Manusia Beragama Manusia
Agama mesti berguna bagi kesejahteraan manusia.
SATUHARAPAN.COM – Transendensi dan imanensi agama sejatinya menampak dalam kehidupan masyarakat manusia. Watak agama sebagai pembawa pesan ”Yang Ilahi” untuk kehidupan manusia ”Yang Insani” merupakan fenomena yang utuh, melekat pada ruang dan waktu yang sama, tak terpisahkan, sekaligus tak terbagi. Asumsi dasarnya adalah tidak ada agama tanpa masyarakat manusia. Manusia beragama manusia adalah sebuah dialektika yang musti dipahami.
Agama Pasar dan Pasar Agama
Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli merupakan komunitas autentik yang menggambarkan watak ketergantungan manusia terhadap sesamanya. Penjual bergantung pada pembeli, demikian pula sebaliknya. Penopang aktivitas pasar mulai dari penjual jasa angkutan sayur mayur, sopir truk, tukang becak gerobag (bego), tukang ojek, sampai kuli gendong, melengkapi mata rantai hukum relasional yang dibangun atas dasar saling membutuhkan. ”Kebutuhan” telah mendorong manusia membentuk aneka komunitas, termasuk komunitas masyarakat agama.
Berangkat dari kebutuhan manusia, atas dasar idealisme/nilai kebaikan yang hendak diperjuangkan untuk tujuan kesejahteraan manusia, demikian masyarakat agama secara sosiologis ekonomis merupakan sebuah komunitas tersendiri. Bedanya dengan komunitas pasar adalah jika komunitas pasar terbentuk karena ketergantungan manusia terhadap sesamanya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat material, maka komunitas agama dalam praktik terbentuk karena ketergantungan manusia terhadap sesamanya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat immaterial. Sebagai yang demikian maka dapat dikatakan bahwa hal keberagamaan manusia sesungguhnya merupakan fenomena yang wajar dalam kehidupan masyarakat. Artinya ia sama sekali insani, betapapun untuk tujuannya ia (agama) berbicara tentang ”Yang Ilahi”.
Jika secara sosiologis ekonomis komunitas agama terbentuk karena kebutuhan manusia, maka agama pada dasarnya merupakan ”komoditas”. Maksudnya, bahwa komunitas agama memproduksi dan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, demikian pula sebaliknya masyarakat dapat memperoleh sesuatu yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan pemahaman yang demikian, sesungguhnya masyarakat agama tak ubahnya seperti pasar yang menyediakan aneka kebutuhan konsumen.
Mengingat pasar agama merupakan realitas yang turut menghidupi dinamika kehidupan masyarakat, maka wajar jika tiap-tiap agama, bahkan tiap-tiap komunitas dalam sebuah agama, sama-sama berusaha menjaring sebanyak mungkin konsumen. Kesadaran ini penting untuk menolong kita memahami bahwa ketegangan/konflik antaragama atau bahkan antarkomunitas dalam suatu agama bukanlah sesuatu yang luar biasa. Bukankah di pasar, setiap orang harus siap dengan aneka ketegangan? Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen pasar yang mampu mengendalikan potensi-potensi konflik yang ada di dalamnya disamping menyiapkan sistem regulasi dan etika bisnisnya. Demikian pula sebaliknya, jika ia hendak diusahakan untuk saling bekerja sama demi mencapai tujuan keberagamaannya.
Dalam praktik sistem regulasi dan etika bisnis yang dimaksud diterjemahkan dalam bentuk peraturan pemerintah sehingga urusan agama kemudian masuk ke dalam zona politik. Kenyataan ini menyebabkan agama dapat diperalat untuk kepentingan kekuasaan, atau bahkan sebaliknya agama memperalat kekuasaan. Dalam kondisi yang demikian sangat sulit untuk dapat membangun sistem regulasi dan etika bisnis yang sehat kecuali terjadi manufer politik yang memadai bagi komunitas agama untuk membangun sendiri ”sistem regulasi dan etika bisnis” yang dibutuhkan. Ini pun bukan pekerjaan mudah dan butuh waktu untuk berproses bersama.
Selanjutnya mengingat agama merupakan kebutuhan manusia yang bersifat umum, maka fenomena keberagamaan tak perlu terlalu dilebih-lebihkan sebagai urusan sakral belaka yang justru berpotensi menceraiberaikan komunitas autentik dalam masyarakat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Dimensi profan dari keberagamaan manusia itu hendak menggambarkan kepada kita bahwa masyarakat agama adalah pasar, atau dengan kata lain agama yang kita kenal sesungguhnya adalah agama pasar, yaitu agama yang berfungsi menghidupi masyarakatnya. Tetapi, pandangan ini memang tidak populer bahkan cenderung diingkari.
Alkitab, Firman Allah sekaligus Firman Manusia
Kesulitan yang kita hadapi untuk pengembangan wacana sosiologis ekonomis mengenai pasar agama dan agama pasar adalah pandangan agama itu sendiri terhadap sumber-sumber tradisi yang dipergunakan. Sebagai contoh, sebagian besar nilai-nilai kekristenan yang kita warisi sekarang adalah produk impor dari pasar agama di Eropa abad XVI–XX . Produk tersebut tidak bebas dari cara pandang gereja pada waktu itu terhadap eksistensi dan interpretasi atas sumber-sumber tradisi. Salah satunya sebagaimana tampak dalam perlakuan gereja terhadap Kitab Suci. Semboyan ”Sola Scriptura“ yang pada awalnya merupakan ekspresi penolakan terhadap pemanfaatan aneka sumber tradisi gereja misalnya, telah berkembang sedemikian rupa menjadi pemujaan terhadap Kitab Suci sebagai satu-satunya sumber yang sah dan tidak ada salah. Dengan demikian Kitab Suci telah ditempatkan dalam ruang transenden yang dari padanya turun firman Allah bagi manusia.
Mengenai hal ini tentu saja gereja-gereja telah berusaha memperbarui pemahamannya tentang Alkitab sebagai firman Allah, di mana di dalamnya dialektika transendensi dan imanensi atas sumber-sumber tradisi itu mendapat pengakuan. Bagaimana hal itu dapat dijelaskan?
”Alkitab adalah kumpulan tulisan yang diyakini oleh gereja dan orang-orang percaya sebagai firman Allah. Artinya melalui Alkitab Allah menyatakan maksud dan kehendak-Nya untuk menyelamatkan manusia dalam rangka sejarah penyelamatan-Nya. Alkitab ditulis dan dihimpun oleh orang-orang yang dipakai Allah untuk menyatakan maksud dan kehendak-Nya. Orang-orang tersebut berasal dari latar belakang, tempat, zaman, bahasa dan kemampuan yang berbeda-beda. Campur tangan Allah dinyatakan dalam hikmat yang menyertai para penulis dan pengumpul kitab-kitab itu melalui pimpinan dan penyertaan Roh Kudus. Hal itu dapat kita mengerti dari buah pekerjaan yang dihasilkan, sebagaimana tampak dari kenyataan bahwa semua tulisan itu berbicara tentang hal yang sama dan untuk satu tujuan yang sama, yaitu penyelamatan Allah atas manusia.
Untuk menyatakan maksud dan kehendak-Nya, Allah dapat berfirman dengan berbagai cara dan dalam waktu yang tidak dapat dibatasi oleh manusia. Namun, dalam rangka menyatakan maksud dan kehendak-Nya untuk menyelamatkan manusia, maka Alkitab sudah cukup memberikan kesaksian yang diperlukan bagi manusia. Bahkan kitab-kitab tersebut oleh gereja-gereja di dalam sejarahnya telah diterima sebagai tulisan-tulisan yang kanonik yang berarti diakui, sah, tidak diragukan kebenarannya, dan sudah cukup, sehingga dapat dijadikan patokan bagi umat beriman.
Membangun persepsi objektif mengenai Alkitab merupakan sesuatu yang penting untuk melihat dimensi profan dari Kitab Suci. Dengan demikian kesadaran mengenai agama sebagai produk manusia dan fungsi agama untuk manusia mendapat tempat yang semestinya. Di samping itu pengakuan gereja bahwa ”Untuk menyatakan maksud dan kehendak-Nya, Allah dapat berfirman dengan berbagai cara dan dalam waktu yang tidak dapat dibatasi oleh manusia” sekaligus membuka ruang yang lebih luas bagi upaya berteologi secara kontekstual, serta memberi penghargaan terhadap kekayaan sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan maksud Injil.
Gereja Allah Gereja Manusia
Wacana mengenai ”Agama Pasar dan Pasar Agama”, serta ”Alkitab firman Allah sekaligus firman Manusia“ pada gilirannya berguna untuk memahami eksistensi gereja di tengah masyarakatnya. Oleh kerena itu, dengan rendah hati gereja perlu menyadari bahwa sebagai komunitas yang telah menerima pencerahan oleh iman, dirinya dan kehadirannya adalah juga dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di sinilah konsep kenosis dalam teologi kristen yang dicitrakan dalam pribadi Yesus menjadi hidup dan mewujud dalam kepribadian gereja. Dengan demikian gereja yang adalah “Gereja Allah“ sekaligus juga menjadi “Gereja Manusia“.
Manusia Beragama Manusia
”Agama untuk kehidupan” merupakan kalimat yang sering kita dengar. Ia hendak menegaskan fungsi agama bagi kehidupan dalam arti luas maupun masyarakat manusia khususnya. Agama haruslah memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat manusia. Dalam bahasa gereja melalui interpretasi teks Injil Matius 5:17, agama berfungsi sebagai ”garam dan terang dunia”. Karena itu, semestinyalah iman Kristen mampu membawa kenyamanan dan kesejahteraan, sekaligus pencerahan untuk kehidupan bersama manusia yang lebih bermartabat.
Kajian mengenai agama untuk kehidupan menolong kita lebih dalam memahami hakikat agama berangkat dari fungsinya. Berdasarkan pemahaman mengenai fungsi agama yang demikian, maka kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya agama merupakan kehidupan itu sendiri. Ia bukan merupakan sesuatu yang berdiri di luar, di samping, atau di atas kehidupan manusia, melainkan bersama dan sekaligus di dalam, bahkan melekat pada kehidupan masyarakat manusia. Manusia beragama manusia, mengandung pengertian dialektis. Jika kita mengaku sebagai ”manusia beragama” maka konsekuensinya adalah kesanggupan kita untuk menjadikan agama berguna bagi kesejahteraan bersama.
Editor : Yoel M Indrasmoro
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...