May Day, Profesor Hong Kong Ingatkan Cukup Bekerja 8 Jam Sehari
HONG KONG, SATUHARAPAN.COM – Berbagai organisasi ketenaga kerjaan di berbagai penjuru dunia setiap 1 Mei memperingati Hari Buruh atau yang beken dikenal dengan “May Day." Hari Buruh tidak dapat dilepaskan dari peran modal dalam perekonomian suatu negara, tetapi di sisi lain ia juga sebagai pengingkat korporasi agar tidak mengorbankan pekerja.
“Kita tidak dapat meningkatkan efisiensi ekonomi dan daya saing dengan mengorbankan kesejahteraan pekerja. Tanggung jawab sosial perusahaan tidak terpenuhi hanya dengan membantu badan amal dengan menyisihkan laba,” kata salah satu guru besar pekerjaan sosial dan administrasi sosial di University of Hong Kong, Paul Yip Siu Fai dalam kolom opini di South China Morning Post, Kamis (30/4).
Siu Fay menyebut May Day adalah pengingat bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mayoritas pekerjanya. Peraturan jam kerja maksimum berfungsi sebagai semacam perlindungan bagi orang yang bekerja di industri sehingga mereka tidak dieksploitasi apabila melakukan lembur tanpa imbalan.
“Saya melihat hal ini dibuktikan dengan seberapa baik majikan memperlakukan karyawan mereka, terutama mereka dengan daya tawar yang rendah. Bagaimana pekerja dalam masyarakat kita hidup dalam kondisi rentan dewasa ini,” Yip Sui Fai menambahkan.
Yip Sui Fai menjelaskan 1 Mei dipilih sebagai hari buruh untuk memperingati peristiwa Haymarket Affair pada 4 Mei 1886, di Chicago, Amerika Serikat. Kala itu, polisi membubarkan rapat umum selama pemogokan yang menuntut delapan jam kerja dalam sehari, ketika seseorang melemparkan bom kepada petugas. Polisi menanggapi dengan menembaki para pekerja, menewaskan empat orang.
Yip Sui Fai menjelaskan sejak awal abad ke-19, serikat buruh dari berbagai negara telah menganjurkan gerakan bekerja delapan jam sehari sementara delapan jam lainnya dapat dimanfaatkan untuk rekreasi dan istirahat.
“Jika dapat lulus dari ujian ini, Hong Kong benar-benar dapat membanggakan prestasi ekonominya. Sebagai warga global, Hong Kong dapat mempromosikan praktik yang baik dalam memajukan kemanusiaan,” Yip Siu Fai menjelaskan.
South China Morning Post menyebut sebuah komite pekerja pemerintah Hong Kong menyiapkan investigasi tentang praktik pekerja di Hong Kong sejak dua tahun lalu mengenai aturan bekerja delapan jam sehari di sejumlah perusahaan sekaligus menyepakati jumlah jam yang tercantum dalam kontrak kerja.
“Namun, yang lebih mengkhawatirkan saya dalam mengatur jam kerja adalah tentang pekerja yang mudah dieksploitasi oleh majikan karena memiliki keterampilan yang minim. Pekerja tersebut memiliki daya tawar yang sangat rendah dan bos mereka memiliki sedikit insentif untuk memperbaiki kondisi,” kata Yip Siu Fai.
Yip menyebut sebuah keseimbangan dalam dunia kerja sangat penting bagi orang untuk menjaga kesejahteraan mereka. Hong Kong dikenal memiliki jam kerja terpanjang bagi para profesional dan non-profesional, dengan hampir setengah bekerja keras lebih dari 50 jam seminggu.
“Seorang tenaga profesional dengan gaji yang tinggi dapat menerapkan prinsip work hard play hard, (bersenang-senang yang sama puasnya dengan bekerja) yakni dengan melakukan perjalanan atau berlibur jauh ke Eropa atau Laut Tengah seperti orang Barat. Nah, tapi pekerja yang dibayar rendah bekerja keras namun tidak memiliki kesempatan bersenang-senang, dan mereka harus keteteran membayar tagihan bulanan,” Yip menambahkan. (scmp.com).
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...