Melanchton Siregar, Pejuang Nasional dari Tapanuli
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kiprah heroik Melanchton Siregar (1912-1975), yang pada 2013 ini diusulkan menjadi Pahlawan Nasional, tergambar pada wajah perang mempertahankan kemerdekaan RI, terutama menghadapi agresi militer Belanda I dan II, yang berupaya menancapkan kembali pengaruhnya. Dengan memimpin pasukan laskar Divisi Panah, yang dibentuk Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Melanchton menunjukkan sosok pejuang, yang mempertaruhkan nyawa. Ia dan pasukannya berjuang antara Medan Area dan Tapanuli.
Berdasarkan catatan sejarah, dua kali pasukan Belanda membom markas pasukan Melanchton. Pertama di Pematang Siantar, yang memaksa pejuang, yang juga pendidik itu, mengungsi ke Tapanuli Utara. Ia dan pasukannya mendirikan markas di sekitar Muara. Lalu Belanda pun menjatuhkan bom di Lintongnihuta, karena mengira Melanchton, dengan nama samaran Partahuluk Raso, berada di sana. Ternyata, pemimpin pejuang rakyat itu berada di tempat lain, yang disebut Gua Sitio-tio, tak jauh dari Lintongnihuta.
Dalam buku Melanchton Siregar Mempertahankan NKRI, yang baru terbit (2013), digambarkan masa perjuangan fisik Melanchton menghadapi pasukan Belanda, antara 1945 – 1948. Dari depan kelas, sebagai pendidik, ia maju ke medan perang, karena keterpanggilan membela Tanah Air. Sebab dengan dijajah kembali, maka jalan menuju masyarakat yang cerdas dan makmur, tidak akan tercapai.
Gerakan Divisi Panah yang dipimpin Melanchton, tak hanya mengangkat dan menembakkan senjata, tapi juga membuka jaringan agar logistik untuk pasukan rakyat dari laskar lainnya, tersalur dengan lancar. Logistik sangat diperlukan agar gerakan rakyat bersenjata dapat menembus pertahanan musuh. Selain itu, Melanchton tetap berupaya menjaga agar kehidupan masyarakat, yang mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian, tetap berlangsung seperti biasa. Maka pasar di daerah perjuangan tetap dibuka untuk menampung pasokan komoditas pertanian rakyat.
Di tengah perjuangan fisik dan di tengah desingan peluru, komitmen Melanchton pada pendidikan tidak pernah luntur. Dalam serba keterbatasan dan keamanan yang tidak terjamin, ia tetap menyempatkan diri mengajar penduduk. Ia juga mendorong warga ikut mendirikan bangunan sekolah, sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Sedang untuk memenuhi kebutuhan akan pendidik, ia melatih bekas anak didiknya menjadi guru. Maka, kala itu masalah pendidikan dapat diatasi.
Pindah ke Jakarta
Melanchton, yang lahir di Pearung, Tapanuli Utara (sekarang Kabupaten Humbang Hasundutan), pada 7 Agustus 1912, memang tak pernah berhenti berjuang. Di bidang politik, ia memasuki Parkindo dan menjadi salah seorang pimpinan. Hasil Pemilu 1955 (pemilu pertama RI), mengantarkannya menjadi anggora DPR di Jakarta. Maka, tempat berkiprah pun berpindah tempat, dari Sumatera Utara ke Jakarta.
Itulah awal Melanchton melebarkan pengabdiannya untuk nusa dan bangsa. Setelah dari DPR (1955-1960), ia terpilih sebagai anggota DPR-GR/MPRS, dan kemudian menjadi Wakil Ketua MPRS (1966-1972). Dengan berakhirnya pengabdian di MPRS, Melanchton diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1973) sampai wafat pada 24 Februari 1975, dan kesokan harinya dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata Jakarta.
Sebagai politikus dan negarawan, Melanchton Siregar mengedepankan kesabaran, ketenangan, dan ketekunan. Dengan sikap demikian, ia mampu menyelesaikan masalah-masalah pelik dan peka, tanpa ada yang merasa kalah atau kehilangan muka. Pada masa itu, peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, situasi politik dan keamanan tidak tergolong kondusif. Pada masa itu, MPRS yang diketuai oleh Jenderal A.H. Nastution, juga dihadapkan pada masalah pelik dan teramat peka. Tentu, tak mudah menyelesaikan masalah demikian.
A.H. Nasution memercayakan penyelesaian masalah pelik dan peka kepada Melanchton, karena sikap sabar dan tenang. Maka, Melanchton disebut sebagai "perwira proyek" bagi soal-soal yang peka. Di antaranya, menjadi Ketua Panitia Kesatuan Tafsir Pancasila. Kemudian mengurus sengketa dengan Fraksi Karya, yang sesudah 1968 tidak mengakui susunan Badan Pekerja, sehingga tidak bersedia berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Badan Pekerja MPRS, sehingga segala sesuatu macet sampai berakhirnya jabatan MPRS tahun 1972. Nasution pun menyebut Melanchton sebagai trouble shooter dalam soal-soal yang peka dan pelik, yang memerlukan kesabaran dan ketabahan.
Dalam posisi sebagai anggota DPR, MPRS, dan kemudian DPA, Melanchton melaksanakan pengabdiannya dalam bidang diplomasi di dalam dan luar negeri. Pada kunjungannya di berbagai negara dan menghadiri Sidang PBB di New York, ia menjalin persahabatan dan kerja sama. Ia juga tak lupa menggali pengetahuan tentang pembangunan, demokrasi, dan kebangsaan.
Posisi sebagai pendidik, pejuang, politikus, dan negarawan itu dilakoninya sejak lulus dari Hoofdacte Cursus (setingkat D III Pendidikan) di Bandung pada 1938, hingga wafat semasih menjadi anggota DPA. Maka, pengabdiannya kepada bangsa dan negara tidak pernah berhenti. Ia terus melangkah dan meninggalkan jejak-jejak kepejuangan untuk generasi kini dan mendatang.
Editor : Sabar Subekti
MUI: Operasi Kelamin Tak Ubah Status Seseorang dalam Hukum A...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengomentari v...