Memendekkan Kesenjangan di Papua
SATUHARAPAN.COM - Presiden Joko Widodo mengunjungi Provinsi Papua dan Papua Barat untuk meresmikan enam projek pembangunan infrastruktur pembangkit listrik tenaga air dan saluran udara tegangan tinggi di wilayah itu.
Selain itu, Jokowi juga meresmikan satu harga bahan bakar minyak (BBM) di kedua provinsi itu sebagai salah satu yang menunjukkan kesenjangan dan ketidak-adilan di sana. Harga premium di sana jauh dari harga di wilayah lain yang tidak lebih dari Rp 7.000. Sebagai contoh, harga premium di Oksibil Rp 40.000 per liter, atau Rp 70.000 di Wamena dan sekitarnya, bahkan ada yang mencapai 100.000 per liter.
Selain meresmikan pembangunan dan penetapan satu harga BBM, yang belum ditentukan berapa rupiah, kunjungan Presiden ke Papua dan Papua Barat sangat diperlukan. Ini mengingat situasi yang berkembang di wilayah itu belakangan ini bisa mengancam persatuan di Indonesia.
Sejak dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014, Jokowi sebenarnya telah lima kali mengunjungi Papua dan Papua Barat hingga kunjungan kali ini. Dan kunjungan kali ini terasa lebih konkret dengan peresmian pembangkit listrik untuk mengatasi defisit pasokan listrik yang merupakan masalah di semua provinsi, namun yang termasuk terparah terjadi di Papua.
Kunjungan ini bisa menjadi langkah yang lebih konkret untuk memendekkan kesenjangan di Papua. Bukan hanya kesenjangan infrastruktur fisik, tetapi juga kesenjangan sosial, dan ikatan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Dampak Psikologis
Yang lebih penting sebagai buah dari kunjungan ini adalah adanya dampak psikologis tentang perhatian pada Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, wilayah ini telah begitu lama diabaikan, dan cenderung lebih banyak diambil sumber dayanya untuk kepentingan Jakarta, ketimbang pembangunan di sana.
Kunjungan Jokowi ke Papua diharapkan mendorong relasi Jayapura dan Jakarta menjadi lebih baik, terutama mengarah pada relasi sebagai satu bangsa dalam NKRI. Hal ini bukan berarti mengabaikan keadaan di Provinsi lain yang memerlukan perhatian akibat ketertinggalan pembangunan infrastruktur.
Ada hal yang lebih urgen untuk memberi perhatian pada Papua, bahkan yang melampaui masalah pembangunan fisik. Bahkan jika ini tidak ditangani dengan lebih serius akan menjadi preseden pada daerah lain. Masalah yang bertumpuk di Indonesia membutuhkan prioritas, dan Papua salah satu yang pantas diprioritaskan.
Dalam tiga tahun terakhir ini terjadi perkembangan dinamikan di Papua yang jika diabaikan bisa menjadikan masalah di Papua berkembang makin rumit. Isu yang utama berkaitan dengan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang bisa berkembang sampai pada ancaman integrasi.
Hal ini misalnya ditandai dengan adanya organisasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Lembaga ini tidak hanya bersuara di Papua, tetapi juga di luar negeri dan memperoleh sambutan. Suara mereka, terutama di kalangan pemuda, bisa menjadi lebih keras jika Jakarta cenderung mengabaikan.
Dialog untuk Papua
Pembangunan infrastruktur diperlukan untuk Papua yang memang secara kasat mata terlihat sangat tertinggal. Namun membangun dialog antara Jakarta dan Papua sangat diperlukan, seperti direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terutama untuk memberikan landasan yang lebih solid bagi kesatuan dalam NKRI.
Proses untuk mencapai dialog membutuhkan upaya dan kesiapan, agar menjadi konstruktif dan menegaskan ikatan dalam NKRI. Oleh karena itu, dialog bukanlah ‘’menegosiasikan’’ tentang Papua sebagai bagian NKRI. Namun lebih pada masalah HAM di sana dan mengatasi kesenjangan yang begitu jauh.
Dialog sebagai upaya untuk menegakkan HAM di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Papua, dan pelanggaran yang terjadi diselesaikan tanpa impunitas pada para pelaku. Dialog ini diperlukan untuk memulihkan ‘’luka’’ masa lalu, dan menjadi peta jalan membangun ikatan kebangsaan yang kuat.
Kunjungan Jokowi ke Papua dan Papua Barat, bisa menjadi langkah awal menuju proses tersebut. Pendekatan keamanan yang selama ini digunakan harus dikurangi, dan digantikan dengan pendekatan pembangunan kesejahteraan, untuk memperkut kepercayaan yang tengah dibangun.
Hal ini berarti bahwa langkah selanjutnya memerlukan upaya yang lebih komprehensif yang melibatkan jajaran kabinet dan para pihak terkait. Dan ini haruslah untuk menegaskan terbangunnya kepercayaan pada para pihak dan kepercayaan bahwa dialog adalah cara yang bermartabat bagi Indonesia, dan Papua ada di dalamnya.
Kita bisa bercermian dari masalah di Kolombia yang jauh lebih dalam dan rumit. Namun demikian pemerintah bisa menyepakati perdamaian dengan kelompok pemberomntak FARC setelah perang selama setengah abad. Bagi Indonesia, masalah Papua mestinya jauh lebih terbuka untuk diatasi segera.
Editor : Sabar Subekti
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...