“Membaca” Ahok
Jakarta, Satuharapan.com - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah sosok yang sering menjadi perbincangan di media massa, terutama media massa nasional. Nyaris tiada hari tanpa menyebut kata “Ahok”. Pertama, mungkin karena faktor Jakarta sebagai Ibukota RI sedemikian penting dan “seksi” untuk dibahas. Kedua, sosok Ahok itu sendiri yang fenomenal sekaligus kontroversial. Ketiga, perbincangan menjadi semakin seru akhir-akhir ini karena perebutan kursi DKI 1 yang akan dihelat sekitar awal tahun 2017. Seperti biasanya, kompetisi menuju Gubernur DKI selalu lebih seru dan menantang dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Sebagai sosok yang fenomenal dan kontroversial, Ahok cukup penting untuk dianalisis dan tampaknya bisa menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat dan negeri ini. Tulisan ini mencoba “membaca” Ahok kaitannya dengan kebangsaan dan keindonesiaan kita yang terus berproses dan berjalan.
Ahok di tengah Korupsi dan Hipokrisi
Ahok adalah pengagum Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden RI keempat. Sama seperti Gus Dur, sebagai manusia, Ahok juga punya kawan dan lawan. Ada masyarakat yang pro, ada yang kontra. Namun, melihat elektabilitas Ahok yang tergolong tinggi dan jauh mengungguli beberapa nama yang akan maju sebagai cagub DKI mendatang, bisa ditebak bahwa masih banyak masyarakat yang pro daripada yang kontra.
Masyarakat ternyata semakin cerdas dan bijak. Faktor “tionghoa” dan “non-muslim” (atau lebih luas disebut isu “SARA”) yang sering dipakai pihak-pihak tertentu untuk “menggembosi” dan “meruntuhkan” Ahok ternyata tak mempan. Masyarakat, terutama penduduk DKI, hanya melihat kualitas seseorang dan kinerjanya, bukan apa agama, suku, etnis, golongan, dan seterusnya.
Maka, sungguh memprihatinkan jika sampai hari ini masih ada pihak-pihak tertentu yang mencoba menjaring cagub DKI berdasarkan agama yang disandangnya dan dipakai “senjata” untuk mengalahkan Ahok. Sentimen agama dipakai kelompok tertentu untuk memikat dan menggerakkan massa. Cara-cara seperti ini jelas merupakan kemunduran dari visi kebangsaan dan kebhinekaan kita. Padahal, kebhinekaan punya akar budaya dan historis yang panjang di Nusantara tercinta ini.
Mudah diperkirakan, Ahok akan punya lawan sebanding jika dua nama yakni Ridwan Kamil (Walikota Bandung) dan Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) maju mencalonkan diri sebagai Cagub DKI. Inipun bisa diprediksi, Ahok tetap akan memenangi persaingan meskipun hanya selisih suara secara tipis. Jika Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini tak maju, setidaknya hingga sekarang sulit mencari lawan sepadan untuk Ahok pada Pilgub DKI sekitar bulan Maret 2017 mendatang. Maka, Bimbim Slank mewanti-wanti kepada berbagai pihak, melawan Ahok pada Pilgub mendatang hanya buang-buang tenaga dan uang. Apalagi sosok seperti penyanyi Ahmad Dhani yang lagi-lagi disindir Bimbim Slank hanya untuk “lucu-lucuan” dan “meramaikan” demokrasi.
Selama menjabat gubernur DKI setelah Jokowi mundur dan menjadi presiden, kinerja Ahok tergolong cukup bagus terutama untuk mengatasi persoalan utama Jakarta yakni macet, transportasi, banjir, sampah, tata kota, reformasi birokrasi, dan sebagainya. Untuk kota seruwet dan sekompleks Jakarta tentu tak mudah mengatasi problemnya. Maka, bisa dimaklumi bahwa apa yang dikerjakan Ahok masih ada kelemahan di sana-sini. Namun, dilihat dari elektabilitasnya, mayoritas warga DKI cukup puas dengan kinerja Ahok dan tampaknya mereka siap memilih Ahok menjadi Gubernur DKI lagi pada Maret 2017 mendatang. Ini adalah fakta yang sulit dipungkiri. Bahkan, cukup banyak parpol yang “berebut” untuk mendukung Ahok. Lewat jalur independen sekali pun, Ahok kemungkinan besar akan tetap melenggang sebagai Gubernur DKI mendatang.
Watak Ahok yang tegas, berani, jujur, dan bersih juga merupakan daya tarik sendiri bagi masyarakat luas. Ketegasan Ahok kadang sesekali terkesan temperamen dan kasar. Dan, ini kadang juga disalahmengerti oleh sebagian masyarakat. Padahal, di negeri di mana banyak orang yang korup dan hipokrit, sikap Ahok justru sebenarnya sudah tepat. Untuk melawan hipokrisi, korupsi, dan mafia yang merajalela di segala lini kehidupan memang diperlukan sosok seperti Ahok yang bukan sekadar tegas, namun juga keras bahkan “radikal”. Sikap “santun” tidak akan berdaya dan tak ada gunanya di depan hipokrisi, korupsi, dan mafia yang meluas dan menggurita. Apalagi, mafia telah menghimpun diri dalam bentuk persekongkolan dan kekuatan jahat.
Orang yang korup dan hipokrit beserta kultur dan sistem yang menopangnya harus dibongkar, diteriaki kasar dan dihujat. Hanya dengan cara ini, mereka akan “siuman” dan “merasa” karena sudah sedemikian tebal muka dan bebal. Maka, sekali lagi, sikap temperamen dan keras (bahkan kasar) dari Ahok justru menjadi fungsional dan penting. Bahkan, sosok seperti Ahok sebenarnya sangat pas untuk menjadi presiden mendatang. Salah satu problem utama negeri ini adalah mafia dan korupsi di segala lini. Dan, ini semua baru bisa diatasi jika presidennya benar-benar berani, tegas, keras, dan radikal!
Indonesia sudah berganti-ganti presiden beberapa kali, namun toh tetap tak mampu melawan mafia dan korupsi. Mafia telah menyebar di berbagai sektor kehidupan tanah air yang strategis. Dan, jika tidak diatasi cepat atau lambat mafia dan korupsi akan menggerogoti dan mengambrukkan negeri ini. Presiden Jokowi ternyata masih belum mampu membuktikan keberanian dan ketegasannya dalam kenyataan. Tegas dan berani masih sebatas pada wacana dan tekad saja. Sebagai pemimpin, Jokowi memang punya “modal” yang lumayan yakni baik, jujur, bersih, sederhana, dan merakyat. Namun, ada hal penting lainnya yang masih kurang yaitu keberanian dan ketegasan, serta kewibawaan dan manajemen pemerintahan yang baik.
Jokowi tak punya keberanian dan ketegasan karena ternyata mafia masih merajalela. Jokowi juga belum punya kewibawaan dan manajemen pemerintahan yang baik karena justru sering ada “kesalahpahaman” dan “ketidaknyambungan” bahkan “perdebatan” antara Presiden dan Wapres, antara Presiden dan Menteri, dan antara Menteri dengan Menteri. Bahkan, baru kali ini terjadi di pemerintahan Jokowi (dan tak terjadi pada pemerintahan presiden-presiden lain sebelum Jokowi), ada Menteri yang saling “serang” dan saling “hambat”.
Religiositas Ahok
Berbeda dengan Jokowi, Ahok tampaknya punya keberanian, ketegasan, dan kewibawaan. Ini tentu merupakan modal penting bagi seorang pemimpin, terutama presiden. Usia Ahok masih cukup muda, dan kelak entah kapan kalau benar-benar menjadi presiden tentu akan ada sejarah baru di mana seorang presiden merupakan sosok beretnis Tionghoa. Tetapi, presiden RI keempat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebenarnya juga “berdarah” Tionghoa. Setidaknya, ini menurut pengakuan beberapa kali yang dikatakan Gus Dur sendiri. Menurut Gus Dur, nenek moyangnya adalah orang Tionghoa asli yakni dari Putri Campa yang menjadi selir Raja Majapahit Brawijaya V. Dari Putri Campa dan Brawijaya V lalu lahir seorang anak bernama China asli Tan Eng Hian yang kemudian mendirikan Kerajaan Demak dan berganti nama sebagai Raden Patah. Gus Dur punya garis keturunan dari Raden Patah ini.
Sangat mungkin, seiring berjalannya waktu, masyarakat kian bijak dan terbuka hatinya sehingga memilih presiden dari etnis Tionghoa. Yang penting sebenarnya bukan apa etnis, suku, dan agamanya, melainkan terutama watak, kemampuan, dan kualitasnya. Kalau dalam konteks Kepala Daerah, selain Ahok, masih ada dua Kepala Daerah lagi yang berdarah Tionghoa, yakni Cornelis MH (Gubernur Kalimantan Barat) dan Mochamad Anton (Walikota Malang). Dua-duanya memenangi pertarungan dalam Pilkada langsung. Cornelis MH bahkan dua periode menjabat sebagai Gubernur Kalbar yakni periode 2008-2013 dan 2013-2018. Ini menandakan bahwa Cornelis MH yang justru tionghoa dan non-muslim sebagaimana juga dengan Ahok mendapat apresiasi dan dukungan dari masyarakat luas. Sedangkan Mochamad Anton yang juga terbiasa dipanggil Abah Anton menjadi Walikota Malang periode 2013-2018.
Ahok mendapat dukungan masyarakat luas bukan sekadar karena watak, kualitas, dan kinerjanya, namun juga faktor “religiositas”-nya. Secara formal, Ahok memang seorang non-muslim (kristiani), namun nilai-nilai religiositas telah menyatu dalam dirinya. Salah satu nilai penting religiositas yang ada pada semua agama adalah upaya menegakkan keadilan dan memperjuangkan kemaslahatan. Untuk dua hal ini bahkan Ahok siap “mati” sampai-sampai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif berkomentar “Ahok telah putus urat takutnya”. Untuk memperjuangkan kebaikan dan kebenaran, Ahok tak mengenal takut karena dia yakin ada Tuhan yang “membackup”-nya. Maka, jujur, bersih, transparan, berani, tegas, keras, dan radikal pun menjadi bagian yang menyatu dalam diri Ahok untuk Jakarta yang lebih baik dan semakin baik.
Religiositas dan spiritualitas Ahok telah menyatu dalam dirinya sehingga dia pun sering peduli terhadap umat Islam. Ahok bukan beragama secara formal dan simbolik belaka, melainkan terutama secara substantif dan essensial. Maka, Ahok pun membangun dan memperbaiki masjid dan Islamic center, menghimbau para remaja untuk merawat dan “menghidupkan” masjid, mengumrohkan para merbot masjid, dan sebagainya.
Semua agama mengajarkan kebaikan dan kemuliaan dan tak ada yang mengajarkan keburukan dan kejahatan. Maka, saat kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan ditegakkan dan diperjuangkan, maka persis di sinilah nilai-nilai agama hadir secara otomatis yakni nilai-nilai religiositas dan spiritualitas yang ada dalam kenyataan. Dalam kondisi seperti ini, tak ada gunanya lagi berselisih dan bertengkar soal “perbedaan” agama. Yang penting adalah menyatunya nilai luhur semua agama dan kerjasama antar umat beragama untuk mewujudkan kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan.
Ahok menghayati dan mengamalkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat menjadi Gubernur DKI. Maka, mudah dimengerti dengan nalar sehat mengapa elektabilitas Ahok tergolong tinggi dan susah terbendung.
Penulis adalah Ketua Yayasan Hati Nurani Bangsa (YHNB)
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...