Masih Perlukah Pasal Penodaan Agama Dipertahankan?
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kelompok masyarakat sipil mengungkapkan bahwa pasal penodaan agama masih menjerat orang-orang hingga kini, meski isinya bermasalah. Sejumlah pihak pun menyerukan kembali penghapusan pasal tersebut.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap ada 38 kasus penodaan agama di Indonesia dalam kurun Januari-Mei 2020. Direktur YLBHI Asfinawati menyatakan, 25 orang di antaranya sudah ditangkap.
“Ada yang disidik 10 orang, diselidik 11 orang, dan tidak ditindaklanjuti 1 orang,” ungkapnya dalam Konferensi Kebebasan Beragama, Jumat (21/8) sore.
Asfinawati menjelaskan kasus-kasus tersebut menggunakan pasal yang berbeda-beda. Ada yang dijerat Pasal 156 a KUHP, Pasal 28 ayat 2 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), atau Pasal 59 ayat 3 UU Organisasi Masyarakat.
Sementara, kata Asfinawati, definisi penodaan agama sendiri tidak muncul dalam KUHP maupun UU PNPS no 1 tahun 1965. Akibatnya, penodaan agama ditafsirkan beragam, mulai dari penafsiran agama yang berbeda, mengaku nabi, sampai memplesetkan doa.
"Sehingga kemungkinan orang menjadi masuk sebagai penoda agama itu jadi lebih besar pastinya. Tidak ada definisi yang jelas sehingga penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik, dan bahkan bisa mempidanakan siapa saja,” tegasnya.
Ditambahkannya, kasus penodaan agama kerap cacat dari segi hukum acara. Misalnya, menjadikan fatwa sebagai alat bukti, padahal fatwa itu baru keluar setelah peristiwa terjadi.
“Fatwanya muncul kemudian setelah pengaduan disampaikan kepada polisi, atau setelah perbuatan itu dilakukan. Jadi kan tidak ada hukuman ketika perbuatan itu dilakukan, Prinsip yang sangat penting dalam hukum pidana in diabaikan,” katanya.
Fokus pada Ujaran Kebencian
Senada, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai penodaan agama tidak jelas batasannya. Sehingga menurutnya, penerapannya kerap diskriminatif.
“Kalau itu katakanlah di Jawa Sumatera yang mayoritas muslim. Kalau itu dilakukan oleh orang atau tokoh beragama Islam, dia selamat dari deliknya. Tapi kalau dilakukan minoritas, dia akan kena pasal itu atau kasus yang kurang lebih sama,” ungkapnya dalam kesempatan yang sama.
“Tapi sebaliknya kalau di NTT (yang mayoritas katolik), kalau itu dilakukan orang muslim, dia akan sama nasibnya dengan orang non-muslim di Jawa dan Sumatera,” imbuhnya.
Ahmad sepakat bila pasal penodaan agama dihapuskan. Dia mengatakan, ketimbang menghakimi keyakinan seseorang, aparat hukum sebaiknya fokus pada ujaran kebencian.
“Yang terkait dengan ajakan untuk kebencian, permusuhan, tindakan diskriminasi, dan yang paling nyata lagi adalah ajakan untuk melakukan kekerasan. Kan ada tokoh agama yang karena beda dengan kelompok tertentu, dia bilang ‘itu kelompok A boleh dibunuh’. Ini jelas,” tegasnya.
Lebih Banyak Mudharatnya
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama, Heiner Bielefeldt, mendukung penghapusan pasal penodaan agama di seluruh dunia.
Profesor HAM di Jerman ini mengatakan, ia seorang Katolik yang taat dan kadang tersinggung dengan hinaan terhadap agamanya. Meski begitu, ia menilai, pasal penodaan agama tetap lebih banyak mudharatnya.
“Saya tidak menyangkal pengalaman (tersinggung karena) penodaan agama, saya pun merasakannya dari waktu ke waktu. Saya percaya penodaan agama ada, tapi saya tidak mendukung pasal penodaan agama. Sangat penting untuk membedakannya supaya tidak terjadi kesalahpahaman,” tegasnya dalam sebuah diskusi, Selasa (25/8) siang.
Di sisi lain, Heiner menyatakan, kritik terhadap agama adalah hak untuk berekspresi dan berbeda dengan penodaan. Kelompok agama pun harus lapang dada jika menerima kritikan. “Tak ada hak untuk bebas dari kritik. Hak untuk beragama tidak berarti kelompok religius bisa bebas dari kritik,” tandasnya, mengutip Asma Jahangir, pelapor khusus PBB untuk periode sebelum Heiner.
Di Indonesia, UU PNPS no 1 tahun 1965 pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi pada 2010. Gugatan diajukan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan beberapa individu, seperti Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, yang menilai aturan itu diskriminatif.
Namun, MK yang saat itu dipimpin Mahfud MD, menolak gugatan tersebut. UU ini digugat kembali pada tahun 2013 oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang, namun tetap gagal. (VOA)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...