Membumikan Paradigma Inklusif
PAPUA, SATUHARAPAN.COM - Pada tanggal 26-27 November 2021, Semilokakarya Membangun Paradigma Inklusif (MPI) diselenggarakan di Hotel Horison Kotaraja, Papua. Semiloka yang diselenggarakan oleh PGLII, PGGP dan WVI ini dihadiri oleh para pemimpin gereja dan Sekolah Tinggi Teologi di Papua.
Semilokakarya ini dinilai penting untuk menggemakan dan membumikan paradigma inklusif, terutama dalam rangka mendukung 17 peserta Pelatihan untuk Pelatih MPI (ToT MPI) pada bulan September yang lalu. Ketujuhbelas peserta – yang merupakan Batch 1 ToT MPI – adalah utusan dari gereja dan lembaga Kristen di Papua dan membuat rencana aksi mengaplikasikan MPI yang perlu mendapat dukungan dari para pimpinannya.
Dalam acara Semilokakarya MPI para pemimpin ini mendapat paparan materi-materi MPI dan mendengar langsung dari peserta Batch 1 bagaimana materi-materi tersebut mengubah paradigma dan praktik-praktik dalam menjalani pelayanan mereka sehari-hari serta tantangan-tantangan yang dihadapi.
Berawal dari perenungan mengenai menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, seluruh peserta berdiskusi bersama bahwa Kerajaan Allah merupakan area atau wilayah dimana Allah diakui sebagai Raja. Pemerintahan Kerajaan Allah didasarkan pada kehadiran Yesus Kristus yang menampilkan diriNya sebagai Raja yang menghamba, melayani dengan kasih Agapenya. Watak dari kasih Agape adalah berkorban, mau melayani, mau repot, berhadapan dengan resiko. Relasi Yesus dengan orang lain yang dilandasi dengan pemahaman mengenai konteks keberagaman, dan sekaligus kepekaan menjawab kebutuhan terhadap masalah sosial, dan spiritual ditengah lingkungan dan pelayanannya menjadi permenungan yang menginspirasi para peserta.
Studi kasus yang dibedah melalui analisis sejarah, pohon masalah serta factor penyambung dan pemisah, sangat membantu untuk menelusuri jejak sejarah dan respon gereja ditengah dinamika jaman dan tantangan di Papua. Peserta didorong dengan cerdas dan kritis menemukan inti masalah, dari akar penyebab, hingga ranting serta buah-buah akibat yang ditimbulkan oleh inti masalah sebagai batangnya. Analogi pohon masalah ini mampu membuka ruang diskusi peserta bahwa setiap masalah ternyata memiliki lapisan-lapisan yang dalam. Perlu usaha teliti dan jeli untuk mengupasnya secara sabar, dan kritis, karena kadang masalah sudah menjadi kompleks dan telah ada narasi besar yang diterima taken for granted begitu saja.
Berikutnya di bagian faktor penyambung dan pemisah, ditemukan cara jitu nan efektif untuk mengidentikasi bagaimana komponen-komponen program gereja harus mampu memperkuat praktik baik yang mendorong terjadinya kohesi sosial; jika dimungkinkan, merukunkan pihak-pihak yang beradu dan berseteru, menjadi pihak-pihak yang saling bersinergi dan berkolaborasi untuk membentuk suatu persekutuan yang sehat, bukan persengkokolan yang jahat.
Para pemimpin begitu asyik berdiskusi dengan serius tapi diselingi dengan suasana santai, memikirkan langkah-langkan strategis sebagai tindak lanjut MPI di Papua dapat terus digemakan sekaligus dibumikan untuk Papua Sejahtera dan Papua Damai. Persoalan riil seperti masalah miras (minuman keras) diakui sebagai salah satu permasalahan masyarakat dan gereja di Papua yang mengancam generasi muda dan keluarga untuk sejahtera. Beberapa peserta menyampaikan kesannya tentang acara ini dengan semangat dan antusias.
“Saya senang sekali mengikuti Semiloka ini, sebagai kesempatan pertama ini mendorong untuk rencana tindak lanjut yang bisa melibatkan seluruh Sekolah-Sekolah Theologi dan Gereja-Gereja di Tanah Papua” ungkap Pdt Sientje Latuputty D.Th sebagai Ketua STFT GKI I.S Kijne.
Demikian pula Pdt. Hizkia Rollo S.Th, M.M sebagai Wakil Ketua GKI Tanah Papua dan Ketua PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja Papua) juga menegaskan pentingnya MPI dengan mengatakan bahwa “Pekerjaan yang kita lakukan dalam kebersamaan memiliki nilai sangat hakiki yang mendasar yaitu persatuan, sebab kalau kita bersatu, hal yang berat dapat kita kerjakan dan atasi bersama. Kegiatan Semiloka MPI ini memperlengkapi dan dibekali strategi plan bagaimana sebuah kasus dapat dianalisa dan diselesaikan sampai tuntas melalui analisa sosial melalui factor-faktor yang mempersatukan/menyambungkan.”
Rekomendasi para pemimpin juga diarahkan untuk melanjutkan MPI sebagai cara untuk membangun paradigma inklusif di semua tingkatan, dalam seluruh aspek bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cita-cita ini akan diseriusi dalam bentuk program kerja, dan tahapan-tahapan kongkrit kedepan untuk membangun kemesraan persaudaran yang tak lagi retak dan koyak, namun telah dan akan ditransformasikan menjadi persaudaraan yang rukun, utuh dan menyatu.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...