Maria dan Makna Keluarga di Tengah Krisis Zaman
SATUHARAPAN.COM – Setiap bulan Desember umat Kristen Katolik dan Protestan sejagad berada dalam masa Adven. Minggu-minggu adven yang dilaksanakan sampai malam 24 Desember, secara umum dimaknai sebagai peringatan dan persiapan untuk menyambut hari kelahiran Yesus Kristus, yang secara seremonial dilaksanakan 25 Desember.
Dalam maknanya yang lebih luas, masa-masa adven atau penantian kedatangan itu sebenarnya adalah totalitas kehadiran gereja atau orang-orang Kristen dalam dunia. Itulah masa menanti kedatangan kedua kali Sang Juru Selamat. Baik secara seremonial maupun totalitas kehadiran itu, masa adven adalah juga sebuah perjuangan, ia sebuah gerak aktif untuk solidaritas kepada dunia. Gerak individu dan komunitas itu dimulai dari satuan masyarakat yang terkecil namun penting dan strategis, yaitu keluarga.
Maria, Ibu yang Berjuang
Pribadi pertama yang mendapat tantangan untuk masuk ke dalam perjuangan itu adalah Maria, seorang perempuan bersahaja dari Nazareth. Ia adalah tunangan Yusuf. Meski belum resmi menikah, namun Maria dan Yusuf telah diberi tanggung jawab sejatinya keluarga.
Maria harus menghadapi panggilan itu: ia akan menjadi ibu dari Yesus, yang disebut “Anak Allah Yang Mahatinggi” itu. Maria tentu takut dan bingung. Tapi, ini panggilan. Bagi kaumnya ini bagian dari sejarah besar bangsanya, baik sebagai sebuah komunitas politis maupun keagamaan.
Tidak mudah menerima panggilan itu. Dari rahimnya, oleh Roh Kudus, Maria akan melahirkan “Anak Allah Yang Maha Tinggi”, Yesus Kristus. Pertama-tama ia harus berhadapan dengan tradisi kaumnya, namun setelah itu, yang lebih berat adalah dengan kekuasaan politik yang dominan, Romawi. Setidaknya begitu kesan kita dari apa yang ditulis oleh para penulis kitab Injil mengenai situasi yang(akan) dihadapi Maria dan Yusuf ketika menerima panggilan Ilahi itu: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu."
Maria, perempuan yang dengan berani mengambil tanggung jawab untuk berkeluarga bersama suaminya Yusuf, merefleksikan makna keluarga di tengah situasi krisis. Keluarga mestilah menjadi kesatuan akrab dan intim yang menghayati makna keselamatan, yang berani berjuang untuk kebaikan-kebaikan bagi semua orang. |
Itulah jawaban terhadap panggilan untuk masuk dalam sebuah persiapan kedatangan Sang Mesias. Maria dibawa masuk dalam sebuah perjuangan hadirnya perdamaian dan keadilan: Yesus Kristus Sang Pembawa Damai. Dari sosok Maria, rupanya kita dapat belajar mengenai keberanian untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan dari sebuah keluarga. Maria adalah ibu rumah tangga dari sebuah keluarga di tengah kaum yang mewarisi cerita besar tapi secara faktual sedang hidup dalam sebuah krisis.
Jadi, ketika kelahiran Yesus di Bethlehem, oleh para penulis Injil menyebutnya, ‘euangelion’, kabar baik, kabar kesukaan, maka pembaca sebetulnya sedang diantar pada diskursus harapan pembebasan, perdamaian dan keadilan kontra kekuasaan politik yang eksploitatif, desktruktif dan diskriminatif. Dengan ‘euangelion’ berita itu diperdengarkan secara berani dan radikal untuk menentang kekuasaan politik yang terus menerus diusahakan menjadi abslout. Sesuatu yang ternyata berlanjut hingga hari ini: kekuasaan politik dan pasar yang terus menerus bermetamorfosis menjadi semakin kuat. Dalam konteks ini, keluarga menjadi penting dan strategis menghadapi keguncangan zaman yang dahsyat lagi.
Keluarga di Masa Krisis
Gereja, orang-orang Kristen termasuk keluarga Kristen selalu menghayati dirinya bagian dari arak-arakan menanti kedatangan kedua kali Yesus Kristus. Penghayatan itu mewujud dalam tanggung jawab atau bahkan perjuangan terus menerus mengusahakan dunia ini layak atau baik adanya untuk dijadikan tempat tinggal bersama.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam pesan Natal bersama tahun 2014 ini mengajak umat Kristen Indonesia untuk menghayati ulang makna keluarga. Persoalan-persoalan yang digambarkan dalam Pesan Natal Bersama tersebut menggambarkan kerentanan individu, keluarga dan masyarakat.
Keluarga-keluarga kita berada dalam masa krisis, yaitu ketika secara global, baik ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, agama atau kita menyebutnya saja kebudayaan sedang menata atau ditata kembali. Ketika teknologi informasi berada pada tahap perkembangan yang signifikan, eksistensi individu yang identitasnya mestinya dibentuk mulai dari keluarga ditantang oleh kekuatan internet yang secara massal dan massif menyebarkan informasi mendesak masing-masing orang untuk menentukkan pilihannya sendiri.
Kini, ketika menyebut keluarga tentu bukan lagi seperti pengertian tradisional, yaitu hanya sebentuk ikatan geneologis antara ayah, ibu ditambah anak-anak. Keluarga di era ini mestilah dipahami lebih terbuka dan luas, yaitu menunjuk pada ikatan-ikatan intim dan akrab, antara orang tua yang bisa ayah dan ibu, antara sepasang orang, baik yang memiliki keturunan biologis, hanya secara sosial atau hukum (adopsi) maupun yang tidak. Keluarga-keluarga di era pascamodern, misalnya di Indonesia semakin banyak yang bahkan berusaha melampaui hukum komunitas (hukum adat) maupun hukum negara serta agama. Kasus terakhir, kita mendengar kontroversi kawin beda agama. Pokoknya, pemahaman kita mengenai keluarga mestilah diperluas dan terbuka.
Maria, perempuan yang dengan berani mengambil tanggung jawab untuk berkeluarga bersama suaminya Yusuf, merefleksikan makna keluarga di tengah situasi krisis. Keluarga mestilah menjadi kesatuan akrab dan intim yang menghayati makna keselamatan, yang berani berjuang untuk kebaikan-kebaikan bagi semua orang.
Di tempat asal saya, Minahasa tradisi keluarga yang berkumpul setiap Natal masih terus dipertahankan. Anggota keluarga yang dirantau selalu berusaha untuk ‘pulang kampung’ setiap Natal. Adalah sebuah kebanggaan bila pada hari Natal seseorang dapat beribadah bersama keluarga di rumah gereja, setelah itu makan bersama semeja, bercengkerama lalu pesiar keliling kampung. Bahkan, pada malam Natal, selain beribadah bersama di rumah gereja, ziarah ke makam anggota keluarga yang sudah lebih dulu berpulang adalah tradisi yang wajib dilaksanakan. Pada momen ini, keluarga dihayati sebagai persekutuan kultural-keagamaan.
Inilah cara keluarga-keluarga Kristen-Minahasa menghadapi krisis zaman. Penghayatan terhadap makna keluarga Maria, Yusuf dan Yesus yang telah berperan dalam sejarah keselamatan dilakukan bersama dengan makna keluarga dari ‘satu darah’, ‘satu asal’ dan satu komunitas kultural yang telah diperkaya dengan pengalaman hidup di ruang yang lebih luas. Kesemuannya itu bermuara pada penguatan kembali spiritualitas yang telah dirumuskan sejak keluarga dibentuk. Spiritualitas itu dibentuk dari sejarah dan kearifan kaum yang didialogkan dengan nilai-nilai dasar kekristenan.
Penulis adalah dosen di Fakultas Teologi UKI Tomohon
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...