Markus Haluk: Freeport Harus Berunding dengan Rakyat Papua
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Markus Haluk, intelektual muda Papua penulis buku "Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik," mengatakan sengketa antara Freeport McMoran dengan pemerintah RI tidak boleh mengabaikan Orang Asli Papua (OAP) terutama suku Amungme, suku Kamoro dan suku-suku kerabat lain di pegunungan Cartenz, yang merupakan pemegang hak ulayat tanah yang menjadi tempat beroperasinya PT Freeport Indonesia di Papua.
Penyelesaian sengketa selama ini seakan direduksi pada soal pemilikan saham, padahal, menurut dia, yang lebih mendasar adalah sengketa kepemilikan lahan yang dipakai oleh Freeport untuk menambang.
Itu sebabnya, negosiasi sengketa Freeport harus melibatkan tiga pihak dan tidak boleh ada salah satu pihak yang mendikte pihak lain.
Ketiga pihak yang dia maksud adalah pemerintah, Freeport McMoran dan rakyat Papua.
"Kita bisa mengibaratkan pemerintah memiliki saham UU, Freeport memiliki saham uang, dan Orang Asli Papua memiliki saham tanah. Biar pun ada UU dan uang, jika Orang Asli Papua tidak bersedia ikut, tambang itu tidak akan beroperasi, sebab tanah itu adalah milik OAP dan hubungan antara manusia dan tanah dalam kepercayaan orang Papua sangat sakral," kata Markus Haluk dalam perbincangan dengan satuharapan.com di Jakarta, Senin (20/03).
Konflik Berkepanjangan
Markus Haluk mengatakan selama 50 tahun kehadiran Freeport di Indonesia, yang tercipta adalah konflik berkepanjangan di daerah Timika, Mimika, Papua, hingga menyingkirkan dan memusnahkan Suku Amungme, Kamoro dan suku-suku kerabat lain di pegunungan Cartenz yang bagi orang Papua, namanya adalah Pegunungan Nemangkawi.
"Kemakmuran dan kemajuan yang dijanjikan Freeport saat memangkas bukit, gunung hijau serta merobohkan salju abadi menjadi penantian berujung rusaknya nilai-nilai peradaban masyarakat Amungme dan suku-suku lainnya. Freeport masuk lebih jauh ke wilayah-wilayah tanah adat yang ada," tutur dia.
Di sisi lain, ia akui Orang Asli Papua (OAP) juga sering mengalami konflik, yang menurut dia, sesungguhnya adalah rekayasa.
"Saya merasakan sebagai anak Papua, konflik orang-orang Amungme dan suku-suku lain sudah saatnya dihentikan. Sudah cukup mereka menjadi korban dari rekayasa dan skenario dari penambangan Freeport. Sudah saatnya sendi-sendi persaudaraan direkatkan kembali," kata dia.
Buku 'Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik' karya Markus Haluk, diterbitkan oleh Penerbit Deiyai, Jayapura, (2014).
Dalam "Menggugat Freeport" yang terbit tahun 2014, Markus mengungkap berbagai kerugian menjurus kepada penindasan yang dialami oleh rakyat Papua akibat kehadiran Freeport.
Mulai dari tragedi kemanusiaan di areal Freeport (halaman 13), konflik berkepanjangan di antara suku-suku orang-orang Amungme memperebutkan Dana Darah (halaman 21), hancurnya peradaban suku Amungme (halaman 61) hingga kemelut tapal batas (halaman 73).
Aneka penderitaan dialami oleh OAP, dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Deniyai itu, ditampilkan antara lain melalui kesaksian Mama Yosepa Alomang, tokoh masyarakat adat Amungme, pejuang HAM yang juga penerima penghargaan Goldman Award pada 2001.
"Kami mengenal Freeport itu militer Indonesia. Perusahaan ini berdiri di belakang kemudian kami diperhadapkan dengan militer untuk mereka bunuh kami. Saya telah masuk keluar tahanan. Selama 16 kali Freeport bersama militer Indonesia menangkap dan menahan saya. Peristiwa itu saya alami sejak tahun 1977 sampai dengan saat ini," demikian Mama Yosepa Alomang.
Diselesaikan di Meja Perundingan
Kendati masalah demi masalah tampak seakan berlapis, Markus Haluk masih meyakini dialog dapat menemukan solusi sengketa antara Freeport dengan OAP.
"Sengketa yang selama ini terjadi antara pemilik Nemangkawi dan Freeport bukan konflik politik namun sesungguhnya sengketa lahan yang digunakan Freeport. Lahan milik Amungme merupakan lahan rampasan negara, yang dipakai Freeport untuk aktivitas penambangan. Sangat diharapkan pihak ketiga mampu menjawab harapan-harapan baru yang dinantikan lama pemilik Nemangkawi," tulis Markus dalam bukunya.
Maka dalam buku itu ia mengajukan solusi lewat jalan dialog antara Freeport dengan OAP (suku Amungme, Suku Amungme, suku Kamoro dan suku-suku kerabat lain di pegunungan Cartenz).
Kedua pihak ini menurut dia, harus dipertemukan dalam meja perundingan.
Di satu pihak adalah Freeport dan di pihak lain adalah suku Amungme, terutama marga besar Magal dan martkime, Beanal, Kum, Bugaleng dan Omaleng.
Di dalam perundingan, kata Markus, kedua belah pihak memposisikan diri sebagai pemilik tanah (land owners) dan pemilik perusahaan (company owners) dan tidak melibatkan pihak yang bukan land owners mau pun company owners. Meskipun demikian perundingan dapat dihadiri oleh fasilitator atau mediator maupun peninjau yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Dalam perundingan masing-masing pihak tidak saling menyalahkan atau saling menuding siapa salah siapa benar, tetapi datang membicarakan agenda yang disepakati bersama.
Sebagai misal, pemilik Nemangkawi duduk mengklasifikasi dan mengidentifikasi masalahnya, begitu juga dengan Freeport.
Diharapkan dalam mencari jalan keluar, kedua pihak dibantu oleh tenaga ahli masing-masing.
Untuk menjalankannya secara damai, kedua belah pihak dapat memilih moderator untuk mempermudah dan memperlancar proses perundingan.
Tim ahli hanya memberikan saran dan masukan kepada jururunding yang telah dipilih dan diutus oleh kedua belah pihak.
Konsolidasi Internal Amungme
Sebelum duduk di meja perundingan, Markus juga memberikan rekomendasi agar konsolidasi internal Amungme dilakukan.
Konsolidasi internal tersebut antara lain meliputi:
- Dialog internal marga besar Magal dan Nartkime
- Dialog internal antara marga Bugaleng-Omaleng dan Beanal
- Dialog internal marga-marga suku Amungme lain yang mendiami lembah Waa, Arwa, Nosola dan Tsinga.
- Dialog internal marga Amungme yang disebut Wanal dan Arwanal
- Dialog antar suku-suku kerabat Pegunungan Tengah (Dani, Moni, Mee, Damal dan Nduga)
- Dialog antar orang Papua yang mengetahui tentang keberadaan peradaban suku Amungme atas kepemilikan gunung Nemangkawi.
Setelah dialog internal, di meja perundingan nantinya masing-masing pihak diwakili lima juru runding.
Dari pihak suku Amungme, diwakili oleh perwakilan suku Magal, Nartkime, Omaleng, Bugaleng dan Beanal. Sementara pihak Freeport diwakili lima juru runding yang merupakan wakil dari pemegang saham.
Sebagai mediator, yang harus mengambil peran adalah pihak ketiga yang netral. Mediator ini harus disetujui oleh kedua belah pihak. Bisa diambil dari luar kedua belah pihak, seperti dari dunia akademis, pekerja HAM, agama atau dari kalangan politisi/birokrat yang memiliki pengalaman penyelesaian konflik baik di tingkat internasional, regional maupun nasional.
"Bagi suku Amungme, perundingan menjadi bagian membangun kembali peradaban generasi Amungme di masa depan. Freeport tidak akan pernah membawa Amungme keluar dari penderitaan.....Freeport datang hanya untuk menambang. Freeport tidak akan selamanya di Tanah Amungsa. Sekarang saatnya bersatu menggapai tujuan dan cita-cita bersama, yaitu pengakuan identitas, harga diri dan kesetaraan hak asasi Suku Amumgme di muka bumi," kata Markus.
Editor : Eben E. Siadari
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...