Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 17:36 WIB | Sabtu, 28 Oktober 2017

Melawan Narasi Kebencian Berdasar Identitas

Dari kiri ke kanan: Saidiman Ahmad dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Editor Jakarta Globe Natalia Laskowska, Wakil Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest, dan Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Profesor Sulistyowati Irianto dalam dalam Diskusi Publik Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) "Siapa Pribumi" di Jakarta (27/10). (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Narasi kebencian berdasar identitas dalam kampanye politik saat Pilkada DKI telah memecah belah masyarakat. Seperti yang terjadi di seputar Pilkada DKI lalu.

Hal ini kembali mencuat menyusul pidato pertama Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta pada 16 Oktober lalu. Dalam pidatonya, Anies mengatakan, "Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami."

Orang muda seperti Rian Ernest berpendapat narasi ini menunjukkan situasi setelah Pilkada DKI belum stabil. Warna sektarian masih menguat akibat persoalan identitas yang dibawa-bawa saat Pilkada.

"Kurang lebih satu tahun kita bergelimangan di isu SARA. Sebelum Pilkada, saat kampanye, maupun setelah Pilkada kemarin," kata Wakil Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Rian Ernest dalam Diskusi Publik Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) "Siapa Pribumi" di Jakarta, hari Jumat (27/10).

Narasi kebencian berdasar identitas ini disebutnya sebagai hantu yang sengaja diciptakan elit-elit politik. Narasi itu harus dilawan karena berdampak pada masyarakat. Selain itu mempolitisir identitas yang memecah belah tidak akan memecahkan persoalan fundamental yang dihadapi negara.

"Menurut saya, kita harus melawannya. Seperlima waktu kita isinya was-was. Bukan dengan menciptakan hantu dan masalah itu akan hilang."

Politisasi Identitas dan Perbedaan

Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI) Profesor Sulistyowati Irianto mengatakan pada dasarnya identitas itu bersifat sangat cair dan bisa berubah.

"Yang namanya identitas itu bisa kita mainkan tergantung kepentingan apa yang bisa kita miliki. Seperti ingin diterima atau meraih kekuasaan. Identitas itu bisa juga ada dalam tensi, ketegangan. Seseorang dapat mempunyai banyak identitas. Tergantung kapan dia mengaktifkan identitas itu. Itu bisa dimainkan tergantung dari kepentingannya," kata Sulistyowati Irianto.

Dia menyebut  wilayah seperti Jakarta tidak mempunyai budaya dominan. Karena semua suku bangsa berada di Jakarta.

Sementara Bandung itu mempunyai kebudayaan dominan Sunda dan Yogyakarta kebudayaan dominannya Jawa. Karena itu tidak mengherankan ketika orang luar Bandung ketika  belajar di perguruan tinggi di Bandung akan berusaha berbudaya Sunda supaya diterima. Begitu pula yang belajar di Yogyakarta akan berusaha berbudaya Jawa.

Sulistyowati Irianto menegaskan ilmu pengetahuan sendiri membuktikan tidak ada konsep pribumi. Seperti genetik (DNA), sejarah migrasi manusia, maupun asal usul manusia. Di dalam diri seseorang terdapat pelbagai genetik. Karena itu tidak ada yang berdarah murni maupun pribumi.

Kontruksi Identitas dan Liyan

Sulistyowati Irianto berpendapat identitas itu adalah suatu hal yang dikontruksikan. Dia melekat di dalam pikiran.

"Siapa yang mengkontruksi identitas itu? Jawa, Cina, Islam, Kristen, itu yang mengkontruksi adalah keluarga, lingkungan. Itu yang menempel di kepala kita. Anak-anak tidak mau bermain dengan orang Kristen karena kata orang tua, kata guru,… itu kontruksi. Padahal anak-anak tidak dilahirkan sebagai rasis."

Identitas faktanya ada pelbagai macam. Hal itu menjadi masalah ketika dipolitisasi. Sehingga yang tidak sama atau berbeda dianggap sebagai liyan.

"Perbedaan seperti suku, agama, atau kelas itu menjadi masalah ketika dipolitisasi. Sehingga terjadi pembedaan, pembatasan, pengucilan. diskriminasi. Orang yang berbeda adalah liyan. Orang yang berbeda itu bisa dikucilkan karena faktor ketidaksamaan. Kalau bicara pilkada atau pilpres, perbedaan itu diciptakan supaya bisa mengeluarkan seseorang dari kompetisi politik. Diberi label-label. Jokowi yang berwajah Jawa disebut sebagai Cina, PKI. Hal ini menunjukkan sebenarnya terjadi politisasi identitas. Karena itu saya himbau jadilah cerdas. Cari jawaban dalam ilmu pengetahuan. Berita hoaks, fitnah, dilawan dengan menjadi cerdas dan mencari dalam ilmu pengetahuan."

Narasi Kebencian Tidak Hilang Pasca Kemenangan

Editor Jakarta Globe Natalia Laskowska menyebut politik pecah belah bermunculan di pelbagai belahan dunia. Di Polandia, Austria, Jerman, Amerika Serikat, dan India. Bahkan di Inggris yang multikultur.

Awalnya dia menilai situasi politik global itu tidak akan berimbas sampai ke Indonesia. Tetapi faktanya kemudian itu juga terjadi di Indonesia.

 "Di Indonesia kayanya hal itu tidak mungkin dengan sejarah persatuannya, Pancasila, dan Bung Karno. Pahlawan nasionalnya berdarah campuran. Di Indonesia masyarakatnya tidak akan menerima itu. Makanya saya heran ketika perpecahan berdasarkan suku atau agama muncul di sini."

Dia menilai narasi kebencian itu yang dihembuskan saat Pilkada tidak akan menghilang dengan sendirinya usai Pilkada. Akibatnya, narasi kebencian akan terus menjadi masalah.

"Kebencian setelah kemenangan tidak akan hilang. Tetapi tetap akan ada. Ini masalahnya. Dialektika kebencian mempunyai tujuan tertentu dan kita harus sadar jangan-jangan kebencian itu tidak bisa kita kendalikan lagi."

Dia membandingkan situasi yang sama pernah terjadi di Yugoslavia pada tahun 1990-an. Negara itu terkoyak oleh perbedaan suku dan agama.

"Saya melihat dari TV yang terjadi Srebrenica. Orang diborgol, diikat dengan kawat berduri, dibakar hidup-hidup karena kebencian yang mendadak jadi alat poitik. Padahal situasi sebelumnya biasa-biasa saja. Mendadak suku dan agama menjadi masalah sampai begitu parah.

Yugoslavia dalam sejarah masa lalu dipenuhi tekanan akibat dijajah Turki Usmaniyah.

"Dalam setiap masyarakat ada tekanan-tekanan, kita bisa menemukannya. Dan itu sejarahnya lama, dari zaman Turki Usmaniyah. Tetapi kita bisa mengatakan ini ada sejak zaman Kain dan Habel. Itu terjadi pada semua masyarakat. Tetapi tidak perlu tekanan itu berubah menjadi konflik berdarah. Konflik berdarah tidak akan terjadi jika tidak ada yang memicu kebencian," katanya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home