Mata Tuhan untuk Kemanusiaan Nepal
SATUHARAPAN.COM – Gempa 7,9 skala richter yang menimpa Nepal 25 April lalu telah memancing ingatan tentang sebuah novel yang saya baca lima tahun lalu: Arresting God in Kathmandu (2001). Novel karya Samrat Uphadyay itu adalah karya sastra pertama yang ditulis orang asli Nepal di dalam bahasa Inggris, berisi sembilan cerita pendek.
Di dalamnya terdapat kisah seorang suami yang kehilangan pekerjaan akutansinya karena perusahaan menginginkan pegawai muda yang bisa menguasai komputer. Perusahaan menginginkan citra lebih mengglobal, tidak terkurung wajah bisnis Nepal yang arkais. Ada kisah percintaan terlarang antara dua orang yang terluka dan telah menikah; cinta yang dianggap aib bagi masyarakat Hindu-Buddha Nepal.
Ada kisah seorang istri muda “kurang ajar” yang melakukan percintaan dengan laki-laki lain di rumah suaminya. meskipun demikian sang istri tetap menjadi pelayan yang patuh bagi suaminya yang berprofesi sebagai guru dan sedang terkulai sakit. Ia tak bisa menolak naluri alamiah untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, karena di dalam pernikahannya sendiri tidak ia dapatkan.
Novel itu menjadi seperti sebuah narasi poskolonial. Meskipun menggunakan bahasa Inggris, ia tidak terikat dalam idiom American-english, tapi Nepali-english (Nepalish). Ada beberapa kata-kata khas lokal seperti “roti”, “guru”, “puja”, “jilebi” digunakan. Secara umum Arresting God in Kathmandu memperlihatkan ranjau-ranjau ironi dan kompleksitas kebudayaan, antara gairah yang tumbuh di masing-masing tokoh dan muara spiritualisme masyarakat Nepal.
Kemuraman Bencana
Genre angst atau kemuraman dalam kisah-kisah itu sesungguhnya menggambarkan Nepal hari ini. Gempa negeri Himalaya itu tidak terduga dashyatnya. Pada hari pertama gempa diberitakan “hanya” 600 orang meninggal dunia. Kini terdata lebih7000 jiwa telah meninggal.
Perdana Menteri Nepal, Sushi Koirala, memperkirakan korban tewas bisa mencapai 10 ribu jiwa karena banyak korban dari daerah-daerah terpencil belum terhitung. Bahkan gempa Nepal kali ini dianggap lebih buruk dibandingkan tahun 1934 yang menewakan 9.040 jiwa.
Kini dengan kordinasi penanganan bencana nasional yang buruk dan lambatnya respons tanggap-darurat dari dunia internasional, telah menambah kelipatan duka pascagempa. Berkaca dari penanganan bencana gempa dan tsunami Aceh, ketika hingga pada hari kelima penanganan darurat yang obat-obatan, makanan, dan pakaian tidak bisa sampai kepada korban secara minimal, problem bencana alam telah mulai mengarah pada bencana sosial-kemanusiaan.
Tentu juga tidak dapat diharapkan upaya seperti penanganan Aceh. Pertama, Nepal adalah salah satu negara di Asia yang sempat lama hidup dalam ideologi komunis sehingga jauh dari pengaruh asing. Uniknya ketertutupannya masih terjadi bahkan ketika Tiongkok yang menjadi pusat komunisme Asia telah sangat terbuka. Negara-negara komunis satelit seperti Vietnam dan Laos juga mulai terbuka. Mungkin Monggolia dan Korea Utara yang mirip situasinya dengan Nepal. Yang paling banyak mengunjungi Nepal hanya para turis yang memacu adrenalin di pegunungan tertinggi di dunia itu.
Kedua, posisi Nepal yang berada jauh dari tatapan matahari industri dana global juga menjadikan pola bantuan tidak sespontan ketika penanganan bencana di negara-negara terbuka dan “sangat non-Blok” seperti Indonesia. Sebelum 24 jam, helikopter dan pesawat dari kapal induk Amerika di perairan Samudera India telah merapat ke Aceh pascagempa dan tsunami 26 Desember 2004. Bantuan-bantuan internasional mulai sejak hari kedua bencana. Jakarta dengan cepat mengumumkan bahwa bantuan asing dipermudah proses imigrasinya ke Aceh.
Faktor ketiga secara geografis Nepal berada di antara negara-negara yang memberlakukan restriksi berlapis terhadap modal dan bantuan dunia luar. Tidak banyak industri dan sumberdaya alam yang dieksplorasi oleh perusahaan multinasional di negara itu. Nepal juga tidak memiliki batas laut sehingga tidak mudah bantuan melalui kapal dapat memanfaatkan laut bebas untuk merapatkan bantuan skala besar.
Keempat, dunia juga kurang terlihat antusias membantu Nepal. Indonesia sendiri baru memberangkatkan bantuan pada hari keempat pascabencana. Itu pun lebih diprioritaskan mengevakuasi WNI dan mencari yang hilang. Jumlah WNI yang berada di Nepal sendiri cukup minimal, kurang dari 100 orang.
Ketika bencana di Aceh, hanya dalam waktu satu satu minggu telah terkumpul lebih 500 juta euro untuk penanganan darurat bencana tsunami, dan dalam sebulan terkumpul komitmen dari lembaga PBB, LSM internasional dan negara donor mencapai 7,5 miliar dollar untuk rekonstruksi dan rehabilitasi. Statistik menyebutkan, lebih satu juta jiwa terdampak bencana gempa Nepal, meskipun angka kematian “tidak fantastis”. Seperti judul novel Samrat, hanya Tuhan yang lebih banyak tertawan di negara ini pada hari-hari pascabencana.
Hancurnya Peradaban
Gempa di Nepal bukan saja merusak bangunan publik dan perumahan, tapi juga merusak situs-situs bersejarah. Beberapa kuil yang berumur ratusan tahun seperti Krishna Mandir di Patan dan Kathmandu Durbar Square hancur bagai bubur dalam satu menit.
Salah satu yang mungkin tidak diketahui banyak orang adalah keberadaan situs arkais di Lumbini, yang dipercaya sebagai tempat kelahiran Sakyamuni, sang Buddha Gautama. Kota yang dekat dengan perbatasan India itu tidak seindah dan serapi kompleks percandian Bayon dan Ta Phrom di Kamboja, Candi Sewu di Prambanan, atau Candi Kembarbatu di Muaro Jambi.
Namun, dari bukti eskavasi para arkeolog Nepal dan internasional pada 1896, ditemukan pilar batu dan stupa yang membuktikan kelahiran Sang Buddha secara otentik, termasuk potongan rambut, bekas gigi, potongan kuku, bekas jubah, dan mangkuk minta-mintanya. Benda-benda arkeologis itu tersebar di beberapa tempat dan dibawa oleh murid-muridnya ke Kusinagar, Maghada, Vaisati, Kapilavastu, Allakappa, Koliyanagara, Vathadipa, dan Pava (Mudji Sutrisno, Aruphadatu, 2014 : 7).
Sejarah ini membuktikan Nepal menjadi bagian dari pusat peradaban agama besar dunia. Ia menjadi pertemuan peradaban Budha dan Hindu. Pengaruh Hindu menguat setelah Raja Ashoka dari India mengunjungi tempat ini pada 249 SM. Relik-relik sejarah itu masih terjaga baik karena Nepal belum dirusak oleh globalisasi turisme-konsumerisme dan terorisme.
Sedikit mengembirakan, aksi-aksi kemanusiaan untuk Nepal mulai marak dilakukan masyarakat Indonesia untuk mengurangi derita dan tangis para korban. Aksi-aksi itu didorong rasa kemanusiaan yang tak tandas, meskipun masyarakat kita sebagian besar berbeda agama dengan masyarakat Nepal. Masyarakat Aceh juga ikut bergerak secara massif dan sukarela.
Saya tak tahu apakah Komunitas Hakka, Lakpesdam NU, dan Gerakan Pemuda untuk Perubahan (Gempur) Banda Aceh mengerti mengerti tentang kesejarahan Budha di Nepal. Mereka melakukan aksi kemanusiaan sejak hari kedua bencana dan berpuncak pada 3 Mei lalu. Namun tanpa pengetahuan historis pun mereka giat melakukan aksi pengumpulan dana termasuk menampilkan atraksi barongsai. Mereka mencoba menghidupkan cahaya Tuhan melalui aksi-aksi riil dan simbolis untuk para korban gempa Nepal.
Sesungguhnya itulah puncak Himalaya kebaikan, ketika kita siap membantu tanpa perlu tahu apa agama korban dan bagaimana kebudayaan masyarakat yang dibantu.
Penulis adalah seorang antropolog Aceh
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...