Menag Harap LGBT Dirangkul dan Diajak Dialog
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyoroti adanya tuntutan sebagian masyarakat agar pernikahan sejenis bisa dilegalkan di Indonesia, juga tuntutan agar kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) bisa ditoleransi kehidupannya secara lebih terbuka.
Tuntutan itu, menurut Menag, belakangan muncul seiring dengan adanya pengakuan perkawinan sejenis di beberapa negara Eropa. Yang terbaru, Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan praktik itu di semua negara bagian. Atas nama HAM, perkawinan sesama jenis di beberapa negara Eropa dan Amerika menjadi sesuatu yang legal dan diakui negara.
Dalam konteks Indonesia, fenomena ini dalam pandangan Menag tidak hanya menjadi tantangan, tapi juga sekaligus tugas dan tanggung jawab bersama, karena pada dasarnya mereka yang menghendaki perkawinan sejenis dan LGBT juga umat manusia.
“Menurut hemat saya, akan lebih bijak kalau mereka tidak dijauhi, justru kita rangkul, kita ayomi, lalu bangun dialog bersama untuk bagaimana kita mencari nilai-nilai kebajikan dari pemahaman-pemahaman yang boleh jadi belum sama,” kata Menag saat memberikan sambutan pada kesempatan buka puasa bersama dengan pemimpin ormas Islam, Jakarta, Sabtu (4/7).
Hadir dalam kesempatan itu pemimpin ormas Islam serta para pejabat eselon I dan II Kementerian Agama.
Sebelumnya, Menag menegaskan perkawinan sesama jenis sulit dilakukan di Indonesia. Menag menilai (pernikahan sejenis) merupakan sesuatu yang sulit terjadi di negara seperti Indonesia, karena masyarakat Indonesia yang religius.
Masyarakat memandang, pernikahan tidak sebatas peristiwa hukum. Lebih dari itu, pernikahan merupakan peristiwa sakral dan bahkan bagian dari ibadah. Karenanya, nilai-nilai agama tidak bisa dipisahkan. “Sangat sulit untuk bisa menerima atau melegalkan pernikahan sesama jenis,” kata Menag Jakarta, Kamis (2/7).
Ditanya tentang hubungannya dengan HAM, mantan Wakil Ketua MPR itu menyatakan konstitusi Indonesia telah mengatur HAM. Ia menyebutkan, dalam UUD kita, terkait HAM, Pasal 28 J ayat 2 menegaskan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada UU.
“Nah, UU No 1 Tahun 74 tentang perkawinan, menyatakan sahnya perkawinan terjadi jika dilakukan antara laki-laki dan perempuan, menurut agama yang dipeluknya. Dan hal ini sudah clear,” kata Menag.
Menag mengatakan, HAM bisa dibatasi dengan pertimbangan salah satu dari empat hal, yakni pertimbangan moral, keamanan, ketertiban umum, dan pertimbangan agama. Jadi, nilai-nilai agama bisa membatasi hak dan kebebasan seseorang.
Meski demikian, Menag mengimbau untuk tidak memusuhi dan mengucilkan mereka yang terkait LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).
"Lebih baik jika kita merangkul, mengajak berdiskusi dan dialog, sehingga bisa memahami dari esensi pernikahan. Lebih baik jika kita membangun dialog, menyamakan paradigma tentang hakikat perkawinan, inti pernikahan, dan tujuan rumah tangga. Saya rasa, jika terbangun sebuah kesamaan cara pandang, ada solusi yang bisa kita berikan,” kata Menag. (kemenag. go.id)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...