Mari Elka Pangestu Soroti Kegagalan Reformasi Pajak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ekonom dan mantan Menteri Perdagangan di era Susilo Bambang Yudhoyono, Mari Elka Pangestu, menyoroti kegagalan pemerintah melakukan reformasi pajak, kendati cukup berhasil dalam program amnesti pajak. Ia juga mengingatkan risiko keberlanjutan fiskal di tahun 2017, sehubungan dengan kemungkinan masih rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Mari Elka Pangestu yang saat ini menjadi senior fellow di School of International and Public Affairs, Columbia University, Amerika Serikat, menuliskan analisisnya tentang perekonomian Indonesia di East Asia Forum, Minggu (18/12) dengan judul, Indonesia An Oasis of Economic Stability amid Turbulence?.
Mari Elka mengatakan isu terbesar di bidang perekonomian pada tahun 2016 adalah risiko keberlangsungan kebijakan fiskal. Akar penyebabnya adalah target penerimaan pajak yang tidak realistis ketika ditetapkan pada tahun 2015, yang dimaksudkan untuk mendukung prioritas pembangunan presiden dan pemerintah di bidang infrastruktur, kesehatan dan sektor lainnya.
Kendati rata-rata pertumbuhan pajak pada tiga tahun terakhir tidak sampai 10 persen, dan adanya perlambatan perekonomian, pada tahun 2015 target pertumbuhan penerimaan pajak ditetapkan sebesar 30 persen. Pada kenyataannya, realisasi pertumbuhan hanya delapan persen.
Pada tahun 2016, lagi-lagi target pertumbuhan yang tinggi ditetapkan, sebesar 24 persen. Ini menimbulkan pertanyaan.
Soalnya, untuk menutupi kekurangan penerimaan pajak, pemerintah harus memangkas anggaran sebesar Rp 200 triliun. Pada kenyataannya, ketika APBNP 2016 diajukan yang berhasil dipangkas hanya Rp 60 triliun. Berarti ada kekurangan sebesar Rp 140 triliun.
Lalu pemerintah mencanangkan program amnesti pajak. Selain itu, Presiden Joko Widodo mengganti menteri keuangan dan memutuskan memanggil Sri Mulyani untuk menjadi orang nomor satu di Lapangan Banteng.
Menurut Mari Elka, program amnesti pajak memang telah mencatat kinerja lebih baik untuk beberapa hal, apabila dibandingkan dengan program serupa di negara lain. Jumlah aset yang dideklarasikan mencapai 35 persen dari Produk Domestik Bruto, lebih baik dibanding India (32 persen) dan Cile (8 persen).
Dalam hal pendapatan pajak dari penalti yang dibayarkan, Indonesia mencapai 0,8 persen dari PDB, yang terbaik kedua di dunia setelah India (0,9 persen).
Namun, kata Mari Elka, Indonesia kurang berhasil dalam memperluas basis penerimaan pajak dan dalam melakukan program reformasi pajak yang komprehensif. Jumlah pembayar pajak yang terdaftar dalam program amnesti pajak adalah 370.000, dalam hal ini hanya 16.000 pembayar pajak baru.
Rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Indonesia telah turun dari 11,9 persen menjadi 10,8 persen pada kurun waktu 2012-2015. Ini lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang berada di angka 13-17 persen.
Meningkatnya pemeriksaan pajak adlam dua tahun terakhir disertai target penerimaan pajak yang ambisius telah memukul kepercayaan investasi dan konsumsi. Namun, presiden dan Menkeu Sri Mulyani telah mengumumkan akan melakukan reformasi pajak lebih jauh, termasuk mengurangi tarif pajak badan usaha dari 25 persen ke 19 persen.
Dalam APBN 2017 pertumbuhan penerimaan pajak ditargetkan sebesar 13,5 persen dan pertumbuhan belanja pemerintah sebesar 9,8 persen. Menurut Mari Elka, keberlanjutan fiskal masih berisiko di tahun depan mengingat target penerimaan pemerintah tampaknya tidak akan tercapai. Ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi masih akan lebih rendah pada 2017 dan reformasi dalam pengumpulan pajak masih kurang efektif.
Itu sebabnya, menurut Mari Elka, masalah utama pada 2017 adalah bagaimana membangkitkan pertumbuhan investasi swasta, termasuk di bidang infrastruktur. "Kuncinya di sini adalah reformasi struktural sejati. Paket 14 regulasi ekonomi sejauh ini belum berhasil walaupun difokuskan pada mengurangi biaya melakukan bisnis, mempermudah perdagangan, investasi dan pergerakan orang serta pariwisata," kata Mari Elka.
"Apa yang selama ini gagal dilakukan adalah mengatasi isu-isu fundamental bagi investor seperti pembebasan lahan, penetapan harga dan kejelasan dalam program kemitraan dengan pemerintah, dan proses investasi yang dihadapi investor. Dan masih terus berlanjut ambivalensi pemerintah dalam hal kebijakan proteksionisme dan lokalisasi," tulis Mari Elka.
Menurut dia, isu-isu mendasar ini harus ditangani bila Indonesia ingin menembus pertumbuhan ekonomi lima persen atau setidaknya untuk mencegah penurunan lebih lanjut.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...