Melipatgandakan Harga Rokok
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rokok merupakan suatu komoditas yang bagi sekelompok orang merupakan kebutuhan pokok. Bahkan banyak diantara perokok yang mengatakan bahwa lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Hal ini menjadi persoalan bagi dunia, beban kesehatan yang diakibatkan oleh rokok menjadi besar, demikian juga akibat negatif (negative externality) lainnya akibat rokok.
Biaya untuk mengatasi externalitas negatif dapat diperoleh pemerintah dengan menetapkan cukai. Cukai juga berguna untuk menurunkan konsumsi barang atau jasa yang dikenakan cukai, melalui mekanisme harga. Untuk barang normal, semakin tinggi harga maka semakin rendah permintaan.
Dalam teori ekonomi, besarnya penurunan permintaan akibat kenaikan harga tergantung dari elastisitas barang. Suatu barang dikatakan elastis, maka persentase kuantitas penurunan permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kenaikan harga. Rokok merupakan barang inelastik, artinya jika harga rokok naik 1% maka konsumsi rokok akan turun kurang dari 1%. Perokok yang telah kecanduan akan membeli berapapun harga rokok.
Kenaikan harga rokok yang tidak signifikan tidak dapat menurunkan harga rokok. Harga rokok dapat naik dengan dua acara, pertama apabila pemerintah menaikkan tariff cukai dan kedua apabila pabrik rokok menaikan harga. Undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang cukai menetapkan batas atas tariff cuka irokok. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa Barang kena cukai berupa hasil tembakau dikenai cukai berdasarkan tarif paling tinggi: 57% (lima puluh tujuh persen) dari harga dasar apabila harga dasar yang digunakan adalah harga jual eceran.
Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS) yang dikepalai oleh Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH menyerukan agar pemerintah dapat membuat harga rokok naik menjadi Rp. 50 ribu rupiah per bungkus. Kenaikan harga rokok secara otomatis akan menaikkan keuntungan bagi pabrik rokok, sekaligus penerimaan bagi pemerintah.
Apabila kenaikan hanya diberlakukan untuk tarif cukai, maka kenaikan harga rokok hanya akan menjadi penerimaan bagi pemerintah. Rokok merupakan barang yang inelastik, sehingga kenaikan harga sebesar dua kali lipat atau 100%, tidak serta merta menurunkan permintaan rokok sebesar 100%. Kenaikan harga rokok akan memberikan tambahan profit bagi perusahaan rokok untuk periode waktu tertentu, sebelum konsumsi rokok menurun. Selama periode ini perusahaan dapat merencanakan untuk melakukan investasi pada sector usaha lainnya yang akan menggantikan rokok, sehingga tidak perlu terjadi pemutusan hubungan kerja pekerja rokok dan pekerja lainnya yang terkait rokok.
Kelompok perokok berpendapatan rendah adalah yang paling mendapatkan perhatian. Perokok berpendapatan tinggi dapat terus merokok meskipun harga rokok dilipat gandakan. Sementara perokok berpendapatan rendah akan berusaha mencari rokok murah untuk menggantikan rokok yang harganya tidak dapat dijangkau lagi. Hal ini memberikan kesempatan penjualan rokok ilegal (yang tidak membayar cukai dan tidak mengikuti harga dasar yang ditetapkan pemerintah) meningkat. Perokok juga akan mencari alternatif melinting sendiri rokok di rumah, sehingga permintaan bahan baku rokok seperti bubuk tembakau, cengkeh dan kertas pelinting akan meningkat.
Pada Tahun 2009, LPEM FEB UI melakukan penelitian mengenai cukai palsu dan memperkirakan bahwa pemerintah merugi Rp 12 triliun per tahun, akibat tingginya peredaran rokok tidak bercukai atau menggunakan cukai palsu. Rokok seperti ini dijual dengan harga jauh lebih rendah daripada rokok legal. Di DKI Jakarta jarang sekali dijumpai rokok seperti ini, namun di desa-desa yang dekat dengan lokasi pabrik rokok besar (Kudus, Kediri, dll) mudah sekali ditemukan rokok seperti ini di warung-warung rokok. Jika pengawasannya tidak diperketat, maka peredaran rokok ilegal akan meluas sampai ke kota-kota besar, kemungkinan dari wilayah yang warganya berpenghasilan rendah.
Kunci keberhasilan melipat gandakan harga rokok berada di tangan pemerintah. Pemerintah harus memiliki infrastruktur yang cukup agar rokok ilegal tidak beredar semakin luas. Pemerintah harus dapat menfasilitasi perusahaan rokok yang akan mengalihkan usahanya ke bidang usaha lainnya. Pemerintah juga harus membangun fasilitas bagi perokok yang ingin berhenti merokok. Apabila semua ini terkelola dengan baik, konsumsi rokok menurun, tingkat kesehatan masyarakat meningkat, penerimaan pemerintah meningkat tajam, sector usaha alternatif berkembang, pada akhirnya Indonesia menjadi negara maju, rakyatnya makmur dan sejahtera. ***
Dr. Eugenia Mardanugraha adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, meraih gelar doktor ekonomi pada FEB Universitas Indonesia, dapat dihubungi di eugenia.marda@gmail.com
Editor : Eben E. Siadari
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...