Masih Ada Harapan
SATUHARAPAN.COM - Meskipun kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali meningkat, keyakinan masyarakat akan turun kembali karena berbagai hal. Salah satunya bila Presiden Jokowi mengabaikan harapan publik dalam upaya merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Direktur Lembaga Survei Indonesia Hendro Satrio mengatakan, berdasarkan hasil surveinya pada awal tahun ini, sebanyak 59,1 persen masyarakat merasa cukup puas atas kinerja Jokowi. Namun, angka tersebut bisa turun jika Pemerintah dan DPR menyetujui revisi UU KPK berdasarkan poin-poin revisi yang sudah ada saat ini.
Keberanian Presiden jokowi mengambil langkah tegas terhadap revisi KPK akan berpengaruh terhadap kepercayaan publik. Persoalan mendasar saat ini Presiden menghadapi situasi ketidak nyaman karena lingkaran Partai pendukung pro revisi, hal ini mempersulit posisi Presiden untuk mengambil keputusan bebas dari tekan partai politik.
Di bidang hukum, publik berharap pada upaya penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi. Bidang ekonomi, tahun ini kita memasuki peluang perbaikan keadaan ekonomi, tanpa adanya beban kenaikan harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL). Di luar bidang itu, terdapat persoalan, bagaimana bangsa ini keluar dari lingkaran kesukuan, keagamaan, dan politik identitas. Hal inilah yang membuat bangsa Indonesia menghabiskan banyak energinya hanya untuk mempersoalkan hal-hal yang tidak penting. Ini membuat kita tidak mampu bersaing dengan bangsa lain, karena kita masih terjebak pada hal-hal tidak substansial. Hampir separuh waktu kita sia-sia, karena hanya digunakan untuk permainan kata-kata politik bersayap. Politik tidak memiliki keadaban publik.Terjadi perselingkuhan antara penguasa dan partai politik dengan pemodal hitam. Perselingkuhan ini membuat rakyat tertindas, terusir dari negerinya.
Lompatan Masa Depan
Kita masih saja hidup dalam pola-pola lama tanpa mau mengubahnya. Karena itu dibutuhkan sebuah lompatan meraih masa depan dengan memulihkan kembali keadaban publik yang hilang tersebut. Untuk itu dibutuhkan spirit kemandirian. Orientasi menuju kemandirian sejati itu tidak pernah dijadikan pijakan semenjak rezim Orde Baru. Buktinya hingga kini haluan ekonomi negara cenderung tidak jelas peruntukannya demi kepentingan semesta Indonesia. Dengan kalkulasi yang tidak rasional, justru terjadi lebih banyak sumberdaya alam diperuntukkan bagi kepentingan negara maju. Akibatnya kekayaan alam berupa minyak, gas, emas, batu bara, serta seisi lautan dikuras habis untuk kepentingan asing. Pergantian rezim ternyata tidak juga mengubah pola relasi Indonesia dengan negara maju yang seperti itu.
Negara tidak memiliki visi pembangunan ekonomi yang jelas, hingga berakibat melemahkan posisi tawar rakyat dan membuat situasi semakin tidak berpihak kepada kepentingan bangsa. Situasinya diperparah dengan satu titik lemah bangsa ini, yaitu rendahnya rasa percaya diri. Bangsa ini merasa kurang rasa percaya diri untuk mengelola kekayaan alam yang begitu banyak. Rasa inferior ini boleh jadi akibat dari masih bercokolnya mentalitas inlander dalam diri sebagian besar elite negeri ini. Kita seperti sudah kalah sebelum berperang, seperti selalu kalah sebelum melakukan segala upaya menciptakan inovasi terhadap kekayaan alam di bumi kita sendiri. Para elite pemimpin mudah tunduk pada negosiasi yang tidak berujung kepentingan kesejahteraan rakyat. Mereka sudah dibuat tunduk pada mekanisme pasar global sebagai acuan kebijakan ekonomi.
Bagaimana kita memaknai kemandirian? Hendaknya kemandirian itu tidak berhenti sebagai slogan untuk hanya menenangkan hati rakyat. Rasanya kita begitu sulit belajar melihat dari kesengsaraan bertahun-tahun akibat kesalahan kebijakan ekonomi yang kita jalankan selama ini. Kesengsaraan itu tercermin bukan saja dari ketergantungan yang makin tinggi terhadap negara maju, melainkan karena ketidakmampuan kita mengolah potensi ekonomi kita sendiri. Sudah 70 tahun kita merdeka, namun kita belum juga paham memaknai artinya berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri. Sampai saat ini kita tidak menyadari bahwa kebergantungan tersebut yang membuat bangsa kitatidak juga mampu mensejahterakan rakyatnya. Orientasi pembangunan yang selalu dibiayai dengan utang dan tingginya kebergantungan hanya akan membatasi keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya. Karena kekuasaan ada pada si empunya uang, pelan tapi pasti, kedaulatan negara dibikin runtuh oleh titah si empunya uang.
Mengapa kita sulit berpikir jujur bahwa bangsa ini memiliki potensi luar biasa. Kita sejatinya bisa hidup mandiri tanpa melulu tergantung pada kekuatan asing. Kita bisa mengembangkan sumberdaya alam yang kita miliki sehingga sungguh-sungguh bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat semesta. Indonesia masih mempunyai sumberdaya alam yang bisa digunakan menjalankan pembangunannya, yang sejauh ini belum optimal dipergunakan untuk kepentingan rakyat.
Kesadaran Baru
Kini semua kesadaran tersebut perlu dibangun kembali dengan pendasaran kesadaran baru, bahwa utang luar negeri terlampau banyak risiko dan kerugiannya daripada kemanfaatannya. Kita harus berani keluar dari lingkaran setan itu, lalu memutuskan untuk berdikari sebagai langkah yang akan mendapatkan dukungan dari seluruh bangsa. Dengan begitu akan disadari bahwa kebijakan negara yang selalu bergantung kepada negara maju hanya berdampak sesaat bagi rakyat, tapi akan menyengsarakan dalam jangka panjang.
Di sini pentingnya membaca kembali ke-Indonesia-an kita sebagai pegangan paling mendasar untuk menghadapi ekonomi global. Kekuatan ekonomi global dengan mekanisme pasar bebas yang dipaksakan oleh kelompok negara maju telah membuat daya tahan ekonomi negara kita semakin terpuruk dan meminggirkan daya saing kita.
Produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk dari negara industri baru seperti Tiongkok, Thailand, atau Malaysia, sehingga produk mereka membanjiri pasar dalam negeri. Fakta ini menjadi cermin dari kegagalan kita membangun identitas kemandirian lokal. Kemandirian ekonomi hanya menjadi mitos, karena usaha-usaha nyata untuk mewujudkannya tidak pernah berujung kebijakan untuk mendorong industri lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Kini kita harus berani memutuskan harapan bagi kemakmuran bangsa ini. Negeri kita punya sumberdaya alam di seluruh kepulauan Nusantara. Negeri kita juga punya sumberdaya energi alternatif yang melimpah. Kini tinggal keberanian dari para pemimpin dan elite negeri untuk memulai budaya baru, yakni mendayagunakan kemampuan kita sendiri.Negeri ini membutuhkan pemimpin yang berani keluar dari lingkaran setan kebergantunganasing dan kembali mengukuhkan kemandirian. Pemimpin itu mampu menggerakkan potensi rakyat untuk mengembangkan potensi yang dimiliki bangsa ini. Pemimpin yang cerdas dan kritis, yang mampu berpikir dan berbuat melepaskan kebergantunganuntuk menjadi mandiri.
Keberanian keluar lingkarangan keperdulian terhadap kepentingan sempit dan politik bagi hasil adalah kunci adanya harapan bangsa ini mampu menjadi bangsa besar dan memiliki peradaban. Kunci satu kalau Peminpin mempunyai visi dan misi yang jelas dalam menata keadaban publik dan keluar kepentingan politik bagi hasil.
Risiko 4F dan Gejala Batu Kantung Empedu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis bedah subspesialis bedah digestif konsultan RSCM dr. Arn...