Media Sosial Dinilai Efektif untuk Kampanye
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengamat media sosial Sony Subrata mengatakan kampanye melalui jejaring sosial merupakan sarana yang cukup efektif untuk mendulang suara bagi partai politik, kandidat wakil rakyat, maupun capres pada Pemilihan Umum mendatang.
Pada Seminar tentang pemanfaatan teknologi dalam pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia dan Kedutaan Besar Kanada di Jakarta, Kamis (27/2), Sony mengatakan bahwa kampanye menggunakan jejaring sosial dinilai lebih ampuh daripada metode kampanye tradisional seperti menggunakan baliho maupun selebaran.
"Pemilih muda sekarang tidak akan percaya dengan iklan-iklan kampanye di televisi. Namun, ketika ada temannya mengatakan bahwa seorang kandidat tertentu itu bagus, maka dia akan lebih percaya dengan cara seperti demikian," kata Sony.
Salah satu keunggulan dari sosial media adalah teknologi tersebut tidak mengenal batasan fisik dalam hal konektivitas.
"Ketika masyarakat mendengar tentang kebaikan seorang kandidat, mereka akan menyebarkan kabar tersebut melalui jejaring sosial. Berita bagus menyebar dengan cepat, sementara berita jelek bahkan menyebar lebih cepat," kata Sony.
Walaupun pengguna media sosial seperti Twitter di Indonesia hanya sekitar 30 juta, dengan 20 juta pengguna aktif, namun para pengguna tersebut mempunyai faktor mempengaruhi orang-orang sekitarnya.
"Sebagai contohnya jika dalam satu keluarga ada satu anak saja yang mempunyai akun jejaring sosial, maka dia bisa berbagi tentang suatu berita atau keunggulan kandidat ke seluruh anggota keluarganya," kata Sony.
Sementara jika seorang "buzzer", akun Twitter yang mempunyai pengikut 2.000 atau lebih, memposting twit yang menyerang atau mendukung seorang kandidat, maka pengaruhnya akan sangat besar, kata Sony yang pernah juga menjadi konsultan politik Jokowi dan Dahlan Iskan tersebut.
Akan tetapi, lewat media sosial pun, fitnah terhadap seorang calon pun akan cepat sekali menyebar secara tidak bertanggung jawab.
Percakapan-percakapan tentang siapa yang paling ramai dibicarakan di media sosial pun bisa dipantau untuk memprediksi siapa kira-kira pemenang dari suatu pemilihan umum, kata Sony.
Dalam kesempatan yang sama, Pengamat politik Anisa Santoso, yang mendapatkan gelar doktor dari Universitas Nottingham, Inggris, mengatakan penggunaan media sosial dalam kampanye terbukti menjadi penentu kemenangan Partai Konservatif dalam pemilihan umum 2010 di Inggris.
Partai Konservatif memilih pendekatan non-leaflet yaitu menggunakan media sosial dan media online untuk mengampanyekan visi dan misi mereka, kata Anisa.
"Eksposur media sosial kepada kandidat yang tidak populer pun bisa menjadikan dia pemenang pemilu asalkan dia sering muncul di media ataupun televisi. Orang menjadi penasaran dan mencari informasi tentang kandidat tersebut," kata Anisa.
Sementara itu, Direktur Central for Election and Political Party Universitas Indonesia Reni Suwarso mengatakan bahwa telah terjadi perubahan karakter pemilih dari pemilu 2009.
"Pada pemilu 1999, orang sangat antusias dalam pemilu. Tidak usah disuruh atau diberi uang, pasti mereka mau mencoblos. Sementara pada pemilu 2004, antusiame pemilih menurun dan pragmatisme semakin tinggi terutama pada generasi muda," kata Reni.
Oleh karena itu, kandidat politik harus bisa memetakan target pemilih potensial mereka agar kampanye mereka tepat serta lebih efektif dan efisien mengingat pemilih terbesar adalah masyarakat yang tinggal di perkotaan atau pinggiran kota dan bukan mereka yang berada di pedesaan, kata dia.
Perubahan pola kampanye pun sekarang menuntut kandidat harus menjangkau pemilih potensial mengingat masyarakat tidak lagi memilih partai melainkan calon pemimpin mereka.
Pemilih muda yang sebagian besar memiliki akses ke dunia maya dan jejaring sosial pun menjadi salah satu sumber mendulang suara potensial dalam Pemilu 2014 mendatang, kata Reni. (Ant)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...