gopal tentu punya cerita dan alasan sendiri.
Sementara dalam karya "Erupsi" pemahaman Alie Gopal terhadap berbagai medium mampu menghasilkan sebuah karya lukisan menarik: benang-benang di atas karung goni dan kanvas. Drama kehidupan dari sebuah proses erupsi gunung berapi dalam kontur karung goni terekam sebagai sebuah keindahan yang mematikan atau justru sebaliknya kematian yang indah (?), meskipun kematian itu sendiri punya dramanya sendiri-sendiri.
Dua karya berjudul "Mencari Nada" dan "Gejog Lesung" secara estetis-artistik permainan karya Alie Gopal pun dapat difungsikan sebagai sebuah sound-art dengan teknologi yang sederhana. Sebuah karya totem putih turut terpasang dan rencananya akan dieksekusi Alie Gopal secara bertahap selama pameran berlangsung.
Pameran seni rupa "Main" akan berlangsung hingga 22 Maret 2018 di ruang pamer TBY, Jalan Sriwedani No.1 Yogyakarta.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...