Mantan PM Sudan Kecam Normalisasi Hubungan dengan Israel
KHARTOUM, SATUHARAPAN.COM-Mantan Perdana Menteri Sudan, Sadiq Al-Mahdi, mengecam pengumuman Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bahwa Sudan akan mulai menormalisasi hubungan dengan Israel.
Al-Mahdi, yang merupakan perdana menteri terakhir yang terpilih secara demokratis dan memimpin partai politik terbesar di negara itu, mengatakan dia menarik diri dari konferensi agama yang diselenggarakan pemerintah pada hari Sabtu (24/10) di ibu kota, Khartoum, sebagai protes terhadap pengumuman hari Jumat itu.
"Pernyataan ini bertentangan dengan hukum nasional Sudan... dan berkontribusi pada penghapusan proyek perdamaian di Timur Tengah dan untuk mempersiapkan dimulainya perang baru," kata Al-Mahdi dalam sebuah surat kepada konferensi tersebut.
Dia mengatakan perjanjian dengan Israel akan membahayakan otoritas pemerintah transisi Sudan, koalisi yang rapuh dari para pemimpin sipil dan militer.
Sudan berada di jalan yang sulit menuju demokrasi setelah pemberontakan rakyat tahun lalu yang menyebabkan militer menggulingkan otokrat lama, Omar Al-Bashir. Pemerintah transisi telah menjanjikan pemilu paling cepat pada tahun 2022.
Al-Mahdi, yang memimpin Partai Umma Nasional, digulingkan dalam kudeta yang didukung Islam pada tahun 1989 yang membawa Al-Bashir ke tampuk kekuasaan. Partainya bersekutu dengan gerakan pro demokrasi yang memimpin protes terhadap Al-Bashir.
Al-Mahdi menuduh Trump rasis terhadap Muslim dan orang kulit hitam, dan menggambarkan Israel sebagai "negara apartheid."
“Tiga Tidak”
Sudan telah menjadi negara Arab ketiga yang bergerak menuju normalisasi hubungannya dengan Israel di antara serangkaian kesepakatan yang ditengahi Washington menjelang pemilihan presiden AS.
Pemerintahan Trump menengahi pakta diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab dan Bahrain pada Agustus, yang pertama sejak pakta Yordania dengan Israel pada 1990-an dan kesepakatan Mesir pada 1970-an.
Sudan menjadi tuan rumah konferensi Liga Arab setelah perang Timur Tengah tahun 1967 di mana delapan negara Arab menyetujui "tiga tidak": tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, dan tidak ada negosiasi dengan Israel.
Pengakuan Sudan atas Israel datang setelah negara Afrika Utara itu setuju untuk membayar US$ 335 juta dalam rekening escrow untuk digunakan sebagai kompensasi korban serangan teror terhadap Amerika. Perdana Menteri Sudan, Abdalla Hamdok, berterima kasih kepada Trump karena telah menandatangani perintah eksekutif untuk menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme, dan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia berharap untuk menyelesaikan kesepakatan itu dengan "waktu yang tepat.''
Penghapusan sebutan teror membuka pintu bagi pemerintah transisi Sudan untuk mendapatkan pinjaman dan bantuan internasional yang diperlukan untuk menghidupkan kembali ekonominya yang terpukul dan menyelamatkan transisi negara itu menuju demokrasi.
Pemerintah telah berjuang untuk menghidupkan kembali ekonomi Sudan yang terpukul di tengah defisit anggaran yang besar dan kekurangan barang-barang penting yang meluas, termasuk bahan bakar, roti dan obat-obatan.
Awal bulan ini, Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Sudan, mengatakan kepada stasiun televisi lokal bahwa Sudan akan mendapatkan keuntungan dari normalisasi tersebut. "Kami membutuhkan Israel... Israel adalah negara maju dan seluruh dunia sedang bekerja dengannya,'' katanya. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...