"Malang 1939" Telusuri Jejak Kota Malang
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dulu Malang mungkin hanya sebuah desa yang terus bertambah besar, begitu juga dengan penduduknya. Karena mempunyai wilayah yang subur dan beriklim sejuk, banyak penduduk sekitar Malang yang pindah ke sana. Selain itu, wilayah Malang adalah daerah yang aman dari ancaman gunung berapi yang ada di sekitarnya, sehingga menjadi tujuan untuk mengungsi jika ada bahaya gunung meletus.
Malang baru diperhitungkan oleh Pemerintah Belanda tahun 1892. Saat itu Malang masih dipimpin oleh seorang assistent resident dibantu oleh seorang controleur dan seorang regent. Malang menjadi semacam kabupaten bersama Sidoarjo, Blitar maupun Tulungagung dan masih dibawah kendali residen di Pasuruan.
Sebuah buku zaman Belanda berangka tahun 1939 berjudul Kroniek der Stadsgemeente Malang Over de Jaren 1914 -1939 menyebutkan awal mula pembangunan Kota Malang dibangun terencana melalui 8 tahapan (Bouwplanen). Dalam rencana pembangunan tersebut meliputi wilayah yang cukup luas. Pada awalnya tahun 1887 luasnya berkisar 500 hektar yang terkonsentrasi di sekitar alun-alun kota dan sedikit di sebelah utara Sungai Brantas.
Pada tahun 1914 luas kota sudah menjadi 1.500 Ha. Berkembang ke arah utara dan timur kota. Tahun 1934 luasnya berkembang menjadi 1.882 Ha yang berkembang ke arah barat dan segala penjuru kota.
Penduduk kota Malang tahun 1914 tercatat: pribumi 40.000, Eropa 2.500, serta bangsa Asia lainnya termasuk Cina dan Arab 4.000. Angka ini terus bertambah, pada tahun 1938 tercatat pribumi 79.886, Eropa 10.750, Cina 8.583, bangsa lain 1.116, dan total penduduknya 100.335 jiwa. Sejak awal pembagian wilayah untuk pemukiman sudah direncanakan, seperti orang-orang Eropa bermukim di sebelah barat daya dari alun-alun kota Malang yang meliputi wilayah Kayutangan, Oro-oro dowo, Celaket, Klojen, Lordan, dan Rampal.
Wilayah pemukiman Cina ada di Pecinan sebelah tenggara alun-alun kota, dan penduduk asli bermukim di selatan alun-alun meliputi Kampung Kebalen, Temenggungan, Jodipan, Talun, dan Klojen Lor, dan yang terakhir adalah para militer bermukim di barak Militer di Klojen (loji militer).
Pada masa Stadsgemeente atau masa pemerintahan kolonial Belanda, antara tahun 1887 sampai dengan 1939 di Malang, kota ini berkembang dari sebuah kota kecil sekelas kawedanan yang terus berubah menjadi kota besar di Jawa Timur.
Pada tanggal 31 Juli 1947 di Malang terjadi taktik bumi hangus yang dilaksanakan oleh tentara Belanda pada masa clash terhadap sebagian besar bangunan dan instalasi-instalasi militer, dengan cara dibakar, dibom dengan menggunakan sisa-sisa bom milik tentara Dai Nippon yang kalah. Belanda tidak rela bangunan-bangunan indah yang mereka bangun jatuh ke tangan Republik Indonesia, tidak kurang seribuan bangunan yang rusak dan terbakar di kota-kota Jawa Timur pada pendudukan Belanda waktu itu.
Buku yang banyak memuat foto-foto yang dibuat sekitar tahun 1930-an yang menggambarkan keindahan dan situasi kota Malang baik dari darat maupun dari udara yang difoto oleh Luchtfoto KNILM di-repro dan dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta dengan tajuk "Malang 1939" bisa digunakan untuk menelusuri jejak-jejak perkembangan kota Malang.
Pameran repro foto "Malang 1939" yang dibuka pada Jumat (7/7) malam oleh dosen arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Mahatmanto akan berlangsung sampai tanggal 16 Juli 2017 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No. 2 Yogyakarta.
Editor : Eben E. Siadari
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...